Kamis 30 Rabi'ul Awwal 1446 - 3 Oktober 2024
Indonesian

Dalil Diharamkannya Ikhtilath (Campur Baur Laki Perempuan)

Pertanyaan

Saya dan suami ingin menghadiri pelajaran bahasa Arab namun kelasnya campur baur (laki perempuan) padahal yang kami ketahui ikhtilath adalah tidak boleh. Apakah ikhtilath itu dan apa hukumnya beserta dalilnya?
Rincian tambahan, di dalam kelas terdapat sepuluh siswa, mayoritas wanita, apakah saya dan suami boleh ikut dan diantara mereka juga terdapat non muslim.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Berkumpulnya laki-laki dan wanita di satu tempat dan bersampur baurnya mereka serta sebagian mereka berinteraksi dengan sebagian lainnya, lalu sang wanita menyingkap wajahnya dihadapan laki-laki, semua itu merupakan perkara yang diharamkan dalam syariat, karena hal itu termasuk sebab fitnah dan membangkitkan syahwat serta faktor pencetus perbuatan zina dan kemunkaran.

Dalil tentang haramnya ikhtilath dalam Al-Quran dan Sunah banyak, di antaranya;

 Firman Allah Taala,

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ (سورة الأحزاب: 53)

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir tentang ayat ini berkata, “Yaitu, sebagaimana aku larang kalian memasuki tempat kaum perempuan, demikian pula janganlah kalian melihatnya secara keseluruhan. Jika diantara kalian memiliki keperluan yang ingin diambil dari mereka, maka jangan lihat mereka dan jangan tanya keperluan mereka kecuali dari balik tabir.

Nabi shallallahu alaihi wa sallah selalu berupaya mencegah terjadinya ikhtilath antara laki-laki dan wanita bahkan termasuk dibagian bumi yang paling Allah cintai, yaitu masjid, dengan cara memisahkan barisan antara laki-laki dan wanita, kemudian agar jamaah laki-laki tetap berada di masjid hingga jamaah wanita keluar, lalu dibuatkan pintu khusus di bagian masjid untuk wanita.

Dalil-dalil tentang semua itu adalah sebagai berikut;

 عن أم سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَمَكَثَ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ مُكْثَهُ لِكَيْ يَنْفُذَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ مَنْ انْصَرَفَ مِنْ الْقَوْمِ (رواه البخاري رقم 793)

Dari Ummu Salamah radhiallahu anha dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, jika beliau salam (selesai shalat) maka kaum wanita segera bangkit saat beliau selesai salam lalu beliau diam sebentar sebelum bangun.

Ibnu Syihab berkata, ‘Saya berpendapat bahwa diamnya beliau adalah agar kaum wanita sudah habis sebelum disusul oleh jamaah laki-laki yang hendak keluar masjid.” (HR. Bukhari, no. 793)

Abu Daud (876) meriwayatkan dalam kitab Ash-Shalat dan diberi judul ‘Bab keluarnya wanita sebelum laki-laki setelah selesai shalat’.

Dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ قَالَ نَافِعٌ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ ابْنُ عُمَرَ حَتَّى مَاتَ (رواه أبو داود رقم (484) في كتاب الصلاة باب التشديد في ذلك)

‘Hendaknya kita khususkan pintu ini untuk wanita.’ Nafi berkata, ‘Maka Ibnu Umar tidak pernah masuk lewat pintu itu hingga wafat.” (HR. Abu Daud, no. 484 dalam kitab ‘Ash-Shalah, bab Sikap keras dalam masalah ini)

Dari Abu Hurairah dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

" خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا (رواه مسلم رقم 664)

“Sebaik-baik barisan laki-laki adalah barisan pertamanya dan seburuk-buruknya adalah barisan akhirnya. Sebaik-baik barisan wanita adalah barisan akhirnya dan seburuk-buruknya adalah barisan pertamanya.”  (HR. Muslim, no. 664)

Ini merupakna dalil-dalil yang sangat terang tentang larangan syariat terhadap terjadinya ikhtilath, maka semakin jauh laki-laki   dari barisan wanita, semakin baik baginya, dan wanita yang semakin jauh dari barisan laki-laki, semakin baik baginya.

Jika masalah seperti ini diberlakukan di masjid padahal ia adalah tempat ibadah yang suci  dimana laki-laki dan wanita umumnya menjauh dari perkara yang dapat membangkitkan birahi, maka memberlakukan ketentuan ini di tempat selainnya tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut lebih utama.

Abu Usaid Al-Anshari meriwayatkan bahwa dia mendengar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat beliau keluar masjid didapatinya laki-laki dan wanita bercampur baur di jalan, beliau bersabda kepada kaum wanita,

اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ

“Menepilah karena kalian tidak layak berada di tengah jalan, hendaknya kalian berada di tepi jalan.”

Maka seorang wanita menempelkan tubuhnya di dinding hingga bajunya menempel karena saking rapatnya dia dengan dinding tersebut.” (HR. Abu Daud dalam Sunannya, bab Al-Adab, pasal tentang berjalannya seorang wanita bersama laki-laki di jalan)

Kami mengetahui bahwa  bercampur baurnya laki-laki dan wanita merupakan perkara yang umum terjadi di zaman ini di sebagian besar tempat seperti di pasar-pasar, universitas-universitas dan lainnya, akan tetapi kami:

Pertama: Tidak dapat memilih dan kami sendiri tidak ridha, khususnya dalam kajian-kajian keagamaan dan rapat-rapat administrative di lembaga-lembaga Islam.

Kedua: Kami ambil berbagai cara untuk menghindari terjadinya ikhtilath dengan tetap dapat mewujudkan kemaslahatan, misalnya memisahkan tempat laki-laki dari tempat wanita, menetapkan pintu-pintu khusus bagi kedua jenis, menggunakan alat komunikasi modern untuk menyalurkan suara, menyegerakan tersedianya tenaga pengajar wanita yang cukup untuk mengajarkan kaum wanita.

Ketiga: Kami jaga ketakwaan semampu kami dengan menundukkan pandangan dan mengendalikan hawa nafsu.

Berikut ini kami akan sampaikan sebuah kajian yang dilakukan beberapa peneliti sosial muslim tentang ikhtilath, dia berkata,

“Saat kami sampaikan pertanyaa berikut, apa hukum ikhtilath dalam syariat sepengetahuan anda?”

Maka hasilnya adalah sebagai berikut;

76% responden menjawab ‘tidak boleh’

12% menyatakan boleh akan tetapi berdasarkan patokan akhlak dan agama

12% menjawab tidak tahu.

Apa yang kalian pilih jika dipilihkan kepada kalian untuk beramal di tempat ikhtilath dan lainnya tidak ikhtilath?

Maka hasilnya berdasarkan prosentase adalah sebagai berikut:

67 % memilih bekerja di tempat yang tidak ikhtilath.

9 % memilih bekerja di tempat ikhtilath.

15 % tidak ada halangan untuk bekerja dimana saja yang sesuai dengan keahliannya, baik di tempat ikhtilath atau tidak ikhtilath.

Sangat Tidak Menyenangkan

Apakah pernah kalian mengalami peristiwa sangat tidak menyenangkan karena ikhtilath?

Di antara peristiwa yang disebutkan oleh para peserta saat diteliti, disebutkan beberapa kondisi berikut:

“Suatu hari aku bekerja, lalu aku masuk salah satu bagian, di sana aku dapati seorang rekan kerja wanita sedang melepas hijabnya di hadapan rekan-rekannya sesama wanita. Dia sangat kaget dengan masuknya aku dan setelah itu aku merasa sangat tidak nyaman.”

“Saya seharusnya melakukan uji coba di sebuah laboratorium di sebuah universitas, namun hari itu saya absen. Maka saya harus datang di hari berikutnya, sehingga saya menjadi orang laki satu-satunya di tengah para mahasiswi plus dosen dan pembimbing laboratorium. Maka saya sangat tidak nyaman dan gerak saya jadi terbelenggu dan saya perhatikan mata para wanita yang menolak dan tidak menyukai kehadiran saya selalu mengikuti saya.”

“Suatu saat aku ingin mengeluarkan pembalut wanita dari sebuah laci, lalu aku dibuat kaget karena di belakangku ada rekanku laki-laki yang ada kebutuhan lain dari laci yang sama. Maka ketika rekanku melihat aku sangat tidak nyaman diapun keluar agar tidak mengganggu aku.”

“Aku pernah mengalami bertabrakan dengan salah seorang mahasiswi di sebuah pojok lorong kampus yang padat. Rekan wanita itu berjalan sangat cepat karena ingin hadir di salah satu kuliah, karena tabrakan tersebut dia hampir terjatuh lalu tanganku menahannya dengan tanganku seakan aku memeluknya. Anda bisa bayangkan betapa peristiwa tersebut betapa malunya saya dan mahasiswi tersebut di depan sejumlah remaja bersorak sorai.”

“Teman wanita saya jatuh di sebuah tangga kampus sehingga pakaiannya tersingkap dalam kondisi sangat tidak pantas. Kondisinya yang terbalik membuatnya tidak dapat membantu dirinya sendiri hingga ada seorang pemuda yang dekat di situ segera menutupi auratnya dan membantunya berdiri.”

“Saya bekerja di sebuah perusahaan, saya masuk ke ruang atasan untuk menyerahkan beberapa berkas. Saat saya keluar dari ruangan, atasan saya memanggil saya lagi, lalu aku meloleh kepadanya, aku dapati dia menundukkan kepalanya. Aku menunggu barangkali dia akan meminta dariku sejumlah berkas atau tambahan kertas. Aku heran apa yang mau dia katakan, maka aku berpura-pura ke sisi kiri mejanya seakan sibuk dengan sesuatu dan pada waktu yang bersamaan dia menyampaikan kepadaku bahwa bajuku kotor karena darah haid. Ketika itu aku berharap bumi terbelah dan menelanku.”

Korban Ikhtilath, kisah nyata

Harapan Yang Hilang

Ummu Muhamad wanita yang matang berusia lebih empatpuluh tahun mengisahkan:

“Aku hidup bersama suamiku dalam kehidupan yang terjaga. Walaupun di sana tidak ada kedekatan dan kesamaan. Suamiku bukanlah pribadi kuat yang tidak memenuhi keinginanku sebagai seorang isteri, hanya saja kebaikannya membuatku menanggung peran lebih besar mengambil keputusan-keputusan khusus dalam masalah keluarga.

Suamiku sering menyebut-nyebut nama rekan kerjanya di hadapanku dan mereka sering berkumpul di kantor pribadinya yang asalnya adalah bagian dari apartemen kami, hal itu berlangsung bertahun-tahun. Hingga sampai pada suatu kondisi, orang tersebut berkunjung bersama keluarganya, kemudian setelah itu terjadilah kunjungan keluarga berulang-ulang. Karena dekatnya persahabatannya dengan suami saya sampai tidak terhitung berapa kali kunjungannya dan berapa jam yang dihabiskan dalam satu kunjungan. Bahkan kadang-kadang dia datang seorang diri, lalu duduk berkumpul bersama saya dan suami saya berjam-jam lamanya. Kepercayaan suami saya terhadapnya tak ada batasnya. Setelah berlalunya waktu, saya semakin mengenali pribadinya, dia orang yang sangat terhormat dan menarik. Saya mulai merasa sangat tertarik kepadanya dan disaat yang bersamaan diapun memiliki perasaan tersebut.

Kondisi tersebut terus berjalan dengan menakjubkan bahkan belakangan saya menyadari bahwa orang itulah yang saya inginkan dan impikan. Mengapa dia baru datang sekarang setelah sekian tahun lamanya? Semakin berlalu, kedudukan orang itu semakin meningkat derajatnya di mata saya sedangkan suami saya semakin rendah derajatnya di mata saya. Seakan saya membutuhkan untuk melihat keindahan kepribadiannya untuk mengetahui buruknya pribadi suami saya.

  Perkaranya tidak lebih dari itu antara saya dengan orang yang itu, yaitu berupa perasaan yang mengganggu pikiran saya siang malam. Namun demikian, kehidupan saya sudah berakhir, suami saya tidak lagi tampak di hadapan saya kecuali orang yang lemah, goyah, negatif. Aku membencinya, bagaimana semua kebencian ini muncul kepadanya, dan akupun bertanya-tanya bagaimana sekian tahun ini aku menanggung hal itu dipundakku, hanya aku yang menghadapi beban kehidupan ini. Kondisi lebih parah hingga akhirnya saya meminta talak kepadanya. Akhirnya dia mentalak aku berdasarkan permintaanku. Maka sesudah itu hanyalah seorang puing-puing dari seorang laki-laki.

Lebih pahit dari semua itu, setelah rumah tangga saya berantakan, anak-anak saya terbengkalai dan suami saya mentalak saya, kehidupan keluarga laki-laki tersebut pun memburuk, karena dengan fitrah kewanitaannya, isterinya dapat menangkap apa yang tersembunyi di hatinya, jadilah kehidupan rumah tangganya bagai neraka. Kecemburuannya memuncak hingga derajat pada suatu malam dia tinggalkan rumahnya pada jam dua dinihari untuk mendatangi rumah saya, lalu dia berteriak-teriak dan menangis sambil melontarkan berbagai tuduhan kepada saya. Rumah tangganya pun menuju kehancuran.

Saya mengakui bahwa pertemuan-pertemuan kami sebelumnya yang pernah kami lalui dengan sangat akrab memberikan peluang kami mengenali satu sama lain pada waktu yang tidak tepat di usia seperti itu. Keluarganya hancur, demikian pula keluarga saya. Aku rugi segalanya. Dan kini aku menyadari bahwa kondisi saya dan dia tidak memungkinkan untuk mengambil tindakan yang dapat menyatukan kami. Kini saya hidup lebih sengsara dibanding lalu, saya kini mencari kebahagiaan semu dan harapan yang hilang.

Satu satu

Umu Ahmad menceritakan kepada kami, “Suami saya memiliki teman-teman yang sudah menikah. Kami terbiasa berkumpul bersama-sama dalam sepekan di rumah kami untuk begadang dan bersenang-senang, karena kami merasa hubungan kami sangat dekat.

Awalnya saya merasa tidak nyaman dengan pergaulan seperti ini, dalam pertemuan tersebut  yang ditemani makan malam, cemilan, jus terdengar suara tawa terbahak-bahak karena joke-joke yang sering kali melampaui batas-batas adab.

Atas nama persahabatan, lama kelamaan terasa tidak berat lagi terdengar tawa terbahak-bahak, perkara-perkara rahasia tentang fulanah dan suami fulanah. Candaan yang berbelebihan tanpa malu dalam hal yang sangat sensitive, seperti seksual dan perkara lain yang khusus bagi wanita, lama kelamaan terasa biasa dan menarik.

Meskipun saya bergabung bersama mereka, akan tetapi hati kecil saya mengecam hal ini, hingga datanglah suatu hari menjelaskan kepada saya buruk dan tercelanya kondisi tersebut.

Telepon berdering, ternyata di seberang sana terdengar salah seorang kawan tersebut, aku sambut teleponnya dan minta maaf, sebab sumi sedang tidak ada di rumah. Tapi dia menjawab bahwa dia mengetahui hal itu dan bahwa dia tidaklah menelpon kecuali karena ingin berbicara dengan saya. Saya sangat marah ketika dia mengatakan ingin menjalin hubungan dengan saya. Saya bentak dia dan ucapkan kata-kata kasar kepadanya. Ternyata dia hanya tertawa saja dan berkata, “Ketimbang galak kepada saya, galaklak kepada suamimu dan perhatikan apa yang dia perbuat.” Ucapannya meruntuhkanku, akan tetapi aku berusaha mengendalikan diri dan meyakini bahwa orang tersebut hanya ingin menghancurkan rumah tangga kami, namun dia berhasil menanamkan benih keraguanku kepada suamiku.

Tak lama waktu berselang terjadilah bencana itu. Akupun mengetahui bahwa suamiku mengkhianatiku berselingkuh dengan wanita lain. Ini masalah hidup mati bagiku. Aku berterus terang dengan suamiku dan berkata, “Bukan Cuma kamu yang dapat selingkuh, akupun ditawari hal yang sama.” Maka aku ceritakan kisah temannya itu. Dia sangat terkejut, “Jika engkau mau aku setuju engkau berselingkuh dengan wanita tersebut, maka aku dapat membalasnya.” Tamparannya mengguncang hidupku ketika itu, tapi dia tahu bahwa aku tidak bermaksud melakukan hal itu, akan tetapi dia merasakan ada musibah yang menimpa kehidupan kami. Aku sangat menderita hingga akhirnya suamiku meninggalkan wanita jalang itu. Suamiku akhirnya kembali ke rumahnya dan anak-anaknya, akan tetapi siapa yang dapat mengembalikan suami saya seperti semula? Siapa yang dapat mengembalikan wibawa dan kehormatannya di hadapanku dalam sanubariku? Luka yang besar itu terus menganga di hatiku, penyesalan akibat pergaulan yang busuk. Ini menjadi saksi atas pertemuan yang dikatakan suci, nyatanya tidak suci. Hanya dapat mengharap rahmat dari Allah Maha Kuasa.

Kecerdasan pun merupakan fitnah

Abdul Fattah berkata, “Saya bekerja sebagai ketua divisi di salah satu perusahaan besar. Sejak lama saya mengagumi salah seorang kawan wanita, bukan karena kecantikannya, akan tetapi karena kesungguhannya bekerja dan kecerdasannya. Ditambah dia orang yang berwibawa dan elegan. Dia fokus kepada pekerjaan. Kekaguman lama kelamaan berubah menjadi ketertarikan sedangkan saya sudah beristeri yang takut Allah dan tidak meninggalkan fardhu. Saya terus terang ungkapkan perasaan kepadanya, namun dia menolaknya karena dia telah bersuami dan memiliki anak. Dia tidak punya alasan untuk berselingkuh atas nama apapun, pertemanan, kekaguman dan lainnya. Kadang muncul pikiran buruk saya, bagaimana agar suaminya menceraikannya dan aku mendapatkannya.

Maka aku mulai menekannya dalam pekerjaan dan memberikan citra buruk di hadapan para manajer saya sebagai bentuk balas dendam terhadapnya. Adapun dia, menyikapi hal ini dengan dada lapang tanpa mengeluh, berkomentar dan pengingkaran. Dia tetap bekerja dan bekerja. Hasil pekerjaannyalah yang menunjukkan kualitasnya dan dia mengetahui hal itu. Ketertarikan akupun bertambah terhadapnya sementara penolakan dia terhadapku juga bertambah dengan derajat yang sama.

Aku adalah orang yang tidak mudah tergoda oleh seorang wanita, karena aku takut Allah sehingga aku tidak pernah berinteraksi dengan rekan kerja wanita di luar tugas kerja. Akan tetapi wanita tersebut telah mencuri hati saya, apa solusinya? Saya tidak tahu.

 Air Jatuh Tak Jauh Ke Pelimbahan Juga

N A A adalah Seorang gadis berusia 19 tahun menceritakan kepada kami; “Aku awalnya hanya seorang gadis kecil. Dengan mata yang polos saya selalu menyaksikan perkumpulan-perkumpulan malam hari yang menghimpun teman-teman keluarga di rumah. Yang aku kenal hanyalah seorang laki-laki, yaitu bapakku. Aku perhatikan gerak gerik bapakku dan pandangannya yang memandangi wanita-wanita yang ada, betis mereka dan dada mereka, diapun menggoda mereka dengan mata seperti itu, yang satu digoda yang satu digelitiki. Sedangkan ibuku terpaksa mengadakan acara-acara seperti itu, dia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sangat sederhana.

Di antara wanita yang hadir selalu berusaha menarik perhatian bapakku, kadang dengan mendekatinya atau dengan sikapnya yang menggoda. Aku memperhatikannya dengan seksama sedangkan ibuku sibuk di dapur mempersiapkan segala sesuatu untuk tamunya.

Tiba-tiba pertemuan-pertemuan itu berhenti. Dalam usia saat itu, aku mencari tahu sebabnya, akan tetapi aku tidak berhasil.

Yang aku ingat adalah bahwa umiku saat itu hatinya hancur sama sekali dan tidak kuasa mendengar sebutan bapakku di rumah. Aku mendengar ucapan yang samar-samar diucapkan orang dewasa di sekitarku, seperti, “khianat, kamar tidur, melihat dengan mata sendiri, pelacur, posisi yang memalukan…” dan kata-kata lainnya yang biasanya hanya dipahami orang dewasa.

 Ketika aku besar dan paham apa yang terjadi, aku menjadi benci terhadap setiap laki-laki. Mereka adalah para pengkhianat, ibuku dibuatnya hancur. Dia akan menuduh siapa saja wanita yang datang adalah perebut suami, dan bahwa dia akan berhubungan dengan bapakku. Sedangkan bapakku masih saja dengan hobi kesukaannya, mengejar-ngejar di luar rumah. Usiaku sekarang 19 tahun, tapi aku sudah mengenal banyak pemuda. Saya sangat menikmati manakala saya dapat membalas dendam kepada mereka yang saya anggap sebagai gambaran bapak saya. Saya goda mereka dan rayu mereka tapi mereka tidak dapat menyentuh sehelaipun rambut saya. Mereka mengejar-ngejar saya di berbagai perkumpulan dan pasar-pasar karena gerak gerik saya yang penuh maksud. Handpone saya tak pernah berhenti berdering, kadang saya merasa bangga karena dapat melakukan balas dendam untuk ibu saya, tapi lebih seringnya saya merasa pedih dan sengsara. Hidup saya selalu dihantui bayangan hitam yang bernama bapakku.

Sebelum Kapak Mengenai Kepalaku

S N A menceritakan pengalamannya, “Sebelumnya tidak pernah terbayangkan dalam benakku bahwa aku akan bekerja berinteraksi dengan lawan jenis (laki-laki), akan tetapi, itulah yang terjadi. Awalnya saya membatasi diri dari laki-laki dengan menggunakan cadar, akan tetapi beberapa teman wanita justeru memperingatkan saya bahwa dengan cadar saya justeru lebih mengundang perhatian, maka lebih utama jika saya menanggalkan cadar, apalagi mata saya sedikit lebih istimewa. Maka akhirnya aku melepaskan cadar dengan dugaan hal itu lebih baik. Akan tetapi karena kuatnya ikhtilat di tengah teman-teman tetap saja saya merasa asing di antara mereka karena sikapku yang kaku dan komitmen tidak ikut berinteraksi ngobrol dan bercanda dengan mereka. Umumnya mereka tidak menyukai saya yang dianggap sombong, hal itu terus terang disampaikan oleh salah seorang dari mereka. Padahal sebenarnya saya tidaklah demikian. Maka akhirnya saya putuskan untuk bergaul akrab bersama mereka bercanda dan saling tukar sapa. Sesudah itu, semuanya baru mengetahui bahwa saya memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan dapat mempengaruhi. Sayapun dapat berbicara dengan tegas namun tetap menarik bagi sebagian kawan. Tak lama saja saya sudah merasakan pengaruhnya pada seorang atasan langsung saya salah tingkah melihat perkataan dan gerak gerikku. Kadang dia sengaja mengundang pembicaraan agar saya mendiskusikannya, tidak dapat saya ingkari bahwa diri saya tertarik dengan laki-laki tersebut. Sayapun heran begitu mudahnya seorang laki-laki tertarik dengan wanita walau dia sudah menjaga kehormatannya, bayangkan jika wanita tersebut adalah wanita pesolek dan penyuka kemaksiatan? Sebenarnya saya tidak pernah berfikir tentangnya dengan cara yang tidak disyariatkan. Akan tetapi sejak awal hingga akhir dia telah mengambil ruang pikiran saya dalam waktu yang tidak singkat. Akan tetapi saya tidak sudi diri saya menjadi obyek kesenangan seseorang walau sekedar kesenangan maknawi, maka sayapun segera menutup segala peluang untuk duduk berdua bersamanya dan akhirnya saya keluar dengan beberapa kesimpulan;

1. Ketertarikan antara lain jenis dapat terjadi dalam kondisi bagaimana saja walaupun pihak laki-laki dan perempuan mengingkari hal tersebut. Ketertarikan tersebut dapat diawali lewat cara yang disyariatkan, namun berakhir dengan cara yang tidak disyariatkan.

2. Bahkan jika seseorang berusaha membentengi dirinya, dia tetap tidak aman dari jerat setan.

3. Jika seseorang menjaga dirinya lalu saat berinteraksi dengan lawan jenis dengan batasan yang ada dan logis, maka dia tidak dapat menjamin pihak lain untuk memiliki perasaan terhadap rekannya.

4. Terakhir, ikhtilath tidak ada kebaikan padanya sama sekali, tidak mendatangkan buah sebagaimana yang mereka klaim, tapi justeru dapat  meggugurkan pemikiran yang jernih.

Lalu Apa Setelah Itu?

Setelah kami sampaikan berbagai testimoni tentang ikhtilath kami jadi bertanya, apa yang harus kita lakukan?

Sudah saatnya kita mengakui bahwa walapun kita berusaha memoles ikhtilath dan menganggapnya remeh, namun keburukan-keburukannya selalu mengejar kita dan dapat menghancurkan rumah tangga kita. Fitrah yang bersih mestinya akan menolak anggapan bahwa ikhtilath merupakan kondisi yang sehat dalam hubungan sosial. Fitrah yang bersih inilah yang mendorong 76% dari mereka untuk lebih memilih bekerja di tempat yang tidak ada ikhtilathnya dan jumlah yang sama (76%) menyatakan bahwa ikhtilath tidak boleh secara syariat. Adapun angka 12 % yang setuju dengan ikhtilath pun menyatakan bahwa hal itu harus berdasarkan panduan agama, budaya, akhlak, nurani, kesopanan dan menjaga diri dan nilai-nilai mulia lainnya yang intinya adalah agar ikhtilah memiliki batasan.

Kami tanya kepada mereka, apakah ikhtilath yang kita saksikan sekarang di kampus-kampus dan pasar-pasar, tempat-tempat kerja, perkumpulan-perkumpulan keluarga, masyarakat dapat diterapkan beberapa ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya? Ataukah di tempat-tempat ikhtilath tersebut justeru banyak terjadi sikap-sikap melampaui batas, dalam hal pakaian, pembicaraan maupun tingkah laku. Yang kami saksikan disana terdapat sikap tabaruj, membuka aurat, fitnah, hubungan terlarang, tidak ada akhlak, tidak ada nurani dan tidak menjaga diri. Seakan-akan faktanya menyatakan, ‘Sesungguhnya ikhtilath yang ada sekarang tidaklah disetujui bahkan oleh mereka yang menyetujui ikhtilath jika kondisinya bersih (dari kerusaakan).’

Sudah saatnya kita mengakui bahwa ikhtilah merupakan sesuatu yang hangat, lengket, basah , menggambarkan tanah yang subur bagi tumbuhnya jamur-jamur sosial beracun yang terdapat di pojok-pojok dan dinding-dindingnya. Mereka tumbuh dan berkembang biak merata menjalar tanpa dirasakan oleh seorang pun bahwa ikhtilathlah sebabnya. Maka sesungguhnya ikhtilath merupakan sumber fitnah yang bisu, di bawah naungannya itulah hati dan syahwat akan tergelincir, lahir pengkhianatan, rumah tangga berantakan dan banyak yang merana.

Kita mohon keselamatan dari Allah dan shalawat salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid