Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Peran Orang Tua Terhadap Anak-anaknya Ditengah Masyarakat Yang Tidak Kondusif Untuk Pendidikan Anak

103526

Tanggal Tayang : 03-04-2015

Penampilan-penampilan : 7104

Pertanyaan

Ada kasus yang menyebar di antara para pemuda di negara barat, bahwa para orang tua membiarkan anak-anaknya melakukan beberapa perkara haram, dengan begitu mereka berasumsi bahwa anak-anak tersebut tidak akan terjerumus pada maksiat yang lebih berat. Contoh: Para orang tua membiarkan anak-anaknya mendengarkan musik sebagai pengganti mereka keluar rumah dan bergaul dengan pelaku kejahatan atau membiarkan mereka hanya di dalam rumah, para orang tua tidak menerapkan syari’at Allah di dalam rumah karena khawatir anak-anak tersebut kabur. Bagaimnakah pendapat Islam dalam masalah ini ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Keberhasilan dan kegagalan seorang muslim berbeda dalam mendidik anak-anaknya mengikuti perbedaan istilah yang jumlahya banyak sekali, dan sudah tidak diragukan lagi bahwa lingkungan tempat tinggal memiliki andil besar akan kesuksesan atau kegagalan pendidikan mereka. Silahkan merujuk pada jawaban soal nomor: 52893.

Kedua:

Kedua orang wajib mengetahui bahwa Allah –Ta’ala- telah menitipkan kepemimpinan. Menjadi kewajiban mereka untuk menunaikan amanah, sebagaimana yang Allah perintahkan kepada mereka di dalam al Qur’an, sunnah nabawiyah juga menguatkan perkara tersebut dalam banyak hadits yang shahih. Sebagaimana banyak juga ayat ataupun hadits yang memberikan peringatan bagi siapa saja yang tidak menasehati orang yang dipimpinnya, dan bagi siapa saja yang menelantarkan amanah yang Allah amanahkan kepadanya.

Dari Ma’qil bin Yasar al Muzani berkata: Saya mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرعِيهِ اللهُ رَعِيَّة يَموتُ يَوْمَ يَمُوتُ وهو غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللهُ عليه الجَنَّةَ(

“Tidaklah seorang hamba yang diberi kepemimpinan oleh Allah lalu meninggal dunia pada saat ajalnya menjemputnya, yang sebelumnya berbuat curang kepada orang-orang yang dipimpinannya kecuali Allah akan mengharamkannya dari surga”.

dan dalam riwayat yang lain:

( فَلَمْ يَحُطْها بِنَصِيحَةٍ إِلا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ ) رواه البخاري (6731) ومسلم (142(

“Dan tidak pernah menasehatinya, maka ia tidak akan mendapatkan bau surga”. (HR. Bukhori: 6731 dan Muslim: 142)

Lihat juga jawaban soal: 20064

Ketiga:

Allah –Ta’ala- telah menyuruh para wali dari anak-anak untuk mendidik mereka tentang ketaatan sejak kecil dan mencintai agama, meskipun mereka belum menjadi mukallaf disebabkan mereka belum baligh, namun juga tidak menunggu baligh untuk mulai mendapatkan nasehat, petunjuk dan perintah taat; karena umumnya pada usia seperti dia tidak akan menanggapi ajakan teman-temannya kecuali jika mereka terdidik dengan pendidikan yang sama, dan mereka belajar sejak kecil dari keluarga mereka. Dari sinilah maka datang perintah kepada orang tua wali untuk mengajari anak-anak shalat sejak usia tujuh tahun, dan boleh dipukul bagi yang tidak mau shalat sejak berumur sepuluh tahun. Para sahabat dahulu membiasakan anak-anak mereka ikut berpuasa, agar menjadi kebiasaan untuk mencintai agama, dan syari’atnya, untuk memudahkan mereka melaksanakan perintah dan menjauhi larangan pada saat dewasa nantinya.

Dari Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ (أبو داود ( 495 ) ، وصححه الألباني في " صحيح أبي داود

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mendirikan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika membangkang) sejak berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka”. (HR. Abu Daud  495, dan dishahihkan Albaani dalam “Shahih Abu Daud”)

Dari Ar Rubaiyyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afra’ berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengutus pada pagi hari ‘Asyura kepada beberapa desa kaum Anshar di sekitar Madinah:

( مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ) ، فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ
رواه البخاري (1960) ومسلم (1136(

“Barang siapa yang pada pagi hari ini berpuasa, maka sempurnakanlah puasanya, dan barang siapa berbuka (tidak berpuasa) maka sempurnakanlah pada sisa harinya”. Maka kami berpuasa pada hari tersebut, dan mengajak anak-anak kami yang masih kecil juga ikut berpuasa –insya Allah-. Lalu kami pergi ke masjid dan membuatkan mereka mainan dari bulu. Ketika salah seorang dari mereka menangis minta makan, maka kami memberikan mainan tersebut kepadanya ketika berbuka”. (HR. Bukhori 1960 dan Muslim 1136)

Sebagaimana mereka mendidik anak-anak dalam ketaatan, mereka juga mencegah dari yang diharamkan. Ketaatan (dalam ibadah) seorang anak pahalanya adalah untuk dia sendiri dan siapa saja yang mengajari dan memotivasi dirinya. Adapun perbuatan maksiat: seorang anak (jika melakukannya) tidak berdosa, akan tetapi yang berdosa adalah yang memberikan peluang kepadanya untuk bermaksiat, dan membiarkan pintu maksiat terbuka di hadapannya. Adapun yang menunjukkan (jalan kemaksiatan) maka ia sama dengan pelakunya.

Oleh karenanya, bukanlah termasuk bentuk kekerasan jika seorang muslim mendidik anaknya dalam ketaatan dan melarangnya melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti: anak laki-laki memakai emas atau sutera, atau anak perempuan memakai pakaian anak laki-laki, atau berkata dusta, mencuri, mencela, atau bentuk maksiat yang lain. Juga bukanlah termasuk bentuk kekerasan jika seorang muslim mendidik anak perempuannya dengan rasa malu, menjaga kesucian dirinya, tidak berbaur dengan laki-laki; karena barang siapa yang tumbuh dengan perbuatan tertentu dihawatirkan ia akan melakukannya terus menerus.

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Seorang anak meskipun ia belum menjadi seorang mukallaf, orang tua walinya yang mukallaf, haram baginya untuk memudahkan akses perbuatan haram, karena jika ia terbiasa melakukannya maka sulit untuk memisahkannya”. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud: 162)

Beliau –rahimahullah- berkata:

“Barang siapa yang tidak peduli dengan pendidikan anaknya dengan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkannya tanpa manfaat, maka ia telah melakukan hal yang sangat buruk sekali. Kebanyakan rusaknya masa depan anak-anak disebabkan oleh para orang tua, mereka menelantarkan pendidikan mereka, dan tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan masa kecil mereka. Mereka tidak bermanfaat bagi diri mereka dan juga tidak bermanfaat bagi orang tua mereka ketika mereka sudah berusia lanjut”. (Tuhfatu Maudud: 229)

Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:

“Berkaitan dengan anak-anak saya yang masih kecil. Apakah mengajari mereka dengan adab Islami dan memaksa anak-anak perempuan sejak kecil agar memakai pakaian muslimah, termasuk bentuk kekerasan dalam mendidik ?, dan jika perbuatan saya ini benar, apakah dalilnya baik dari al Qur’an maupun hadits ?

Mereka menjawab:

“Apa yang telah anda sebutkan dengan memaksa anak-anak perempuan untuk memakai pakaian longgar dan tertutup dan membiasakannya memakai pakaian tersebut sejak kecil, maka hal ini bukanlah termasuk bentuk kekerasan atau kekangan. Justru apa yang anda lakukan sudah benar, dengan mendidik mereka dengan pendidikan Islam”.

(Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, Syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghadyan)

(Fatawa Lajnah Daimah: 25/285-286)

dan di dalam bukunya “Majmu’atu As-ilatin Tahummul Usrah al Muslimah” Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Para ulama berkata: Haram hukumnya memakaikan pada anak-anak pakaian yang orang dewasapun haram memakainya. Dan pakaian yang bergambar: apa yang haram dipakai oleh orang dewasa maka memakaikannya untuk anak kecil haram juga”.

Maka sebaiknya bagi kaum muslimin agar memboikot pakaian atau sepatu seperti yang disebutkan tadi, hingga para pelaku kejahatan dan kerusakan tidak memasuki wilayah kita melalui media tersebut. Jika diboikot maka mereka tidak akan mendapatkan jalan untuk memasuki negara ini, dan meremehkan urusannya di antara  mereka”.

Beliau ditanya sesudahnya:

“Apakah boleh memakaikan anak-anak laki-laki apa yang dikhususkan bagi perempuan, seperti: emas, sutera atau yang lainnya begitu sebaliknya ?”

Beliau menjawab:

“Hal ini sudah bisa difahami melalui jawaban yang pertama di atas, bahwa para ulama berkata: “Haram hukumnya memakaikan sesuatu yang haram dipakai oleh orang dewasa, atas dasar itu maka haram hukumnya memakaikan anak laki-laki apa yang menjadi ciri khas perempuan, demikian juga sebaliknya”.

Beliau juga ditanya setelahnya:

“ Apakah masuk dalam hal ini isbalnya pakaian anak laki-laki ?”

Beliau menjawab: “Ya, masuk”.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam