Alhamdulillah.
Barang siapa yang bersalah, maka tidak boleh diambil kesalahannya, kesalahan dan dosa adalah tertolak. Sebagaimana perkataan Imam Malik –rahimahullah-: “Tidaklah semua di antara kita ini berhak menolak dan ditolak, kecuali yang dikubur di kuburan ini”. Yaitu; Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Semua ulama kadang benar kadang juga salah, maka (seharusnya) diambil yang yang benar, dan ditinggalkan kesalahannya. Jika ia termasuk yang beraqidah yang benar, namun terperosok pada beberapa kesalahan, maka tinggalkan kesalahannya. Dan tidak berarti ia telah keluar dari aqidah salaf, jika ia terkenal dengan ittiba’ kepada ulama salaf. Namun ia beberapa kejanggalan ketika menjelaskan beberapa hadits, atau dari beberapa perkataannya, maka kesalahannya tersebut tidak diterima dan tidak boleh diikuti. Kaidah tersebut berlaku kepada semua Imam. Jika Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, ats Tsauri, atau al Auzaa’i atau yang lainnya, diambil pendapat mereka yang benar dan ditinggalkan pendapatnya yang salah. Kesalahan itu adalah yang bertentangan dengan dalil syar’i, yaitu; firman Allah atau sabda Rasulullah. Seseorang tidak akan dihisab kecuali dengan kesalahannya yang tidak sesuai dengan dalil, yang menjadi kewajiban kita adalah ittiba’ al haq (mengikuti yang benar), Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا (سورة الحشر: 7)
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al Hasyr: 7)
Menjadi keputusan ijma’ dari para ulama bahwa setiap orang berhak diambil dan dicampakkan pendapatnya kecuali Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Yang menjadi kewajiban adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah dan menerimanya, dan tidak menolaknya, berdasarkan ayat mulia yang tadi disebutkan, dan makna yang terkandung di dalamnya. Juga berdasarkan firman Allah:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (An Nisa’: 59)