Alhamdulillah.
Pertama: Sejarah Kubah Hijau
Kubah yang ada di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, dahulu tidak ada hingga abad ketujuh. Yang (pertama kali) membangunnya adalah Sultan Qalawun. Dahulu berwarna kayu, kemudian berwarna putih, biru dan hijau. Dan warna hijau yang berlanjut hingga sekarang.
Ustadz Ali Hafid hafizahullah berkata: “Belum pernah ada kubah di atas kamar yang suci (kuburan Nabi). Dahulu di atap masjid yang sejajar dengan kamar ada kayu memanjang setengah ukuran orang untuk membedakan antara kamar dengan sisa atap masjid lainnya.
Sulton Qalawun As-Shalihi yang pertama kali membuat kubah di atas kuburan tersebut. Dikerjakan pada tahun 678 H, berbentuk empat persegi panjang dari sisi bawah, sedangkan atasnya berbentuk delapan persegi dilapisi dengan kayu. Didirikan di atas tiang-tiang yang mengelilingi kamar, dikuatkan dengan papan dari kayu, lalu dikuatkan lagi dengan tembaga, dan ditaruh di atas kayu dengan kayu lain.
Kubah tersebut diperbarui pada zaman An-Nasir Hasan bin Muhammad Qalawun, kemudian papan yang ada tembaganya retak. Lalu diperbarui dan dikuatkan lagi pada masa Al-Asyraf Sya’ban bin Husain bin Muhammad tahun, 765 H. Akan tetapi ada kerusakan, dan diperbaiki pada zaman Sultan Qaytabai tahun 881 H. Rumah dan kubah terbakar pada (waktu) kebakaran Masjid Nabawi tahun 886 H. Pada zaman Sultan Qaytabai tahun 887 H, kubahnya diperbarui. Dan dibuat pondasi yang kuat di tanah Masjid Nabawi, dibangun dengan kayu dengan puncak ketinggian. Setelah kubah selesai seperti yang telah dijelaskan, ternyata bagian atasnya koyak kembali. Ketika merasa tidak mungkin lagi dipugar, Sultan Fayyabi memerintahkan untuk menghancurkan bagian atasnya. Lalu diulangi lagi pembangunannya lebih kuat dengan semen putih. Dan selesai dengan kokoh dan kuat pada tahun 892 H. Pada tahun 1253 H Sultan Abdul Hamid Al-Utsmani mengeluarkan perintah untuk mengecat kubah dengan warna hijau. Beliaulah yang pertama kali mengecat kubah dengan (warna) hijau. Kemudian cat tersebut terus menerus diperbarui setiap kali dibutuhkan, sampai hari ini. Dinamakan kubah hijau setelah dicat hijau. Dahulu dikenal dengan Kubah Putih, Fayha dan Kubah Biru.” (Fushul Min Tarikh Al-Madinah Al-Munawwarah, Ali Hafiz, hal. 127-128)
Kedua: Hukumnya
Para ulama peneliti -dahulu dan sekarang- telah mengingkari bangunan kubah dan pengecatannya. Semua itu karena mereka mengetahui bahwa pengingkaran tersebut dapat mencegah peluang yang banyak yang mengkhawatirkan lahirnya tindakan kesyirikan. Di antara ulama-ulama tersebut adalah;
1. Imam Ash-Shan’any rahimahullah dalam kitab ‘Tathirul I’tiqadat’, berkata, 'Kalau anda katakan, bahwa pada kuburan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah dibangun kubah yang agung dengan biaya yang sangat besar, maka saya katakan, ini merupakan kebodohan besar tentang hakikat sebuah keadaan. Sesungguhnya kubah tersebut tidak dibangun oleh beliau (Nabi) sallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, para tabiin, para tabiit tabi’in, tidak juga para ulama umat dan pemimpin agamanya. Akan tetapi kubah yang dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tersebut adalah bangunan yang didirikan salah seorang raja Mesir terakhir yaitu Qalawun As-Salihi yang dikenal dengan Raja Al-Mansur pada tahun 678 H.
Disebutkan dalam kitab ‘Tahqiq An-Nushrah Bitalkhis Ma’alim Dar Al-Hijrah’, 'Ini adalah urusan pemerintah, tidak ada kaitannya dengan dalil.'
2. Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya: “Ada orang yang berhujjah (berargumen) bahwa adanya bangunan kubah hijau di atas kuburan yang mulia di Masjid Nabawi menunjukkan dibolehkannya membangun kubah di atas kuburan-kuburan lain seperti orang-orang shaleh dan lainnya. Apakah hujjah ini dibenarkan atau bagaimana cara menyangkalnya?.
Mereka menjawab: “Hujjah (argumen) orang yang membolehkan membangun kubah di atas kuburan orang saleh yang telah wafat, dengan (adanya) kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidaklah benar. Karena tindakan mereka yang membangun kubah di atas kuburannya sallallahu’alaihi wa sallam merupakan perbuatan haram dan pelakunya berdosa, karena menyalahi riwayat dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi yang berkata, 'Ali bin Abi Tholib radhiallahu anhu berkata kepadaku: ”Mari aku utus engkau sebagaimana Rasulullah sallallahu alahi wa sallam mengutusku; Janganlah engkau membiarkan patung kecuali engkau hilangkan, dan jangan biarkan kuburan tinggi kecuali engkau ratakan."
Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيهِ ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيهِ (رواهما مسلم)
"Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan ditembok, diduduki dan dibangun di atasnya." (HR. Muslim)
Maka tidak sah seseorang berhujjah dengan prilaku sebagian orang yang diharamkan dengan melakukan prilaku yang sama yang diharamkan (juga). Karena tidak dibolehkan menyalahi sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan bersandar perkataan atau perbuatan seorang pun. Karena (beliau sallallahu’alaihi wasallam) sebagai penyampai dari Allah Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati dan tidak boleh menyalahi perintahnya. Berdasarkan firman Allah Azza wa jalla:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (سورة الحشر: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Dan ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Allah dan kepada RasulNya.
Di samping itu, karena membangun kuburan dan menjadikan kubah di atasnya merupakan salah satu sarana kesyirikan terhadap penghuninya, maka pintu ke arah sana harus ditutup sebagai antisipasi mencegah perbuatan syirik.’
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Qa’ud
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/83-84)
3. Para ulama’ Al-Lajnah ad-Daimah mengomentari juga:
”Berdirinya kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alahi wasallam bukan sebagai hujjah bagi yang mecari dalil untuk itu dalam membangun kubah di atas kuburan para wali dan orang-orang shaleh. Karena adanya kubah di atas kuburannya, bukan atas wasiat dari beliau sallallahu’alaihi wa sallam, juga bukan prilaku para shahabat radhiallahu’anhum, bukan juga para tabiin, juga bukan (perbuatan) seorang pun dari para imam yang mendapatkan petunjuk di abad-abad permulaan yang disaksikan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik. Sssungguhnya hal itu (merupakan prilaku) ahli bid’ah.
Telah menjadi ketetapan Nabi sallallahu’alahi wa sallam dalam sabdanya: “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami yang tidak ada (ajarannya) maka ia tertolak.”
Begitu pula telah ada ketetapan dari Ali radhiallahu anhu bahwa beliau berkata kepada Abu Al-hayyaj: ”Mari aku utus engkau sebagaimana Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam mengutusku; Janganlah engkau membiarkan patung kecuali engkau hilangkan, dan jangan ada kuburan tinggi kecuali engkau telah ratakan.” (HR. Muslim)
Tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam membangun kubah di atas kuburannya, juga tidak ada ketetapan dari para imam yang terbaik. Justeru ketetapan yang ada adalah membatalkan akan hal itu. maka selayaknya seorang muslim tidak tergantung dengan apa yang dibuat-buat oleh ahli bid’ah dengan membangun kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.”
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Gudayyan, Syekh Abdullah Qa’ud. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/264, 265)
4. Syekh Syamsuddin Al-Afghany rahimahullah berkata: ”Al-Allamah Al-Khojnadi (1379 H) berkata dalam menjelaskan sejarah pembangunan kubah hijau yang dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, 'Setelah diteliti, dia adalah bid’ah yang dilakukan melalui tangan-tangan sebagian penguasa yang tidak paham dan keliru yang jelas-jelas menyalahi hadits shahih muhkam (yang jelas mengandung hukum) dan jelas. Karena ketidak tahuan tentang sunnah serta sikap berlebih-lebihan dan mengikuti orang Kristen yang sesat dan bingung.
Ketahuilah, bahwa hingga tahun 678 H, kubah di atas kamar nabi yang di dalamnya ada kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah ada. Akan tetapi, hal tersebut baru dibangun oleh Raja Ad-Zahir Al-Mansur Qalawun As-Sholihi pada tahun itu (678 H). Maka dibangunlah kubah itu.
Saya katakan: ”Sesungguhnya (dia) melakukan hal itu karena melihat di Mesir dan Syam hiasan pada gereja orang Kristen. Maka dia menirunya karena tidak tahu terhadap perintah Nabi sallallahu’alahi wa sallam dan sunnah-sunnahnya. Sebagaimana Al-Walid menirunya dalam menghias masjid. Maka berhati-hatilah. (Wafa AL-Wafa).
Tidak diragukan lagi bahwa prilaku Qalawun ini –dengan tegas menyalahi hadits shahih dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Akan tetapi kebodohan adalah bencana yang besar. Dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan mengagumkan adalah bencana yang mengerikan. Meniru orang-orang asing (non Islam) adalah penyakit yang memusnahkan. Maka kami berlindung kepada Allah dari kebodohan, berlebih-lebihan dan dari meniru orang-orang asing.” (Juhud Ulama’ Al-Hanafiyah Fi Ibtol Aqoidil AL-Quburiyyah, 3/1660-1662)
Ketiga: Sebab Tidak Dihancurkannya.
Para ulama menerangkan hukum agama terkait membangun kubah. Pengaruh dari perbuatan bid’ah ini sangat jelas bagi para pelaku bid’ah, mereka menjadi sangat tergantung dengan bangunan tersebut, baik bentuk maupun warnanya. Pujian dan penghormatan mereka telah banyak melahirkan nazam (syair) maupun natsar (prosa). (Untuk mengatasi hal ini) yang ada tingal realisasi dari pemerintah, dan ini bukan pekerjaan para ulama.
Boleh jadi, penghalang bangunan tersebut tidak dihancurkan adalah agar tidak terjadi fitnah, dan khawatir terjadi kekacauan di kalangan awam karena ketidaktahuan mereka. Yang sangat memprihatinkan adalah bahwa kalangan awam di tengah masyarakat dapat sampai pada tindakan pengagungan terhadap kubah tersebut tak lain karena ajaran dan arahan para ulama sesat dan para pemimpin bid’ah. Mereka inilah yang membuat kekacauan terhadap dua negeri yang suci (Mekkah dan Madinah) serta terhadap aqidah dan manhajnya. Karena telah banyak sekali prilaku yang sesuai dengan agama di kami yang menyalahi bid’ah mereka. Yang jelas, hukum agama telah tampak dengan jelas. Tidak dihancurkannya kubah tersebut bukan berarti dibolehkan membangunnya, baik di situ maupun di kuburan manapun.
Syekh Shaleh Al-Ushaimi hafizahullah berkata: “Sesungguhnya berdirinya kubah tersebut selama delapan abad, bukan berarti dia dibolehkan. Juga bukan berarti jika didiamkan bermakna setuju atau dalil membolehkan. Seharusnya penguasa umat Islam menghilangkannya, dan mengembalikan kondisinya seperti waktu kenabian, yaitu dengan menghilangkan kubah, hiasan dan dekorasi dalam masjid. Terutama pada Masjid Nabawi, jika hal itu tidak berdampak fitnah yang lebih besar. Akan tetapi, jika berdampak fitnah lebih besar, maka penguasa (harus) berhati-hati disertai keinginan kuat (untuk menghancurkannya) jika memungkinkan. (Bida Al-Qubur, Anwa’uha Wa ahkamuha, hal.253)
Wallahu’alam .