Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Memberi zakat kepada orang yang sedang membangun rumah

111884

Tanggal Tayang : 04-11-2015

Penampilan-penampilan : 7801

Pertanyaan

Bolehkah saya memberi zakat kepada orang yang sedang membutuhkan dana untuk membangun rumahnya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Mustahik zakat itu ada delapan golongan, seperti tertuang dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ) التوبة/60

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60).

Penjelasan tentang kedelapan golongan itu sudah dipaparkan pada jawaban soal nomor 46209.

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang fakir dan miskin itu harus diberikan dana zakat yang dapat mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya selama satu tahun. Mereka menetapkan masa ‘satu tahun’ karena biasanya zakat dibayarkan setiap tahun.

Di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (23/317) disebutkan:

“Kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin: Jumhur ulama yang terdiri dari ulama mazhab Maliki, satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, dan pendapat mazhab Hambali menyatakan bahwa setiap mustahik zakat, fakir ataupun miskin misalnya, diberi kadar zakat yang cukup untuk dirinya dan orang-orang yang dibiayainya selama satu tahun, tak boleh lebih. Mereka menetapkan masa ‘satu tahun’ sebab zakat biasanya dibayarkan setiap tahun, juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan makanan beliau dan keluarganya untuk satu tahun ke depan.”

Atas dasar itu, seorang fakir atau miskin tidak boleh diberi harta zakat untuk membeli atau membangun rumahnya, karena ini melebihi kebutuhannya selama setahun. Tetapi ia boleh diberi harta zakat sebesar biaya sewa rumahnya selama satu tahun.

Sedangkan Imam Syafi’i dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang fakir atau miskin boleh diberi dana zakat yang dapat membuatnya menjadi kaya tanpa harus dibatasi dengan biaya kebutuhannya selama satu tahun. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiah.

Di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (23/317) disebutkan:

Para ulama mazhab Syafi’i (dalam satu pendapat) dan ulama mazhab Hambali (dalam satu riwayat) menyatakan bahwa seorang fakir atau miskin diberi harta zakat yang dapat menjadikannya kaya. Jumlahnya tentu yang dapat mencukupi kebutuhannya selamanya. Hal ini berdasarkan hadis Qabishah yang diriwayatkan secara marfu’, bahwa “Mengemis tidak dibolehkan kecuali untuk tiga orang: seorang yang tertimpa musibah pada hartanya, maka ia boleh mengemis sampai bisa memenuhi kebutuhan hidupnya…”

Mereka berkata, “Bila ia terbiasa bekerja sesuai keterampilannya, maka ia diberi harta zakat yang bisa digunakannya untuk membeli peralatan kerjanya, besar ataupun kecil nilainya, yang biasanya dari pekerjaannya itu ia bisa mendapatkan keuntungan yang bisa memenuhi kebutuhannya. Bila ia seorang pedagang, maka ia diberi zakat untuk menjadi modal perdagangannya agar bisa mencukupi kebutuhannya. Dan jika ia seorang petani, maka ia diberi zakat untuk membeli ladang yang hasilnya dapat mencukupi kebutuhannya.”

Syeikh al-Islam Ibnu Taymiah berkata di dalam al-Ikhtiyarat (hal: 105), “Seorang fakir boleh menerima harta zakat yang dapat menjadikannya kaya, meski harus banyak jumlahnya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i.”

Di dalam al-Inshaf (7/255), al-Mardawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang benar di dalam mazhab menyatakan bahwa setiap orang fakir atau miskin boleh menerima harta zakat yang dapat mencukupi kebutuhannya selama setahun penuh. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, ‘Ia boleh menerima zakat sesuai kebutuhan dan kecukupannya, baik untuk menjadi modal niaganya maupun untuk membeli peralatan kerjanya, dan sebagainya.’ Al-Ajiri dan Syeikh Ibnu Taymiah memilih pendapat yang membolehkan seorang fakir atau miskin mengambil zakat sekaligus yang kadarnya bisa menjadikannya kaya, sekalipun jumlahnya harus banyak.”

Imam Syafi’i berkata dalam al-Umm (8/256), “Tidak ada batas kadar dan batas waktu pada zakat yang diberikan kepada seorang fakir kecuali kadar yang bisa membuatnya menjadi kaya, sedikit ataupun banyak.”

Di dalam Asna ath-Thalib (1/100), Zakariya al-Anshari meriwayatkan dari al-Qadhi Abi ath-Thayyib tentang komentarnya terhadap pendapat Imam Syafi’i. Ia berkata, “Lafaz ‘kaya’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kecukupan orang fakir itu selamanya. Dengan demikian, zakat diberikan kepada setiap orang dari mereka untuk menjadi semacam modal yang keuntungannya bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Bila yang fakir itu adalah seorang ulama dan ahli ilmu yang tidak pandai berniaga, maka ia harus dibelikan sesuatu yang hasilnya bisa dinikmatinya selamanya. Sedangkan fakir yang memiliki keterampilan kerja khusus, maka untuknya dibelikan peralatan kerja yang dengannya ia bisa mendapatkan rezki.”

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata di dalam asy-Syarh al-Mumti’ (6/221), “Seorang fakir diberi dana zakat yang sesuai dengan kecukupannya sampai akhir tahun. Karena zakat itu diberikan rutin setiap tahun. Bila ada yang berpendapat bahwa ia diberikan dana zakat sampai menjadi kaya sehingga status ‘fakir’nya hilang, maka itu adalah pendapat yang kuat. Demikian pula halnya seorang miskin.”

Atas dasar itu, kami berpendapat bahwa kita boleh memberinya dana untuk membeli rumah yang akan dihuninya dan keluarganya. Bila kita memberi seorang fakir peralatan kerja yang sesuai dengan keterampilannya, atau memberinya dana untuk membeli tanah atau rumah yang bisa disewakannya bila ia tidak memiliki keterampilan atau bisa berniaga, maka tidak masalah pula bagi kita untuk memberinya dana untuk membeli rumah yang bisa dihuninya.

Syeikh Ibnu Utsaimin  sendiri memilih pendapat pertama yang menyatakan tidak boleh memberi seorang fakir dana zakat untuk membeli rumah. Yang dibolehkan adalah menyewakan untuknya sebuah rumah yang dihuninya dengan dana zakat.

Ia juga ditanya tentang seorang fakir yang memiliki teman-teman yang berinisiatif menghimpun dana zakat mereka untuk membelikannya rumah. Mereka benar-benar berhasil mengumpulkan dana zakat tersebut dan membelikannya sebuah rumah. Tujuan inti mereka sebenarnya adalah bukan membeli rumah, melainkan membayar zakat saja untuk mencukupi kebutuhan si fakir itu. Ia menjawab, “Saya berpendapat tidak boleh memberikan dana zakat untuk membelikan rumah seorang fakir. Sebab untuk membeli sebuah rumah dibutuhkan biaya yang besar. Bila tujuannya adalah mencukupi kebutuhan seorang fakir, maka yang boleh adalah menyewakan untuknya rumah dengan dana zakat itu. Misalnya, seorang fakir yang mungkin bisa menyewa sebuah rumah selama sepuluh tahun dengan biaya 10.000 Riyal. Sekiranya kita belikan untuknya sebuah rumah, niscaya membutuhkan biaya sekitar 100.000 atau 200.000 Riyal. Di sini, tentu kita tidak boleh memberinya uang sebesar itu untuk membelikan rumahnya, sebab jatah fakir yang lain bisa terhalang akibat tindakan itu. Kami katakan, kita boleh menyewakan untuknya rumah, yaitu bila masa sewanya yang pertama sudah berakhir dan ia tidak memiliki uang untuk melanjutkan sewanya. Maka kita bisa menyewakan untuknya rumah itu untuk masa berikutnya. Adapun membelikan seorang fakir sebuah rumah dari dana zakat, maka menurut saya tidak boleh. Memang, ada pula ulama yang berfatwa membolehkannya. Masalah ini sebenarnya hanyalah masalah ijtihad saja.” (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb).

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam