Alhamdulillah.
Pertama:
Seorang wanita tidak berdosa jika sekedar berpikir seks, selama hal itu tidak disertai perbuatan atau pandangan. Atau berubah menjadi sebuah rencana dan keinginan kuat. Hal ini terkait dengan toleransi dalam masalah lintasan pikiran.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنفُسَهَا مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا أَوْ يَعمَلُوا بِهِ (رواه البخاري، ررقم 2528 ومسلم، رقم 127)
"Sesungguhnya Allah mengampuni umatku terkait dengan apa yang menjadi lintasan hatinya (yang buruk) selama mereka tidak membicarakannya atau mengerjakannya." (HR. Bukhari, no. 2528, Muslim, no. 127)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits ini, "Lintasan hati (yang buruk), jika tidak bersemayam dan terus menerus ada pada orangnya, dia dimaafkan berdasarkan kesepakatan ulama. Karena dia tidak dapat menghindar dari kejadiannya dan tidak ada jalan untuk menghindarinya." (Al-Azkar, hal. 345)
Dia berkata, "Sebab dimaafkan adalah sebagaimana kami sebutkan karena tidak dapat dihindari. Akan tetapi yang mungkin adalah dihindari terus menerusnya kejadian tersebut. Karena itu, jika terus menerus hal itu terjadi dan diringi kehendak hati, maka dia diharamkan."
Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan lintasan hati seperti itu merasuk dalam diri dapat menggiring pada perbuatan haram untuk melampiaskan hasrat syahwatnya, maka akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan onani, atau melihat gambar-gambar yang diharamkan atau selainnya.
Karena itu, hendaknya anda meninggalkan pikiran tersebut dan mengalihkan perhatian anda serta menyibukkan diri anda dengan taat kepada Allah Ta'ala serta perkara yang bermanfaat bagi anda pada urusan dunia dan akhirat.
Lihat jawaban soal no. 20161
Kedua:
Mazi biasanya keluar ketika hasrat memuncak. Dia najis dan membatalkan wudhu. Akan tetapi najisnya dianggap ringan, maka cukup membersihkannya dengan mencuci kemaluan dan mencipratkan baju dengan air.
Lihat jawaban soal no. 2458 dan 99507
Jika mazi tersebut keluar karena lintasan pikiran seseorang, maka orang tersebut tidak berdosa.
Ketiga:
Jika anda orang yang tidak mengetahui hukum mazi bahwa dia membatalkan wudhu, sedangkan anda sudah melakukan shalat saat mazi itu ada, maka shalat anda sah berdasarkan pendapat yang kuat. Karena anda dimaafkan akibat tidak tahu.
Begitupula orang yang tidak tahu dengan sebagian perkara yang membatalkan wudhu. Seperti orang yang tidak tahu bahwa makan daging onta membatalkan wudhu, kemudian dia shalat, maka shalatnya sah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Dengan demikian, seandainya seseorang meninggalkan bersuci yang diwajibkan, karena tidak sampai nash (alquran dan haidts) kepadanya, seperti makan daging onta dan tidak berwudhu lagi, kemudian setelah itu sampai kepadanya nash dan menjadi jelas baginya bawah dia wajib berwudhu (setelah makan daging onta) atau dia shalat di tempat berbekamnya onta, kemudian sampai kepada informasi tentang hal tersebut (bahwa shalat di sana tidak sah), apakah dia harus mengulangi shalat yang telah lalu? Dalam masalah ini ada dua pendapat dari Imam Ahmad. Perbandingannya adalah menyentuh kemaluan lalu shalat, kemudian menjadi jelas baginya bahwa hal tersebut mewajibkan wudhu.
Pendapat yang shahih dari seluru masalah tersebut, bahwa tidak diwajibkan baginya untuk mengulangi, karena Allah mengampuni perbuatan keliru dan lupa. Dia berfirman, "Kami tidak menyiksa sebelum mengutus seorang rasul." Maka siapa yang belum sampai kepadanya perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu perkara, maka tidak berlaku hukum wajib baginya. Karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan Umar dan Ammar mengulangi shalat saat keduanya junub, maka Umar tidak shalat, sedangkan Ammar shalat setelah dia berguling-guling di atas debu. Begitu juga beliau tidak memerintahkan Abu Zar untuk mengulangi shalat, ketika beliau untuk sekian hari lamanya tidak melakukan shalat karena junub. Begitupula beliau tidak memerintahkan para shahabat yang keliru memahami tali putih dan hitam dalam masalah puasa, dan tidak memerintahkan mereka yang shalat menghadap Baitul Maqdis ketika belum sampai kepada mereka informasi tentang dihapusnya ajaran tersebut.
Termasuk dalam bab ini wanita yang istihadhah tidak melakukan shalat sekian lama dengan keyakinan bahwa dia tidak wajib shalat. Tentang wajibnya qadha padanya terdapat dua pendapat; Salah satunya, dia tidak wajib mengulanginya, sebagaimana dikutip dari pendapat Malik dan selainnya. Karena wanita mustahadhah yang berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Aku mengalami haid yang sangat deras sehingga aku tidak melakukan shalat dan puasa," Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan apa yang wajib baginya pada masa datang dan tidak memerintahkan mengqadha shalatnya yang telah lalu (yang ditinggalkan karena tidak tahu hukumnya)
(Majmu Fatawa, 21/101)
Kita mohon taufiq kepada Allah, ampunan dan perlindungan.
Wallaua'lam.