Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
..Pertama :
Tidak halal bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita tanpa mendapatkan izin dari walinya baik dia masih gadis atau sudah janda. Yang demikian itu merupakan perkataan jumhur Ulama di antaranya adalah; As Syafi’i, Malik dan Ahmad mereka menggunakan dalil dengan dalil-dalil berikut,
Firman Allah Ta’ala :
فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن (سورة البقرة: 232)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.." (QS. Al Baqarah : 232)
ولا تُنكحوا المشركين حتى يؤمنوا (سورة البقرة: 221)
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (QS. Al Baqarah : 221)
وأنكحوا الأيامى منكم (سورة النور: 32)
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, ... “ (QS. An Nuur: 32)
Intinya, ayat-ayat tersebut di atas sebagai dalil sangatlah jelas yaitu syarat keberadaan seorang wali dalam pernikahan. Karena arah pembicaraan Allah Ta’ala adalah orang-orang yang di bawah perwaliannya. Kalau saja perintah tersebut bukan untuk mereka (para wali) pastilah tidak diperlukan mengarahkan hal tersebut kepada mereka.
Di antara fikih Imam Bukhari Rahimahullah bahwa beliau memberikan bab tersendiri untuk ayat-ayat tersebut dengan ungkapannya, “Bab bagi yang mengucapkan لا نكاح إلا بولي tidak sah pernikahan melainkan dengan keberadaan seorang wali,
dan dari Abu Musa al Asy’ari dia berkata : Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “
لا نكاح إلا بولي (رواه الترمذي، رقم 1101 وأبو داود، 2085 وابن ماجه، رقم 1881)
"Tidak sah pernikahan melainkan dengan keberadaan seorang wali." (HR. Tirmizi, no. 1101, Abu Daud, no. 2085, Ibnu Majah, no. 1881. Dishahihkan oleh Syekh Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At Tirmizi, 1/318 ).
Dari Aisyah Radliyallahu Anha dia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
أيما امرأة أنكحت نفسها بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، باطل ، باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له (رواه الترمذي، رقم 1102 وأبو داود، رقم 2083 وابن ماجه، رقم 1879 وقال أبو عيسى الترمذي : هذا حديث حسن)
"Siapa saja wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, batil, batil. Jika suaminya telah menggaulinya maka bagi wanita tersebut mahar dari kehormatan yang telah diberikannya dan dihalalkan baginya. Jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada walinya." (HR. Tirmizi, no. 1120, Abu Daud, no. 2083, Ibnu Majah, no. 1879. Abu Isa At Tirmizi mengatakan, Hadits ini derajatnya Hasan. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil, no. 1840).
Kedua :
Dan jika walinya menolak menikahkan putrinya dengan lelaki yang dikehendaki tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, maka hak perwaliannya berpindah kepada orang yang setelahnya misalnya hak perwalian berpindah dari seorang ayah kepada kakek.
Ketiga :
Namun jika semua wali menolak untuk menjadi wali tanpa uzur syar’i, maka hak perwalian beralih kepada penguasa atau wali hakim sebagaimana hadits terdahulu:
فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
"Dan jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada walinya."
Keempat :
Jika tidak ada wali atau penguasa (wali Hakim) maka seorang yang memiliki kuasa di daerahnyalah yang berhak menikahkannya, seperti hakim lokal, kepala desa atau sesepuh desa dan yang semacamnya, dan jika mereka pun tidak ada maka diwakilkan kepada seorang Muslim yang dapat dipercaya yang berhak menikahkannya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, "Dan apabila orang-orang yang memiliki hak sebagai wali nikah berhalangan maka hak perwalian beralih kepada seseorang yang baik yang memiliki semacam kekuasan yang tidak ada hubungannya dengan pernikahan seperti Kepala Desa, kepala kabilah dan yang semacamnya." (Al Ikhtiyaraat, hal. 350)
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, "Jika tidak ada bagi seorang wanita wali maupun penguasa yang menikahkannya, maka diriwayatkan dari Imam Ahmad yang mngisyaratkan bahwa yang menikahkannya adalah lelaki yang adil dengan seizinnya." (Al Mughni, 9/362).
Syekh Umar Al ‘Asyqar berkata : Apabila tidak ada penguasa kaum muslimin atau perempuan tersebut dalam kondisi dimana tidak ada bagi kaum muslimin penguasa dan juga wali secara umum sebagaimana kaum Muslimin yang berada di negara Amerika dan yang lainnya, maka jika di negara tersebut terdapat yayasan Islam yang bergerak dalam urusan Kaum Muslimin, maka yayasan tersebut memiliki kewenangan untuk menikahkannya. Demikian pula apabila terdapat kaum Muslimin pemimpin yang ditaati atau penanggung jawab yang mengatur urusan mereka, maka merekalah yang berhak untuk menjadi wali." (Dari kitab Al Wadhih Fi Syarhi Qonuunil Ahwal As Syakhshiyyah Al Urduni, hal. 70)
Wajib pada saat akad nikah disaksikan oleh dua orang lelaki muslim yang baligh dan berakal sehat. Lihat jawaban soal no. 2127. Dengan demikian maka pernikahan anda yang pertama adalah bathil dan wajib bagi anda mengulang akad nikah yang harus dihadiri oleh wali mempelai wanita sebagaimana telah diterangkan dan dua orang saksi.
Wallahu a’lam.