Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya mempunyai pertanyaan, Bukankah merupakan memberatkan saya kalau mengulangi puasa di hari ketika datang bulanan sebelum adzan magrib tinggal beberapa menit saja? Saya tidak membantah terhadap hukum Allah selamanya, akan tetapi pertanyaan ini berputar di benakku, karena agama kita adalah agama yang mudah. Sebagaimana juga kebanyakan dari kerabatkan membantah terkait dengan tema ini? Apakah kita tunda puasa kita yang belum sempurna dikarenakan datang bulan?
Alhamdulillah.
Pertama:
Pembatal puasa Terdapat nash dengan tegas dalam Qur’an Karim dan Sunnah Nabawiyah serta ijma kebanyakan para ulama. Pembatal-pembatal ini sama, baik sedikit maupun banyak. Siapa yang makan satu biji nasi atau minum satu tetas air, maka itu membatalkan puasa menurut konsensus (ijmak) umat Islam, tidak boleh dikatakan, “Ini hanya sedikit tidak cukup untuk nutrisi (tubuh). Sebab hal itu adalah –wallahu a’lam- bahwa hukum-hukum secara umum yang dibutuhkan oleh umat Islam, Allah menjadikan terbangun atas sesuatu yang nyata, dan Terdapat ketentuannya agar tidak terjadi kerancuan.
Dan ibadah-ibadah syar’iyyah seperti shalat, puasa dan semisal itu ada batasannya yang telah Allah taala jelaskan di Kitab-Nya dan diharamkan melanggarnya. Seraya berfirman:
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
سورة البقرة: 230
“Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Dan firman-Nya:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
سورة البقرة: 229
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. AL-Baqarah: 229)
Haidnya seorang wanita itu termasuk pembatal puasa secara ijmak, kapan saja dia mendapatkannya diwaktu minimal yang diperintahkan untuk berpuasa dari semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kalau dia haid di sebagian siang, maka batal puasanya tanpa ada perbedaan. Dan dia harus mengqadhanya. Begitu juga kalau mendapatkan nifas, puasanya batal, tidak ada perbedaan ulama (soal ini)” (Al-Majmu, 6/385).
Silahkan melihat untuk faedah di jawaban soal no. (38027).
Kedua:
Adapun ungkapan kalau hal itu menyulitkan, maka tidak diragukan hal itu, akan tetapi kesulitan ringan dan masih bisa ditanggung. Karena hal ini tidak akan terulang-ulang pada wanita. Bahkan Cuma satu hari saja di bulan Ramadhan – kalau itu terjadi- maka di depan dia satu tahun penuh untuk mengqadha yang hanya satu hari ini saja. Kesulitan ini ringan tidak menghalangi adanya penetapan kewajiban, karena semua kewajiban syariat ada sedikit kesulitan di dalamnya.
Qorofi rahmahullah mengatakan dalam ‘Al-Farqu Ar-Robi’ Asyara (perbedaan keempat belas) (1/281), ‘Kesulitan itu ada dua macam, salah satunya adalah yang tidak terlepas dari suatu ibadah seperti wudhu, mandi waktu musim dingin dan puasa di siang yang panjang, dan bahaya pada jiwa dalam jihad serta semisal itu, bagian ini tidak harus ada keringanan dalam beribadah karena telah ditetapkan bersamanya.
Kedua: kesulitan yang terlepas dari suatu ibadah, dan ini ada tiga macamnya:
Maka nampak dari situ, bahwa tidak setiap kesulitan itu dapat menggugurkan kewajiban
Ketiga:
Kalau seorang wanita memulai hari berpuasa kemudian dia datang bulan, maka puasanya batal dan dia harus mengqadhanya.
Meskipun begitu, maka yang nampak sesuai dengan kemulyaan Allah dan keluasan keutamaan-Nya. Allah catat pahala puasa pada hari itu, karena dia berpuasa dengan perintah Allah dan berbuka juga dengan perintah Allah, sehingga dia mempunyai uzur (alasan) atasnya. Dimana Allah ta’ala berfirman terkait dengan orang yang keluar dalam rangka berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian dia meninggal dunia sebelum sampai pada maksudnya:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمً
سورة النساء: 100
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 100)
Imam Jassas rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat tersebut ada kabar akan kepastian mendapatkan pahala orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya meskipun belum sempurna hijrahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa siapa yang keluar untuk melakukan suatu kebaikan, maka Allah akan membalasnya sesuai dengan kadar niat dan usahanya, meskipun terputus sebelumnya. Sebagaimana Allah memberikan pahala bagi orang yang keluar dalam kondisi berhijrah meskipun belum sempurna hijrahnya.” (Ahkamul Qur’an, 2/314).
Syekh As-Sa’dy rahimahullah mengatakan,
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”
Maksudnya adalah bermaksud kepada Tuhan dan keredoan-Nya serta kecintaan kepada Rasul-Nya dalam rangka menolong agama Allah, bukan untuk niat-niat selain itu, kemudian dia mendapatkan kematian dengan terbunuh atau lainnya. Maka dia telah mendapatkan (pahala) dari Allah. Maksudnya, ‘Maka dia telah mendapatkan pahala orang yang berhijrah yang mendapatkan maksudnya dengan jaminan Allah ta’ala.’ Hal itu karena karena dia berniat dan menguatkan niatnya. Dan sudah dimulai dan memulai amalannya. Di antara rahmat Allah dengannya dan semisalnya, (Allah) berikan kepada mereka pahala yang sempurna, meskipun belum sempurna amalnya dan diampuni dari kekurangannya dalam berhijrah atau lainnya.” (Tafsir As-Sa’dy, hal. 196).
Para ulama fikih menyebutkan permasalahan yang mirip dengan ini, bagi orang yang keluar untuk menunaikan haji kemudian meninggal dunia sebelum menyelesaikan manasiknya.
Al-Mula Al-Qori rahimahullah menyebutkan dalam permasalahan haji pada perjalannya dari perbedaan para ulama dari mana untuk menghajikan untuknya. Kemudian beliau mengatakan, “Hal ini dibangun atas perbedaan mereka bagi orang yang menunaikan haji untuk dirinya sendiri dan meninggal dunia di tengah perjalanan. Maka hendaknya dia mewasiatkan agar ada orang yang menghajikan untuknya dari rumahnya menurut Abu Hanifah. Dan menurut keduanya –yaitu dianjurkan – dari tempat dimana dia meninggal dunia, karena safarnya tidak membatalkan hajinya dengan kematiannya. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
ومَنْ يخرُج مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلى اللَّهِ ورَسُولِهِ ثُم يُدْرِكْهُ المَوْتُ فَقَد وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (QS. An-Nisa: 100)
Dan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ خَرَج حَاجَّاً فمات كتب اللّهُ له أَجْرَ الحاجِّ إِلى يومِ القيامةِ، ومَنْ خَرَجَ مُعْتَمِراً فماتَ كُتِبَ له أَجْرُ المُعتمِر إِلى يومِ القيامةِ، ومَنْ خَرَج غَازِياً في سبيلِ اللَّهِ فمات، كُتِبَ له أَجْرُ الغازي إِلى يومِ القيامةِ. رواه الطبراني في مُعْجمه، وأَبو يَعْلَى المَوْصلي في مَسْنَده
“Siapa yang berangkat menunaikan haji, kemudian meninggal dunia, maka Allah mencatat baginya pahala haji sampai hari kiamat. Siapa yang keluar menunaikan umroh, kemudian meninggal dunia, maka akan dicatat baginya pahala umroh sampai hari kiamat. Siapa yang keluar berperang di jalan Allah, kemudian meninggal dunia, maka akan dicatat pahala orang berperang sampai hari kiamat.” (HR. Thabrani di Mu’jamnya dan Abu Ya’la di Al-Maushili di Musnadnya. Dari kitab ‘Fathul Bab Al-Inayah Bi syarkhi Niqoyah, 3/189).
Kesimpulannya:
Yang kuat adalah bahwa wanita yang mendapatkan haid waktu berpuasa akan diberi pahala puasa dari apa yang telah dilakukannya. Sebagaimana dia juga akan diberi pahala bagi orang yang berniat kuat untuk menyempurnakan puasa jika tidak ada uzur.
Wallahu a’lam