Alhamdulillah.
Jimak di siang Ramadan termasuk pembatal puasa yang paling besar, hal itu telah dijelaskan dalam jawaban soal no. 38023. Orang yang menggauli istrinya di siang Ramadan tidak lepas kondisinya dari dua hal:
Kondisi pertama, kondisi istrinya ada uzur karena dipaksa, lupa atau tidak tahu akan pengharaman jimak di siang Ramadan. Dalam kondisi seperti ini, puasanya sah, tidak diharuskan mengqada dan tidak juga kafarat. Dan ini pendapat riwayat dari Imam Ahmad. Pilihan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Diantara para ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syekh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah.
Mereka berdalil diantaranya:
1. Firman Allah Ta’ala,
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ) سورة البقرة: 286)
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” SQ. Al-Baqarah: 286.
2. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (متفق عليه)
“Siapa yang makan karena lupa sementara dia dalam kondisi berpuasa, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya. Karena Allah telah memberikan makan dan minum kepadanya.” HR. Muttafaq ‘Alaihi.
Mereka mengatakan, “Jimak dan seluruh pembatal puasa dianalogikan (diqiyaskan) dengan makan dan minum.
3. Dari Abu Dzar Al-Gifari radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجة (2045) وصححه الألباني في صحيح ابن ماجة )
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku tersalah, lupa dan yang dipaksakan kepadanya.” HR. Ibnu Majah, (2045) dinyatakan shahih oleh Al-Albany di Shahih Ibnu Majah.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang orang yang menggauli istrinya sementara istrinya tidak rela, maka beliau menjawab, “Seorang istri kalau dipaksa, maka dia tidak terkena apa-apa dan puasanya sah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/310).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam ‘As-Syarh Al-Mumti’, (6/404) mengatakan terkait dengan hukum jimak di siang Ramadan, “Kalau istri ada uzur karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Maka dia tidak perlu mengqada dan tidak ada kafarat.” Selesai.
Kondisi kedua, seorang istri tidak ada uzur, bahkan melayani dengan suka rela untuk suaminya. Kewajiban kafarat kepadanya dalam kondisi seperti ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua:
Pendapat pertama, dia (istri) diharuskan mengqada dan kafarat kalau sekiranya suka rela. Dan ini mazhab mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan:
1.Apa yang telah ada ketetapan dalam Shahihain bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kepada suami yang telah menggauli istrina di siang Ramadan dengan kafarat. Dan asalnya hukum itu sama antara lelaki dan perempuan. Kecuali ada pengecualian dari agama yang bijaksana dengan adanya nash.
2. Karena wanita telah melanggar puasa Ramadan dengan jimak sehingga dia diharuskan kafarat seperti lelaki
3. Karena ia adalah hukuman terkait dengan jimak. Maka (posisi) lelaki dan wanita sama seperti hukuman zina.
Bahuti rahimahullah dalam ‘Syarkh Muntah Al-Irodat, (1/486) mengatakan, “(Wanita) kalau rela, mengetahui hukum dan tidak lupa berpuasa, maka dia seperti lelaki dalam kewajiban qada dan kafarat. Karena dia telah melanggar kehormatan puasa Ramadan dengan jimak secara suka rela. Maka sama dengan lelaki.”
Pendapat kedua, kafarat diharuskan untuk suami saja untuk dirinya sendiri. Seorang istri tidak terkena apa-apa, baik dia dipaksa atau suka rela. Dan ini mazhab Syafiiyyah dan riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berdalil bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan suami melakukan kafarat tanpa menyebutkan istrinya kafarat. Mereka mengatakan,”Karena mengakhirkan penjelasan di waktu ada keperluan itu tidak dibolehkan.”
Dijawab akan hal ini, tidak disebutkan istri terkait dengan kafarat. Karena suami yang bertanya untuk dirinya. Sementara istrinya tidak meminta fatwa. Sementara kondisi istri ada kemungkinan ada uzur tidak tahu atau dipaksa.
Yang terkuat adalah diharuskan kafarat untuk istri sebagaimana diwajibkannya untuk suami. Yang memilih pendapat ini adalah Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumullah.
Silahkan melihat ‘Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, (15/307). ‘As-Syarkh Al-Mumti’, (6/402).
Wallahua’lam .