Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Shalat Istikharah Untuk Menguatkan Di Antara Dua Pendapat

112154

Tanggal Tayang : 15-03-2015

Penampilan-penampilan : 7804

Pertanyaan

Apakah seorang muslim boleh istikharah untuk menguatkan salah satu dari pendapat para ulama? Misalnya jika kedua pendapat itu kuat dan dia ingin mengetahui mana keduanya yang benar, karena masing-masing berbeda.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Terdapat riwayat dari sebagian salaf bahwa mereka melakuakn istikharah terhadap permasalah yang diperselisihkan, sebagaimana sebagian mereka melakukan istikharah untuk menguatkan pendapat tentang nilai seorang perawi yang diperselisihkan. Di antaranya,

1-Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (10/301) dari Ibnu Musayyab, "Sesungguhnya Umar bin Khattab menetapkan sebuah keputusan tentang (bagian waris) kakek dan kalalah (Kalalah adalah seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak), lalu dia istikharah kepada Allah Ta'ala dengan berkata, 'Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa padanya terdapat kebaikan, maka berlakukanlah,' Kemudian saat dirinya ditikam, dia minta diambilkan tulisan keputusan tersebut lalu menghapusnya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang terdapat di dalamnya. Lalu beliau berkata, 'Aku telah menetapkan (bagian waris) untuk kakek dan kalalah (Kalalah adalah seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak), lalu aku istikharah kepada Allah Ta'ala, lalu aku berpandangan untuk meninggalkan kalian sesuai yang ada pada kalian."

2-Imam Syafii dikenal sebagai ulama yang paling sering istikharah dalam masalah ilmu. Bahkan dia terus terang melakukan istikharah dalam kurang lebih empat belas masalah. Dia antaranya adalah ucapannya dalam kitab Al-Umm (2/44), "Ada yang berpendapat bahwa emas perhiasan harus dikeluarkan zakatnya. Permasalahan ini termasuk yang saya istikharahkan kepada Allah Azza wa Jalla. Ar-Rabi berkata bahwa dia telah istikharah dalam masalah ini. Telah menyampaikan kepada kami Asy-Syafii, "Tidak ada zakat pada emas perhiasan."

3-Demikian pula halnya dengan Ibnu Hibban dari kalangan pakar hadits. Beliau istikharah kepada Allah Ta'ala tentang para perawi yang samar bagi mereka kedudukannya. Beliau sering berterus terang tentang hal itu dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam kitab Al-Majruhin. Di antaranya adalah perkataannya dalam (1/194), "Bahaz bin Hakim bin Muawiyah bin Haidah Al-Qusyairi; Penduduk Bashrah, dia meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya. Telah meriwayatkan darinya Ats-Tsauri, Hamad bin Salamah. Dia sering keliru. Adapun Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim keduanya menjadikannya sebagai landasan dan meriwayatkan darinya. Sejumlah tokoh ulama dikalangan kami meninggalkannya. Kalau bukan karena hadits (Sesungguhnya kami mengambil separuh untanya, karena keputusan diantara keputusan Tuhan kami), pasti saya masukkan dikalangan para ulama’ terpercaya (tsiqoh).  Dia termasuk orang yang saya beristikharah kepada Allah Ta'ala tentangnya."

Banyak contoh para ulama yang melakukan istikharah saat sebuah perkara tampak samar bagi mereka. Yang saya sampaikan baru sebagian kecilnya saja untuk menunjukkan hal tersebut.

Akan tetapi, apakah makna ucapan para ulama bahwa 'Perkara tersebut termasuk yang saya istikharahkan?' Yang tampak adalah bahwa itu merupakan doa kepada Allah Ta'ala agar mereka diberi petunjuk untuk menguatkan suatu pendapat. Dan yang benar diantara pendapat dalam masalah atau perowi. Mereka bukan melakukan shalat istikharah dengan shalat dan doa istikharah (yang dikenal). Karena hal itu tidak sesuai antara doa dengan apa yang mereka inginkan. Dalam doa istikharah terdapat kalimat, 'Takdirkan bagiku dan mudahkan bagiku serta berkahi aku di dalamnya." Bagaimana hal ini dapat berlaku dalam salah satu masalah fiqih atau tentang kedudukan salah seorang perawi hadits?!

Yang nampak bahwa para imam memohon kepada Allah Ta’ala taufik dan kebenaran dalam permasalahan ilmu, dimana mereka tidak berdoa dengan doa istikharah disertai dengan shalatnya.

Tujuan dari istikharah adalah mencari hidayah dari Allah Ta'ala untuk mendapatkan kebaikan dari dua perkara yang masih samar dan membuatnya ragu. Karena hidayah dan taufiq dari Allah Ta'ala, dia mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui, Dia Maha Mengetahui perkara yang gaib. Siapa yang bersandar hanya kepada dirinya maka dia akan sesat, siapa yang berpedoman hanya kepada akalnya dan tidak minta tolong kepada Tuhannya, dia akan binasa. Perkara utama yang wajib bagi seorang hamba meminta tolong kepada Allah adalah dalam memahami agama yang benar dan memilih pendapat yang paling benar dan istikharah merupakan salah satu sarana untuk meraih hal itu, bahkan boleh jadi cara lebih kuat untuk memilih salah satu di antara dua perkara yang dalil-dalilnya satu sama lain masih samar. 
Tidak mengapa seorang imam dan ahli fiqih ketika memohon kepada Allah Ta'ala agar diberikan taufiq pada kebenaran dalam beberapa masalah, sebelumnya dia melakukan shalat. Mungkin perbuatan ini yang sudah terlanjur dinamakan 'istikharah', atau disandarkan kepada doanya bukan kepada shalatnya. Adapun shalat dan doa istikharah yang telah dijelaskan dalam riwayat hadits Jabir yang masyhur, tidak mungkin itu yang dimaksud dalam ucapan para ulama bahwa mereka beristikharah kepada Allah Ta'ala dalam hal ini dan itu.

Terakhir:

Jangan dikira bahwa istikharah dalam beberapa masalah ilmu bertentangan dengan apa yang Allah perintahkan untuk mengikuti dalil dan bukti. Kembali kepada istikharah dilakukan apabila dalilnya tidak ada atau tidak tampak atau ada dalil lain yang sederajat dan bertentangan. Atau ketika masalah tersebut masih samar bagi seorang ulama dan sulit memahaminya. Sama sekali bukan untuk meninggalkan dalil dan bukti. Akan tetapi di dalamnya terdapat permohonan pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk memiliki pemahaman dan bersandar kepada al-haq. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah meminta kepada Tuhannya agar dia diberi petunjuk kepada kebenaran.


Dari Aisyah Ummul Mu'minin radhiallahu anha dia berkata, "Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam, biasanya jika shalat malam, beliau mengawali shalatnya dengan membaca,

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ) . رواه مسلم ( 770 )

"Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, Israfil, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui perkara gaib dan tampak, Engkau yang Maha menetapkan di antara hamba-Mu apa yang mereka perselishkan. Berilah aku petunjuk apa yang mereka perselisihkan kepada kebenaran atas izin-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Petunjuk siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus." (HR. Muslim, no. 770)

Lihat dalam shalat istikharah dan sebagian hukumnya dalam jawaban soal no. 2217 dan 11981.

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam