Alhamdulillah.
Pertama:
Rafidhoh atau Imamiyah atau (Syi’ah) dua belas merupakan salah satu kelompok pada Syi’ah.
Mereka dinamakan dengan Rafidhoh karena mereka menolak mayoritas para sahabat dan menolak kepemimpinan kedua Syeikh yaitu; Abu Bakar dan Umar, atau karena mereka menolak kepemimpinan Zaid bin Ali dan memisahkan diri dari beliau.
Mereka dinamakan Imamiyah karena fokus perhatian mereka dalam masalah kepemimpinan (imamah) dan menjadikannya sebagai dasar dalam agama, atau karena mereka mengklaim bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyatakan dengan tekstual akan kepemimpinan Ali dan anak-anaknya.
Dinamakan Dua Belas karena mereka mengatakan dan meyakini kepemimpinan dua belas orang dari ahli bait, yang pertama adalah Ali –radhiyallahu ‘anhu- dan yang terakhir adalah Muhammad bin Hasan al Askary yang menghilang menurut mereka, mereka mengklaim bahwa dia telah masuk ke “Sirdab” (ruang bawah tanah) Samira’ pada pertengahan abad 13 H, dan dia diyakini masih hidup di dalam sana, dan mereka menunggu keluarnya.
Mereka juga mempunyai keyakinan dan dasar-dasar yang menyimpang dari ajaran Islam, di antaranya adalah:
1.Mereka bersikap berlebihan kepada para imam mereka, dengan mengklaim bahwa semua mereka adalah maksum (terjaga dari dosa), mereka juga banyak memperuntukkan ibadah kepada para imam tersebut, seperi; do’a, istigatsah (meminta pertolongan), menyembelih (atas nama mereka) dan thawaf, ini merupakan syirik besar yang telah Alloh –Ta’ala- nyatakan tidak diampuni. Kesyirikan ini dilakukan oleh para ulama dan orang-orang awam mereka.
2.Mereka mengatakan bahwa al Qur’an telah mengalami perubahan, dengan dikurangi atau ditambah. Dalam masalah ini mereka mempunyai banyak karangan buku yang diketahui oleh para ulama mereka dan mayoritas masyarakat mereka, sehingga pernyataan bahwa al Qur’an telah dirubah menjadi salah satu dasar penting pada madzhab mereka. Baca juga jawaban soal nomor: 21500.
3.Mengkafirkan mayoritas para sahabat –radhiyalllahu ‘anhum- dan berlepas diri dari mereka, mendekat diri kepada Alloh dengan melaknat dan memaki mereka, mereka juga mengklaim bahwa para sahabat telah menjadi murtad setelah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia kecuali hanya segelintir orang saja (hanya tujuh orang), ini bentuk pendustaan terhadap al Qur’an yang telah menjelaskan keutamaan mereka dan mengabarkan bahwa Alloh telah meridhoi mereka dan telah memilih mereka untuk menemani (perjuangan) Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Hal ini juga berarti mencela al Qur’an karena al Qu’an diriwayatkan melalui para sahabat, jika mereka kafir maka tidak ada jaminan mereka tidak akan merubah al Qur’an, inilah akidah mereka orang-orang Rafidhoh sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Sedangkan barang siapa yang telah melampaui batas dan mengklaim bahwa para sahabat telah menjadi murtad kembali sepeninggal Rasulullah –shallallahu ‘alaini wa sallam- kecuali hanya belasan orang saja atau mayoritas mereka telah berlaku fasik, maka orang ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya, karena dia telah mendustakan teks al Qur’an yang tidak hanya pada satu masalah saja, dari mulai keridhoan Alloh terhadap para sahabat dan pujian-Nya kepada mereka, bahkan barang siapa yang meragukan kekafirannya dalam kondisi seperti ini, maka dia pun bisa menjadi kafir, karena kandungan dari makalah ini bahwa para perawi al Qur’an dan sunnah adalah orang-orang kafir atau fasik dan bahwa ayat ini:
كنتم خير أمة أخرجت للناس )
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (QS. Ali Imron: 110)
Sebaik-baik umat tersebut adalah generasi awal, jika mayoritas mereka adalah kafir dan fasik, maka konsekuensinya adalah bahwa umat ini menjadi seburuk-buruk umat dan umat yang terdahulu adalah yang paling buruk. Kekafiran orang yang menyatakan hal itu termasuk yang mudah dikenali di dalam Islam”. (Ash Sharim al Maslul ‘ala Syatim ar Rasul: 590)
4.Menisbatkan bida’ kepada Alloh –Ta’ala-, maksudnya adalah munculnya pendapat baru yang sebelumnya tidak ada. Hal ini berarti menisbatkan ketidaktahuan kepada Alloh –Ta’ala-.
5.Mereka meyakini taqiyyah, yaitu; menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang disembunyikannya. Sejatinya hal ini adalah bentuk kedustaan, kefasikan dan kecerdikan untuk menipu orang lain, bagi mereka hal itu tidak hanya dilakukan pada saat berada dalam ketakutan saja, bahkan mereka berpendapat menggunakan taqiyyah menjadi bagian dari agama, baik dalam masalah kecil maupun besar, dalam keadaan takut maupun aman, dan semua yang menjadi hak dari salah seorang imam dari para imam mereka, seperti memuji para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau menyetujui ahlus sunnah wal jama’ah meskipun dalam masalah-masalah thaharah, makanan dan minuman, orang-orang syi’ah menolaknya dan mereka mengatakan: “Bahwa imam (mereka) mengatakan itu karena dia bertaqiyyah”.
6.Mereka meyakin “Ar Raj’ah” yaitu; keyakinan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ahli baitnya (Ali, Hasan dan Husain dan para imam lainnya) mereka semua akan kembali lagi. Dan pada sisi yang lain Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyah, Yazin bin Dzi al Jausyan dan semua yang telah menyakiti ahli bait menurut pendapat mereka.
Menurutnya mereka semua akan kembali lagi ke dunia sebelum datangnya hari kiamat, pada saat kembalinya imam Mahdi dan menampakkan dirinya -sebagaimana yang telah dinyatakan kepada mereka oleh musuh Alloh Ibnu Saba’- mereka akan kembali untuk membalas mereka sebagaimana mereka telah menyakiti ahli bait dan memusuhi mereka dan mencegah hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, maka mereka menjatuhkan siksa yang berat kemudian mereka mati lagi, kemudian baru hidup kembali pada hari kiamat untuk pembalasan yang terakhir sekali lagi, beginilah yang mereka tuduhkan.
Dan lain-lain dari keyakinan rusak mereka yang memungkinkan untuk diketahui rincian dan batilnya keyakinan mereka melalui kitab: “Al Khuthuth al ‘Aridhah” karangan Muhibbud Diin al Khotib, atau “Ushul Madzhab Syi’ah Imamiyah” karangan DR. Nashir al Fiqari, atau “Firaq Mu’ashirah Tantasibu ila al Islam” karangan DR. Ghalib bin Ali ‘Iwaji: 1/127-269, atau “Al Mausu’ah al Muyassarah fil Adyan wal Madzahib wal Ahzaab al Mu’ashirah: 1/51-57)
Baca juga jawaban soal nomor: 1148.
Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ pernah ditanya:
“Apakah cara-cara Syi’ah Imamiyah menjadi bagian dari Islam ?, siapa yang mencetuskannya ?; karena Syi’ah menisbatkan madzhab mereka kepada sayyidina Ali –karramallahu wajhahu- ?
Mereka menjawab:
“Madzhab Syi’ah Imamiyah adalah madzhab bid’ah (yang baru) di dalam Islam, dasar-dasar dan masalah cabangnya. Maka kami sarankan anda untuk membaca kitab “Al Khuthuth al ‘Aridhoh”, Mukhtashar at Tuhfah al Itsnai ‘Asyriyah”, Minhajus Sunnah karangan Syiekh Islam, di dalam buku-buku tersebut dijelaskan banyak hal tentang bid’ah-bid’ah mereka.
(Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Abdur Razzaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadyan)
(Fatawa Lajnah Daimah: 2/377)
Kedua:
Telah dijelaskan sebelumnya akan kebatilan madzhab ini dan penyimpangannya dari ajaran ahlus sunnah wal jama’ah, dan tidak diterima keyakinan seseorang kepadanya, tidak juga dari para ulama maupun orang-orang awamnya.
Sedangkan para imam yang dinisbatkan kepada mereka, maka mereka terbebas dari kebohongan dan kebatilan tersebut, di antara nama-nama para imam tersebut adalah:
1.Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- meninggal syahid pada tahun 40 H.
2.Al Hasan bin Ali –radhiyallahu ‘anhu- ( 3 – 50 H.)
3.Al Husain bin Ali –radhiyallahu ‘anhu- (4 – 61 H. )
4.Ali Zainal Abidin bin Husain ( 38 – 95 H.) yang diberi gelar As Sajjad.
5.Muhammad bin Ali Zainal Abidin (57 – 114 H.) yang diberi gelar al Baaqir
6.Ja’far bin Muhammad al Baaqir (83 – 148 H.) yang diberi gelar ash Shadiq
7.Musa bin Ja’far ash Shodiq (128 – 183 H. ) yang diberi gelar al Kadzim
8.Ali bin Musa al Kadzim (148 – 203 H.) yang diberi gelar ar Ridho
9.Muhammad al Jawwad bin Ali ar Ridho (195 – 220 H) yang diberi gelar at Taqiy
10.Ali al Haadi bin Muhammad al Jawwad (212 – 254 H.) yang diberi gelar an Naqiy
11.Al Hasan al Askari bin Ali al Haadi (232 - 260 H.) yang diberi gelar az Zakiy
12.Muhammad al Mahdi bin al Hasan al Askary, yang diberi gelar al Hujjah al Qaim al Muntadzor.
Mereka mengklaim bahwa imam yang terakhir telah memasuki sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’. Banyak peneliti yang menyatakan bahwa dia itu aslinya tidak ada dan merupakan hasil rekayasa Syi’ah.
Baca juga Al Mausu’ah al Muyassarah: 1/51.
Ibnu Kastir berkata di dalam Al Bidayah wan Nihayah (1/177):
“Adapun apa yang mereka yakini tentang sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’ merupakan bentuk stres di kepala, gangguan pada jiwa, tidak nyata, tidak ada dzat dan jejaknya”.
Ibnu Taimiyah –rahimahullah- membagi 12 imam menjadi empat bagian:
Pertama:
Ali bin Abi Thalib, al Hasan dan al Husain –radhiyallahu ‘anhum- mereka adalah para sahabat yang agung, tidak diragukan akan keutamaan dan kepemimpinan mereka, namun yang menyertai keutamaan sebagai sahabat banyak yang lainnya, dan di antara para sahabat ada yang lebih utama dari mereka dengan dalil-dalil yang shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Kedua:
Ali bin Husain, Muhammad bin Ali al Baqir, Ja’far bin Muhammad as Shadiq dan Musa bin Ja’far, mereka adalah termasuk ulama yang terpercaya yang diakui. (Minhajus Sunnah: 2/243-244)
Ketiga:
Ali bin Musa ar Ridho, Muhammad bin Ali bin Musa al Jawwad, Ali bin Muhammad bin Ali al Askari dan Hasan bin Ali bin Muhammad al Askari, mereka semua sebagaimana yang katakana oleh Ibnu Taimiyah: “Mereka semua tidak nampak keilmuwannya yang bermanfaat bagi umat, mereka juga tidak ringan tangan untuk membantu umat, akan tetapi mereka sama saja seperti Bani Hasyim lainnya, mereka mempunyai kehormatan dan kedudukan, di antara mereka juga yang mengetahui ajaran Islam yang umum sama dengan orang-orang yang lainnya, adapun yang rinciannya ajaran Islam yang diketahui oleh para ulama maka dalam hal ini mereka tidak dikenal demikian, oleh karena itu para ulama tidak mengambil pendapat mereka sebagaimana mereka telah mengambil pendapat tiga orang pertama, kalau saja mereka mendapatkan dari mereka sesuatu yang bermanfaat maka mereka pasti mengambilnya, akan tetapi seorang pencari ilmu mengetahui tujuannya”. (Minhajus Sunnah: 6/387)
Keempat:
Muhammad bin Hasan al Askari al Muntadzor, maka orang ini tidak nyata sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Wallahu A’lam.