Selasa 7 Syawal 1445 - 16 April 2024
Indonesian

Apa Itu Multazam? Dan Bagaimana Cara Berdoa Di Sisinya?

47756

Tanggal Tayang : 02-03-2010

Penampilan-penampilan : 130291

Pertanyaan

Apa itu multazam dan bagaimana cara berdoa di sisinya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Multazam adalah bagian dari Ka’bah yang mulia diantara hajar aswad dan pintu ka’bah. Makna iltizamuhu (merapatkannya) yaitu orang yang berdoa menaruh dada, wajah, lengan dan kedua tangannya di atasnya dan berdoa kepada Allah apa yang mudah baginya dari apa yang dia inginkan. Dan disana tidak ada doa khusus yang seorang muslim berdoa di tempat itu. Dan diperbolehkan merapatkannya ketika memasuki ka’bah (kalau mudah untuk masuk ke dalalmnya), diperbolehkan melaksanakannya sebelum thawaf wada’, dan pada waktu kapan saja. Dan seyogyanya orang yang berdoa jangan sampai mengganggu orang lain dengan memperpanjang doanya. Sebagaimana tidak diperkenankan berdesak-desakan dan menyakiti orang-orang hanya karena itu. Dikala melihat ada kesempatan dan kelonggaran, berdoa (di tempat itu). Kalau tidak ada, cukuplah berdoa ketika thawaf dan (dalam) sujud shalat.

Yang ada dari para shahabat –semoga Allah meredhoi mereka- dalam iltizam yang paling shoheh dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (adalah) dari Abdurrahman bin Sofwan berkata: “Ketika Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menaklukkan Mekkah, saya mengatakan: “Saya akan memakai pakaianku, dahulu rumahku di jalan. Saya akan melihat apa yang dilakukan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Maka saya berangkat dan melihat Nabi sallallahu’alaihi wa sallam keluar dari Ka’bah. Beliau dan para shahabat keluar dari ka’bah dan mereka menyentuh bait (Ka’bah) dari pintu sampai di Hittim. Mereka menaruh pipinya di bait (ka’bah) sedangkan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka.” HR.Abu Dawud, 1898 dan Ahmad, 15124. (dalam sanadnya) terdapat Yazid bin Abi Ziyad. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah dan ulama’ lainnya telah melemahkannya.

Dan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya berkata: “Saya (menunaikan) thawaf bersama Abdullah, ketika sampai di belakang ka’bah, saya berkata: “Apakah kita tidak berlindung?” (Beliau) berkata: “Kita berlingdung dengan (Nama) Allah dari neraka.” Ketika telah lewat, saya menyentuh hajar (aswad), dan berdiri diantara rukun (hajar aswad) dan pintu (ka’bah). Maka (beliau) menaruh dada, wajah, lengan dan kedua tangannya begini dan membentangkan lebar keduanya. Kemudian berkata: “Beginilah saya melihat Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam melakukannya. HR. Abu Dawud, 1899. Ibnu Majah, 2962. Dan (di dalam sanadnya) ada Mutsanna bin As-Sobah. (beliau) dilemahkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Main, Tirmizi dan Nasa’i serta (ulama’ lainnya). Kedua hadits ini saling menguatkan satu dengan lainnya. Dan Syekh Al-Bany telah menshohehkannya di kitab ‘As-Silsilah As-Sohehah, 2138.’

Disebutkan dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma bahwa beliau berkata: “Al-Multazam adalah antara Rukun (hajar aswad) dan Pintu (ka’bah).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kalau dia ingin mendatangi multazam –yaitu antara hajar aswad dan pintu ka’bah- dan dia menaruh dada, wajah, lengan dan kedua tangannya dan berdoa kepada Allah Ta’ala keperluannya, dia (diperbolehkan) melakukan itu. Hal itu boleh dilakukan sebelum thawaf wada’, karena (posisi) penempelan ini tidak ada bedanya waktu wada’ (perpisahan) maupun yang lainnya. Dan para shahabat juga melakukan hal itu ketika memasuki Mekkah. Kalau dia mau membaca doa yang ada tuntunannya dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

اللهمَّ إني عبدك وابن عبدك وابن أمتك حملتني على ما سخرتَ لي مِن خلقك وسيرتَني في بلادك حتى بلغتَني بنعمتِك إلى بيتِك وأعنتَني على أداء نسكي فإنْ كنتَ رضيتَ عني فازدَدْ عني رضا وإلا فمِن الآن فارضَ عني قبل أنْ تنآى عن بيتك داري فهذا أوان انصرافي إنْ أذنتَ لي غير مستبدلٍ بك ولا ببيتِك ولا راغبٍ عنك ولا عن بيتِك اللهمَّ فأصحبني العافيةَ في بدني والصحةَ في جسمي والعصمة في ديني وأحسن منقلبي وارزقني طاعتك ما أبقيتَني واجمع لي بين خيري الدنيا والآخرة إنك على كل شيء قدير

“Ya Allah, Tuhan kami, sesungguhnya saya adalah hambaMu dan anak dari hambaMu, anak budak-Mu. Engkau bawa kami dengan apa yang telah Engkau jalankan kepadaku dari makhlukMu. Dan Engkau jalankan diriku dari negeriMu sehingga Engkau sampaikan dengan nikmatMu ke rumahMu. Dan Engkau bantu kami agar dapat menunaikan manasikku. Kalau sekiranya Engkau rido kepada diriku, maka tambahkanlah kepada diriku keridoanMu. Kalau sekiranya (belum), maka dari sekarang (berikanlah) keredoan kepada diriku sebelum meninggalkan rumahMu (menuju) rumahku. Ini adalah waktu kepergianku, jikalau Engkau mengizinkan kepadaku tanpa (ada rasa) menggantikan dari diriMu, juga rumahMu, dan (tidak ada perasaan) benci kepadaMu dan pada rumahMu. Ya Allah, Tuhanku. Sertakanlah kepada diriku kesehatan pada badanku, dan kesehatan di tubuhku serta jangalah agamaku, dan perbaikilah tempat kembaliku, berikanlah rezki (dengan) ketaatan kepadaMu selagi saya (masih) hidup. Dan gabungkanlah untuk diriku kebaikan dunia dan akhirat. Sesungguhnya Engkau terhadap sesuatu Maha Mampu.

Kalau sekiranya berdiri di sisi pintu Ka’bah dan berdoa disana tanpa menempelkan di ka’bah, maka hal itu (juga) baik. Majmu’ Fatawa, 26/142, 143.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Permasalahan ini para ulama’ berbeda pendapat, padahal hal ini tidak ada dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (yakni tidak ada hadits shoheh, terkait dengan melemahkan hadits-hadits tentang hal ini) akan tetapi (ada) dari sebagian para shahabat radhiallhau’anhum. Apakah menempelkan (iltizam) sunnah? Dan kapan waktunya? Apakah ketika pertama kali datang atau ketika meninggalkan (Mekkah) atau pada setiap waktu?.

Sebab (adanya) perbedaan ini diantara para ulama’ adalah dikarenakan tidak ada sunnah dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam.  Akan tetapi para shahabat –radhiallahu’anhum- mereka melakukan (hal) itu ketika pertama kali datang (di Mekkah). Para ahli fiqih mengatakan, melakukan hal itu ketika meninggalkan (Mekkah) maka menempelkan (badan) di Multazam, yaitu antara rukun yang ada hajar aswad dan pintu (ka’bah). Dari sini, maka iltizam (menempelkan tubuh di ka’bah) tidak mengapa selagi tidak menyakiti dan berdesak-desakan.” Syarkhul Al-Mumti’, 7/402, 403.

Wallahua’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam