Alhamdulillah.
..Pertama :
Tidak diragukan lagi sesungguhnya perbuatan zina merupakan kekejian tebesar yang syariat Islam datang dan menganjurkan untuk menghindarinya. Sungguh syariat Allah Ta’ala telah menurunkan hukum-hukum yang tidak sedikit jumlahnya agar seseorang tidak sampai melakukan kekejian tersebut. Diantaranya adalah mengharamkan melihat wanita yang bukan mahram, menyentuh mereka, berkhalwat bersama mereka dan juga diharamkan bagi seorang wanita bepergian sendirian tanpa disertai mahramnya dan lain sebagainya, yang bertujuan memutuskan jalan bagi setan yang menggoda kaum muslimin agar mendekati kekejian tersebut. Kemudian Allah Ta’ala menetapkan syari’at yang agung bagi pelaku kekejian ini. Maka ditetapkanlah hukum seratus cambukan bagi seorang pezina laki-laki atau perempuan yang belum pernah menikah, dan hukuman rajam dengan batu sampai meninggal dunia bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah.
Kedua :
Adapun khusus bagi seorang istri dan keluarganya yang menutup-nutupi akan hilangnya keperawanannya, hal demikian tersebut tidak menyalahi syari’at, karena Allah Ta’ala lebih menyukai orang yang merahasiakan aib dan akan memberikan balasan bagi siapa saja yang telah menutupi aib. Seorang istri tidak harus memberitahukan suaminya tentang hilangnya keperawanannya meskipun lenyapnya keperawanan tersebut karena terjatuh, atau karena haid yang berat atau karena perbuatan zina yang dia alami. Syekh Bin Baaz Rahimahullah mengungkapkan tentang masalah ini. Di bawah ini sebagian fatwa Ulama Allajnah Addaaimah :
1-Ulama Al-lajnah Ad-daaimah ditanya: Seorang muslimah dimasa kecilnya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya lapisan keperawanannya, dan dia telah melangsungkan akad nikah dengan suaminya akan tetapi belum melakukan hubungan suami-istri. Kejadian lain yang sama kasusnya sebagaimana di atas dan saat ini muslimah tersebut sedang dihadapkan pada pinangan beberapa ikhwah yang hanif lagi komitmen terhadap syariat dan mereka berkeinginan untuk menikahinya. Kedua muslimah tersebut saat ini sedang dirundung kegalauan dengan perkara yang sedang mereka hadapi. Manakah yang lebih utama dilakukan bagi muslimah yang sudah terlanjur melangsungkan akad nikah ini, apakah dia harus memberitahukan suaminya kejadian tersebut sebelum berhubungan intim ataukah lebih baik dia merahasiakannya? Dan bagi muslimah yang belum melangsungkan pernikahan, apakah dia tetap merahasiakan perkara tersebut karena khawatir tersebar keburukannya dan prasangka buruk orang-orang kepadanya meskipun hal ini terjadi pada masa kecilnya dimana pada saat itu dia belum akil balig, ataukah hal ini termasuk perbuatan curang dan berkhianat, apakah perlu memberitahukan kepada lelaki yang datang meminang dan bertujuan menikahinya?
Mereka para Ulama menjawab: Secara syari’at bukanlah sebuah dosa apabila pihak wanita merahasiakan hal tersebut. Namun, ketika suaminya menanyakannya setelah berhubungan badan maka hendaklah dia menyampaikan yang sebenarnya. (Syekh Abdul Aziz Bin Baaz dan Syekh Abdur Razzaq ‘Afifi, Fatawa Allajnah Addaaimah, 5/19)
2-Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengungkapkan: Jika dia mengakui bahwa kegadisannya telah lenyap dalam kejadian yang bukan merupakan perzinaan, maka tidak ada dosa baginya, atau bahkan meskipun hilangnya kegadisan tersebut karena perbuatan keji seperti pelecehan seksual atau diperkosa, maka sesungguhnya hal ini tidak merugikan pihak suami. Jika memang setelah kejadian tersebut dia telah kedapatan haid seperti sediakala, atau karena perzinaan dan dia telah menyesal serta bertaubat. Karena bisa jadi hal ini dia lakukan saat belum paham tentang syari’at lalu setelah itu dia menyesal dan bertaubat. Maka sudah tentu hal inipun tidak merugikan pihak suami sama sekali, dan tidak seharusnya suami menyebarluaskan kejadian tersebut bahkan sepatutnya dia menutupi aib istrinya, jika menurut dugaannya sang istri jujur dalam mengutarakannya dengan penuh kejujuran dan menampakkan keistiqomahannya, maka dia (suami) berkewajiban mempertahankan pernikahannya. Namun jika sudah tidak ada lagi kecocokan maka pihak suami boleh menceraikannya dengan tetap menutupi aibnya dan tidak menyebarluaskan hal-hal yang menyebabkan fitnah dan keburukan.” (Fatawa Syekh Abdul Aziz bin Baaz, 286-187/20)
Ketiga :
Jika seorang suami mensyaratkan agar istrinya masih gadis lalu dia mendapatinya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan, maka dia berhak menuntut Fasakh atau pembatalan pernikahan. Bila hal demikian diketahuinya sebelum melakukan hubungan suami-istri maka tidak ada sedikitpun mahar untuk istri. Namun jika dia mengetahuinya setelah melakukan hubungan suami-istri dan pihak istrilah yang mengelabuinya, maka dia berkewajiban mengembalikan semua maharnya. Apabila wali dari istrinya atau orang lain yang mengelabuinya, maka mahar wajib dibayarkan kepada sang suami.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengungkapkan: Jika salah seorang dari suami maupun istri mensyaratkan kepada pasangannya sifat-sifat tertentu, seperti kesempurnaan, kecantikan, ketampanan, kegadisan dan lain sebagainya maka yang demikian itu bisa dibenarkan. Dan yang memberikan syarat berhak membatalkan pernikahan apabila tidak sesuai dengan kriteria syarat yang diberikan. Ini merupakan salah satu riwayat yang paling benar dari Ahmad, dan salah satu pendapat yang paling benar dari As Syafi’i, dan pendapat dari mazhab Malik. Adapun pendapat yang lain menyebutkan, tidak berhak menuntut pembatalan pernikahan, kecuali jika syaratnya masalah merdeka dan kesamaan dalam agama.” (Majmu’ Fatawa, 29/175)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Apabila mensyaratkan kesempurnaan fisik atau kecantikan, lalu ia mendapatinya buruk rupa, atau mensyaratkan masih muda belia, padahal kenyataannya sudah tua dan uban menyala di rambutnya, atau mensyaratkan berkulit putih, lalu kenyataannya berkulit hitam, atau mensyaratkan masih gadis, akan tetapi ia telah janda, maka dia (suami) boleh menuntut fasakh (pembatalan pernikahan) terhadap itu semua.
Jika suami belum berhubungan intim dengannya (apabila terjadi pembatalan pernikahan), maka tidak ada mahar bagi istri. Adapun jika sudah behubungan suami-istri maka istri berhak mendapat mahar yang telah ditentukan dan wali perempuan mendapat denda apabila memang walinya mengelabui sang suami. Jika istri itu sendiri yang mengelabuinya maka gugurlah kewajiban membayar mahar untuknya, atau suami bisa menuntut istrinya dari kedustaan yang telah dilakukannya. Imam Ahmad mengambil pendapat tersebut dalam salah satu riwayat dari beliau, karena riwayat tersebut lebih mendekati kias dan lebih sesuai dengan ushul mazhab beliau yaitu tentang jika suami yang memberikan syarat. (dari kitab “Zaadul Ma’ad”, 5/184-185 )
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apabila kegadisan seorang perempuan hilang karena berhubungan yang halal atau tidak halal, maka bagaimana hukumnya dalam syari’at Islam jika seorang lelaki menikahinya dengan menyertakan dua kondisi :
· Kondisi pertama : Apabila mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.
· Kondisi kedua : Apabila tidak mensyaratkan kegadisan atau keperawanan.
Apakah dia memiliki kewenangan untuk meminta fasakh ataukah tidak?
Lalu beliau menjawab: Yang sudah sama-sama dimaklumi di kalangan para ulama Fiqih adalah apabila seseorang menikahi seorang wanita dengan penuh keyakinan bahwa dia masih perawan, akan tetapi dia tidak menjadikan kegadisan sebagai syarat utama, maka tidak ada pilihan baginya (tidak memiliki hak membatalkan pernikahan); disamping karena bisa jadi kegadisan itu hilang sebab kurangnya kepedulian seorang wanita terhadap dirinya sendiri, atau karena kecelakaan yang amat kuat sehingga merobek keperawanan, atau disebabkan perzinaan di bawah tekanan dan paksaan, maka selama kemungkinan-kemungkinan tersebut terjadi ; tidak ada alasan bagi seorang suami untuk menuntut fasakh dengan pernikahannya jika ia mendapati istrinya sudah tidak perawan lagi.
Adapun apabila suami mensyaratkan wajibnya kegadisan sang istri dalam akad nikahnya, dan ternyata dia mendapatinya sudah tidak perawan lagi, maka dia berhak memilih untuk menuntut fasakh atau melanjutkan pernikahannya. (Dikutip dari kitab Liqoaat Albab Al Maftuh, 67/soal no. 13).
Berdasarkan hal tersebut, jika anda mensyaratkan pada saat akad nikah keharusan sebuah kegadisan atau keperawanan, bagi anda berhak menuntut kembali mahar yang telah diberikan, dan anda juga berhak menceraikannya jika memang anda berkehendak untuk itu dan anda merasa tidak nyaman lagi hidup bersama istri anda. Adapun jika anda tidak mensyaratkan kegadisan pada saat akad nikah, maka sama sekali anda tidak berhak untuk menuntut kembali mahar yang telah diberikan. Nasehat yang diberikan dalam hal ini adalah hendaknya anda tetap hidup bersama istri anda dan menutupi aibnya jika memang dia telah bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya dan ada indikasi serta kemauan dia telah istiqomah dalam menjalankan syari’at agama.
Wallahu A’lam..