Alhamdulillah.
Mempelajari masalah ini bercabang menjadi dua bagian:
1.Dari sisi syar’i, yaitu: dengan mencari dalil-dalil dari al Qur’an dan Hadits dan beberapa atsar yang ada dalam masalah ini.
2.Dari sisi Ilmiyah, yaitu: dengan mempelajari hasil penelitian ilmiyah dan bukti-bukti yang rasional yang menjelaskan masalah ini.
Pertama:
Adapun dari sisi syar’i, sebagian para ulama berkata: “Sungguh al Qur’an telah memberikan isyarat pada teori ini, dan di dalam hadits Nabi dan atsar para ulama salaf lebih menjelaskan hal tersebut. Sedangkan isyarat al Qur’an yang dimaksud adalah firman Allah:
( وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمّةً وَسَطاً ) البقرة/143 (
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan..”. (QS. al Baqarah: 143)
Karena ayat di atas dalam konteks menjadikan Ka’bah sebagai kiblat, maka seakan makna ayat tersebut adalah: sebagaimana ka’bah berada di tengah-tengah bumi, demikian juga kami jadikan kalian umat pertengahan di antara umat yang lain.
Imam al Qurtuby berkata di dalam “al Jami’ li Ahkamil Qur’an”: 2/153:
“Maknanya adalah sebagaimana ka’bah berada di tengah-tengah bumi, maka demikian juga kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan”.
Namun ini merupakan satu dari keenam pendapat lain yang disebutkan oleh para ahli tafsir pada ujung perumpamaan dalam ayat وكذلك جعلناكم ) ). Namun sepertinya pendapat yang paling kuat adalah apa yang pernah disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 3/141:
“Sebagaimana kami telah memberikan hidayah kepada kalian wahai orang-orang yang beriman dengan diutusnya Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan apa yang dibawa oleh beliau, maka kami mengkhususkan kalian dengan hidayah Ibrahim dan agamanya, dan kami utamakan kalian dengan itu semua dari pada pemeluk agama yang lain, demikian juga kami mengkhususkan dan kami utamakan kalian dari pada yang lainnya dengan menjadikan kalian sebagai umat pertengahan (berlaku adil)”. (Tafsir Qur’an ‘Adzim: 1/454, Mafatihul Ghaib: 2/387, ad Durrul Mashun: 2/134)
Di dalam al Qur’an juga ada isyarat lain:
( وَهَـَذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مّصَدّقُ الّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنذِرَ أُمّ الْقُرَىَ وَمَنْ حَوْلَهَا ) الأنعام/92
“Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya”. (QS. al An’am: 92)
Sebagian ulama berkata: “Sesungguhnya penamaan Makkah dengan Ummul Qura; karena merupakan asal dari semua kota yang ada di bumi, dan berada di tengah bumi”.
Bahkan sebagian ulama berkata: “Sungguh dalam penamaan Makkah mengisyaratkan bahwa Makkah merupakan pusatnya bumi dan tengahnya”.
Ar Raghib Al Ashfahani berkata di dalam “Mufradatul Qur’an”: 1/470-471:
“مكك adalah asal kata dari Makkah, contoh “تمككت العظك “ Aku mengeluarkan sumsum tulang, investigasi juga dinamakan التمكك . Dinamakan dengan nama tersebut karena Makkah تمك من ظلمها yaitu; menghancurkannya”.
Al Kholil berkata: “Dinamakan demikian karena Makkah berada di tengah bumi, seperti sumsum yang merupakan inti dari tulang”.
Bacalah “Mafatihul Ghaib”: 4/310, di sana disebutkan tentang asal kata dari Makkah beberapa pendapat yang lain.
Kesimpulannya adalah bahwa al Qur’an al Karim tidak mengandung baik secara tekstual, petunjuk dan isyarat yang jelas bahwa Makkah Mukarramah dan Ka’bah Musyarrafah berada di pusat dan tengah bumi. Dan semua apa yang dikemukakan di depan hanya merupakan isyarat yang masih belum bisa dipastikan kebenarannya.
Kedua:
Sedangkan hadits-hadits Nabi yang marfu’ kepada beliau, kami telah berusaha mengumpulkannya dari kitab-kitab hadits yang ada, agar kita semua mengetahui semua jalur riwayatnya, dan kami tidak menemukan hadits marfu’ kepada Nabi dalam masalah ini kecuali hanya satu hadits, yaitu:
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أول بقعة وضعت في الأرض موضع البيت ، ثم مدت منها الأرض ، وإن أول جبل وضعه الله على وجه الأرض " أبو قبيس " ، ثم مدت منه الجبال
“Lokasi pertama kali yang ada di bumi ini adalah tempat baitullah, kemudian dari situlah bumi ini dihamparkan. Dan gunung pertama kali yang Allah tancapkan di bumi ini adalah “Abu Qubais” kemudian dari situlah gunung-gunung yang lain dihamparkan”.
Al Manawi dalam “Faidhul Qadir”: 3/108 berkata:
“ ثم مدت (kemudian dihamparkan…) redaksinya pasif tidak ada pelakunya. منها الأرض (darinya sisi-sisi bumi yang lain), maka tempat ka’bah itu adalah porosnya bumi dan kutubnya”.
Namun hadits di atas diriwayatkan oleh Uqaily dalam “Ad Dhu’afa’ al Kabir”: 2/341, dan al Baihaqi dalam “Syu’abul Iman”: 3/431, dan ad Dailamy dalam “Musnad al Firdaus”: 11/1/1, dan Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh Dimasyqa”: 10/13. Imam Suyuthi dalam “al Jami’”: 9613 menisbahkan hadits di atas kepada al Hakim dalam tarikhnya.
Semua riwayat di atas melalui jalurnya Sulaiman bin Abdur Rahman, dari Abdur Rahman bin Ali bin ‘Ijlan al Qurasyi, dari Abdul Malik bin Juraij, dari ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas sebagai hadits marfu’.
Hadits ini celahnya adalah bahwa Abdur Rahman bin Ali tidak diketahui, dan riwayat ‘Atha’ atau Mujahid adalah mauquf . Sedangkan Abdur Rahman bin Ali bin ‘Ijlan ad Dimasyqi meriwayatkannya dari Ibnu Juraij, dan dari Abdur Rahman bin Tsabit bin Tsauban, dan meriwayatkan darinya Sulaiman bin Abdur Rahman dan ‘Amr bin Utsman al Hashmi dan cucu laki-lakinya dari anak perempuannya Syaibah bin Walid. Orang tersebut tidak tsiqah (dapat dipercaya) kecuali dari jalur Sulaiman bin Abdur Rahman yang menjadi perawianya. Ibnu ‘Asakir telah menukilnya dalam biografinya di kitab “Tarikh Dimasyqa” 35/133, hanya saja Sulaiman ini atau –Abu Ayyub ad Dimasyqi- banyak diperbincangkan, mereka banyak mengambil riwayat darinya yang bersumber dari orang-orang yang tidak diketahui. Ibnu Ma’in berkata dalam masalah ini: “ia adalah tsiqah (bisa dipercaya) jika ia mengambil riwayat dari orang-orang yang mudah diketahui dengan jelas”. Ibnu Hibban berkata: “Haditsnya akan diterima jika ia meriwayatkan dari orang-orang tsiqah yang sudah dikenal, dan jika ia meriwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal maka termasuk hadits mungkar”. Lihatlah biografinya dalam “Tahdzibul Kamal”: 12/26. Oleh karenanya para ulama tidak menganggap Sulaiman bin Abdur Rahman tsiqah bagi sebagian yang meriwayatkan darinya. Al Uqaily menyebutkan bahwa Abdur Rahman bin Ali tidak dikenal, dan menjadikan haditsnya mauquf (terhenti) kepada ‘Atha’ atau Mujahid, ia meriwayatkan darinya melalui sanad kepada mereka. Ia berkata pada dalam biografinya di kitab “Ad Dhu’afa’”: 2/341: “Tidak dikenal dalam periwayatan hadits, haditsnya tidak banyak dihafal kecuali dari ‘Atha’ sendiri, tidak dikenal dalam periwayatannya…
Diriwayatkan dari Ali bin Abdul Aziz bahwa ia berkata: Abu Nu’aim meriwayatkan dan berkata: al Harits bin Ziyad al Ja’fi berkata: Saya mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabah berkata: “Gunung pertama kali yang ditancapkan di bumi adalah Abu Qubais”.
Abu Yahya bin Abi Masarrah berkata: Bapakku telah meriwayatkan kepadaku dengan berkata: Dari Said bin Salim al Miqdah dari Ibnu Juraij dari Mujahid berkata: “Yang pertama kali bercahaya dari belahan bumi adalah tempatnya baitullah, dan dari sanalah dihamparkannya belahan bumi yang lain”.
Abu Ja’far berkata: “riwayat ini lebih utama”.
Sebagaimana diriwayatkan hadits serupa dari perkataan Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- yang akan disebutkan nantinya insya Allah. Inilah yang menjelaskan keraguan orang yang meriwayatkannya.
Dan di dha’ifkan oleh al Bani dalam “Silsilah Sha’ifah”: 5881.
Ketiga:
Telah disebutkan dalam atsar para sahabat dan tabi’in banyak riwayat yang menunjukkan bahwa mereka sebelumnya berpendapat bahwa porosnya bumi adalah di Makkah al Mukarramah.
1.Perkataan Abdullah bin Amru bin ‘Ash.
“Allah menciptakan al bait (ka’bah) 2000 tahun sebelum penciptaan bumi, pada saat itu ‘arsy Allah di atas air seperti buih yang putih, dan bumi berada di bawahnya laksana batu karang, maka dihamparkanlah bumi di bawahnya”. (HR. Thabari dalam tafsirnya: 6/20 dengan perawi sanadnya tsiqah. Disebutkan juga dalam “Ad Durrul Mantsur”: 2/265 diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, Thabrani, Baihaqi dalam “Syu’ab”.
2.Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
“Ka’bah diletakkan di atas air di atas empat pilar sejak 2000 tahun sebelum diciptakannya dunia, kemudian dihamparkanlah bumi dari bawahnya”. (HR. Thabari dalam tafsirnya: 3/61, dengan sanad yang biasa saja.
3.Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa dia berkata:
“Ka’bah diciptakan 2000 tahun sebelum penciptaan bumi, mereka berkata: Bagaimana mungkin ia diciptakan sebelum bumi, padahal ka’bah termasuk bumi juga ?. beliau menjawab: Bahwa dulunya sebuah karang/pulau di atas air, di atasnya ada dua orang malaikat yang bertasbih pada malam dan siang hari selama 2000 tahun, ketika Allah berkehendak menciptakan bumi maka Dia menghamparkan bumi darinya, dan menjadikan posisinya di tengah bumi”. (Dalam “Ad Durrul Mantsur: 1/115 dinisbahkan kepada Sa’id bin Manshur, Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim. Saya pernah meneliti sanadnya dalam “Majelis Imlak fi Ru’yatillah –Tabaraka wa Ta’ala- ditulis oleh Abu Abdillah ad Daqqaq: 287, dan dalam “Amali bin Basyran”: 2/204, dan di dalamnya ada Abu Ma’syar Najih bin Abdir Rahman al Madani biografinya dalam “Tahdzib Tahdzib”: 10/422, banyak ahli hadits yang mendha’ifkannya.
Adapun riwayat dari para tabi’in: Diriwayatkan dari Mujahid, ‘Atha’, Amr bin Dinar dan yang lainnya yang serupa dengan di atas. Sebagaimana menurut Ibnu Abi Hatim dan Thabary dalam kedua tafsirnya, demikian juga dalam karangan Abdur Razzaq: 5/90. Dan di antara kitab-kitab yang banyak mengabarkan berita ini adalah “Akhbar Makkah” milik al Fakihi.
Beberapa atsar di atas yang memungkinkan untuk menaikkan statusnya menjadi marfu’, namun juga bisa jadi dinukil dari ahli kitab, karena buku-buku mereka penuh dengan cerita penciptaan langit dan bumi dan awal mula penciptaan. Dugaan ini di kuatkan dengan atsar dari Ka’ab al Ahbar, sebagaimana halnya diriwayatkan darinya oleh Abdur Razzaq dalam “al Mushannaf”: 5/95 bahwa ia berkata: “Dahulu ka’bah itu adalah buih di atas air, 40 tahun sebelum Allah menciptakan bumi, dan dari buih itulah dihamparkannya bumi”.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Qatadah –rahimahullah- dalam “Fadhail Shahabat” yang disusun oleh imam Ahmad: 2/901 bahwa batu yang di Baitul Maqdis itulah yang menjadi poros bumi”.
Hanya saja terkadang begitu terasa bahwa masalah ini bersumber dari berita-berita ahli kitab.
Keempat:
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa anda tidak menemukan dalil yang jelas untuk menunjukkan bahwa Makkah al Mukarramah adalah pusat dari bumi, namun beberapa isyarat yang telah kami kemukakan di depan, yang juga difahami demikian oleh sebagian para ulama, dan berdasarkan beberapa atsar di atas, maka anda akan merasakan bahwa pendapat ini memiliki dasar, semua yang telah disebutkan di atas merupakan qarinah yang menguatkan pendapat ulama yang meyakininya, selama tidak ada dalil ilmiyah yang benar yang menentangnya.
Kelima:
Adapun jika dilihat dari sisi ilmiyah, maka kami bukanlah spesialis ilmu bumi dan geografi, maka kami cukupkan pembahasan ini sampai di sini, akan tetapi kami sarankan anda membaca hasil penelitian sebagian pakar yang ahli dalam bidang ini, mereka sampai pada kesimpulan bahwa Makkah al Mukarramah adalah pusatnya bumi dan porosnya. Mudah-mudahan karya ilmiyah mereka bisa menguatkan dari sisi ilmu pengetahuan dengan tetap memposisikannya sebagai hasil penelitian yang pada akhirnya sebagai perkara ijtihad yang bisa jadi salah dan bisa jadi benar.
Lihatlah: Artikel “Isqath Kurah al Ardhiyah bin Nisbah li Makkah al Mukarramah”, DR. Husain Kamaluddin Ahmad pada majalah “al Buhuts al Islamiyah”, Riyadh: 2/292.
Dan artikel: “al Isqath al Makky lil ‘Alam”, DR. Husain Kamaluddin Ahmad pada majalah “al Buhuts al Islamiyah”, Riyadh: 6/225.
Wallahu a’lam.