Sabtu 11 Syawal 1445 - 20 April 2024
Indonesian

Sanggahan Atas Siapa Saja dari Kelompok Rafidhah Yang Mengklaim. Bahwa Abu Bakar, Umar dan Kedua Putrinya Berusaha Untuk Membunuh Nabi -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-

131386

Tanggal Tayang : 01-08-2015

Penampilan-penampilan : 5209

Pertanyaan

Wahai saudara-saudaraku, saya seorang muslim sunni, suatu hari saya membuka situs youtube dan saya melihat potongan video milik salah satu ulama syi’ah yang menyatakan bahwa ‘Aisyahlah yang telah membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- -na’udzubillah-. Bahkan usaha pembunuhan tersebut terjadi tiga kali, dari Abu Bakar, Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhuma- melalui kedua putrinya Hafshah dan ‘Aisyah yang merupakan istri-istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tiga upaya pembunuhan tersebut disebutkan pada salah satu situs mereka pada link berikut ini: (Link sudah terhapus). Dan yang menjadikan saya khawatir adalah hadits ‘Aisyah: “Kami meminumkan (obat) kepada Rasulullah…”. Makna hadits tersebut bahwa Rasulullah melarang mereka untuk meminumkan obat kepadanya, namun mereka tetap meminumkannya, dan ketika beliau sadar, beliau menanyakan mereka atau mencelanya, dan memarahi ‘Aisyah, dan setelah kejadian itu Nabi jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Orang-orang syi’ah berkata: “Aisyah telah meracuninya”. –Tiada daya dan upaya kecuali milik Allah-.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Sebelum menjawab pertanyaan anda wahai saudarau yang mulia, harus diperhatikan dua perkara berikut ini:

1.Ketahuilah bahwa Rafidhah adalah sebohong-bohongnya kelompok yang menisbahkan dirinya kepada Islam, agama mereka dibangun di atas kebohongan mereka, mereka tidak memiliki musuh dan menaruh rasa dengki mereka, mencela mereka pada setiap siang dan malamnya kecuali para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-.

            Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Para ulama sepakat melalui riwayat dan sanad bahwa Rafidhah adalah kelompok yang paling bohong, kedustaan dalam diri mereka sejak lama, oleh karenanya para imam dalam Islam mengenali mereka karena banyak melakukan kebohongan.

Asy Syafi’i berkata:

“Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling bersaksi dengan kedustaan dari pada Rafidhah”.

Muhammad bin Sa’id al Asbahani berkata:

“Saya mendengar seorang teman berkata: “Ajarkan ilmu kepada siapapun yang kau temui kecuali Rafidhah, karena mereka mamalsukan hadits-hadits dan menjadikannya sebagai agama”.

(Minhajus Sunnah: 1/59)

2.Ketahuilah bahwa tidak boleh bagi seorang muslim untuk melihat situs-situsnya ahli bid’ah secara umum, dan khususnya situs kelompok Rafidhah, juga tidak dibolehkan begi seorang muslim membaca kitab-kitab mereka, kecuali bagi seseorang yang kuat pemahaman agamanya, dan memiliki ilmu tentang pintu masuk dan keluar para ahli kesesatan.

Baca juga jawaban soal nomor: 126041.

Kedua:

Tidak tersedianya link yang tersambung sebagaimana dalam pertanyaan di atas, menguatkan apa yang sudah kami sampaikan bahwa Rafidhah adalah kelompok yang paling berdusta yang menisbahkan dirinya kepada Islam, mereka telah mencampur aduk kedustaan mereka dengan agama Islam: rasa dengki mereka kepada para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mengolok-olok mereka, mengumpat mereka, mengkafirkan, tuduhan zina yang mereka tujukan kepada ‘Aisyah yang suci –radhiyallahu ‘anha-, maka seseorang tidak akan merasa heran jika mengetahui hakekat mereka pada saat membaca artikel seperti di atas yang berdasarkan pada kebodohan, kedustaan, tipu muslihat. Penulisnya telah mengklaim bahwa Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- mencoba untuk menculik Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ingin membunuhnya, namun ia gagal pada dua kali usahanya, dan berhasil pada ketiga kalinya setelah berkoalisi dengan Abu Bakar ash Shiddiq, Hafshah binti Umar, dan ‘Aisyah binti Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhum jami’an-. Untuk menjawab pernyataan mereka yang menyesatkan di atas dilihat dari dua sisi: yaitu secara global dan secara rinci:

Adapaun jawaban yang secara global adalah sebagai berikut:

1.Telah ditetapkan dan tidak perlu diragukan lagi bahwa sebenarnya tersedia banyak kesempatan bagi kedua sahabat yang mulia Abu Bakar dan Umar bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mereka berdua adalah menterinya, kedua sahabatnya, menikahkan kedua putrinya dengan beliau, beliau ditemani Abu Bakar pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah selama 10 hari dalam perjalanan, kejadian tersebut tidak asing lagi bagi umat Islam maupun orang-orang kafir, oleh karenanya para sahabat yang mulia telah memilih mereka berdua untuk menjadi amir (pemimpin) bagi mereka setelah wafatnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bagaimana mungkin akan masuk akal jika mereka mengklaim bahwa para sahabat tidak memiliki kesempatan untuk membunuh Nabi kecuali satu atau dua kali kesempata saja, faktanya banyak sekali kesempatan mereka bersama beliau. Klaim mereka bahwa Abu Bakar dan Umar ingin membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah bathil. Pencetus pendapat tersebut sebenarnya mengetahui bahwa nantinya akan menjadi lelucon bagi dunia karena pendapatnya yang rusak dan mereka sudah kehilangan agama, akal dan rasa malunya. Sudah menjadi tidak penting bagi mereka akan mendapatkan cacian dari ummat, karena mereka sudah dipenuhi rasa dengki kepada para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mencoba untuk merusak citra mereka. Mana ada orang yang berakal yang akan simpati kepada mereka setelah melihat apa yang mereka lakukan kepada umat Islam dari pembunuhan dan pengusiran, dan apa yang diperbuat oleh pendahulu mereka dari mulai penipuan dan makar kepada Ahlus Sunnah, mana ada orang yang berakal yang akan membenarkan kebathilan dan kedustaan mereka.

2.(Kalau misalnya klaim mereka benar) sebenarnya lebih banyak tersedia kesempatan bagi istri-istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk membunuh beliau, khususnya ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- yang memiliki jatah dua malam setiap Sembilan malam sekali bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena Saudah –radhiyallahu ‘anha- sudah memberikan malamnya kepada ‘Aisyah. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah suami mereka, satu rumah bersama mereka, tidur di ranjang mereka. Apakah selama bertahun-tahun tidak ada kesempatan mereka untuk membunuh beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-?!. Seperti itulah kelompok Rafidhah berfikir, demikianlah jalan fikiran mereka yang rela untuk menggadaikannya kepada para syeikh mereka dari Persia, kemudian mereka leluasa menyebarkannya ke kanan dan ke kiri mereka, mereka terus menghiasi kebatilan mereka untuk membenarkan pendapatnya, khurafat untuk dijadikan kebenaran, kesyirikan untuk dijadikan tauhid. Segala puji hanya milik Allah yang telah menjernihkan akal sehat kaum muslimin dari kotornya pemikiran tersebut, Allah telah memuliakan ham-hamba-Nya dengan agama yang suci, mengkhususkan bagi Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- orang-orang yang menjadi sebaik-baik manusia setelah para Nabi untuk menguatkan dakwahnya, Dia juga mengkhususkan bagi Nabi-Nya beberapa wanita yang suci untuk menjadi istrinya, dan menjadi ummahat mukminin (Ibu bagi orang-orang mukmin). Sesungguhnya pemikiran bathil seperti itu yang dipaksakan oleh kelompok Rafidhah akan menjadikan orang bingung, maka bagaimana akan menjadi aqidah yang kuat dan menenangkan ?!.

Adapun sanggahan kepada mereka secara terperinci adalah sebagai berikut:

1.Seorang penulis dari kelompok Rafidhah –yang merelakan dirinya di juluki dengan nama saudaranya, yaitu; Abu Lu’luah , menyebutkan: “Bahwa upaya pertama kalinya Umar mencoba untuk membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada waktu sebelum masuk Islam!, Apakah penulis majusi ini memahami apa yang ia tulis dan ia katakan ?!, Bagaimana niat Umar –ketika dalam keadaan syirik- untuk membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dianggap upaya pembunuhan?!, agama Umar dahulu berlawanan dengan Islam, dan setelah masuk Islam, kenapa sampai menunggu masuk Islam?!. Orang-orang musyrik beberapa kali berkumpul untuk membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, juga di banyak peperangan. Adalah sesuatu yang wajar jika Umar melakukannya pada saat ia dalam keadaan syirik dengan banyak tuhan, sementara kaum muslimin mengajak untuk bertuhid dan menganggap perbuatan bodoh menyembah banyak tuhan.

Semua ini kalau kita anggap kisah yang ada dalam makalah mereka benar !. Keluarnya Umar dan mengancam untuk membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Yang benar dan qath’i adalah: bahwa kisah tersebut adalah mungkar, tidak memiliki sanad yang shahih dan selamat dari celah. Bagaimana mungkin kelompok Rafidhah memiliki ilmu untuk meneliti dan sanad hadits ?!.

Kisah yang disebutkan dan yang terkenal adalah tentang masuk Islamnya Umar, yang sebelumnya ia ingin membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. (HR. Ibnu Sa’d dalam “Ath Thabaqaat”: 3/267-269, dan Daruquthni dalam “As Sunan”: 1/123, dan al Hakim dalam “Al Mustadrak”: 4/59-60, dari jalur Ishaq bin al Azraq, dari al Qosim bin Utsman al Bashri, dari Anas).

Al Qosim bin Utsman al Bashri, dialah celahnya hadits tersebut.

Adz Dzahabi –rahimahullah- dalam biografinya:

“Al Qosim bin Utsman al Bashri dari Anas, Al Bukhori berkata: “Ia memiliki hadits yang tidak perlu diikuti”. Saya (adz Dzhahabi) berkata: “Ishaq al Azraq meriwayatkan kepadanya dengan matan yang dihafal, dan kisah masuk Islamnya Umar, dan itu adalah mungkar sekali”. (Mizan I’tidaal: 3/375)

2.Upaya kedua untuk membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang dituduhkan oleh Rafidhoh adalah terjadi sekembalinya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari “Tabuk”, sekelompok orang-orang munafik mendatangi Nabi dan ingin membunuhnya dengan cara mau dilemparkan dari tempat yang tinggi, namun Allah telah menyelamatkannya. Upaya pembunuhan tersebut dilakukan pada sebuah tempat yang bernama: “Aqabah”.

            Ibnul Jauzi –rahimahullah- berkata:

“Hadits ini bermasalah bagi pemula; karena tempat Aqabah jika disebutkan akan mengisyaratkan kepada kaum Anshar yang membaiat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, padahal bukan itu yang dimaksud. Aqabah yang dimaksud adalah yang berada di dekat daerah Tabuk, orang-orang munafik berhenti di sana dan membelot dari komitmen awal”. (Kasyful Musykil min Hadits ash Shahihain).

Sejarahnya benar, tidak ada masalah, hanya saja kelompok Rafidhah sang pendusta mengklaim bahwa Abu Bakar dan Umar –radhiyallau ‘anhuma- termasuk mereka yag membelot dari golongan orang-orang munafik yang berusaha membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, tuduhan tersebut adalah tuduhan tidak berarti dan tidak berharga, waktu lebih berharga dari pada terbuang untuk membantah tuduhan tersebut. Kalau saja kami tidak menginginkan kembalinya orang-orang yang terpedaya oleh mereka ke jalan yang benar, maka kami tidak akan peduli, juga kami ingin mengokohkan hati umat ahlus sunnah secara umum kepada kebenaran yang Allah sudah berikan hidayah kepada mereka untuk mengikutinya.

Imam Muslim (2779) meriwayatkan dari jalur al Walid bin Jumai’ dari Abu Thufail berkata:

كَانَ بَيْنَ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْعَقَبَةِ وَبَيْنَ حُذَيْفَةَ بَعْضُ مَا يَكُونُ بَيْنَ النَّاسِ ، فَقَالَ : أَنْشُدُكَ بِاللهِ ؛ كَمْ كَانَ أَصْحَابُ الْعَقَبَةِ ؟ ، قَالَ : فَقَالَ لَهُ الْقَوْمُ : أَخْبِرْهُ إِذْ سَأَلَكَ ، قَالَ - يعني حذيفة - : كُنَّا نُخْبَرُ أَنَّهُمْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ ، فَإِنْ كُنْتَ مِنْهُمْ فَقَدْ كَانَ الْقَوْمُ خَمْسَةَ عَشَرَ ، وَأَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ اثْنَيْ عَشَرَ مِنْهُمْ حَرْبٌ للهِ وَلِرَسُولِهِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ، وَيَوْمَ يَقُومُ الأَشْهَادُ ، وَعَذَرَ ثَلاثَةً ، قَالُوا : مَا سَمِعْنَا مُنَادِيَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلا عَلِمْنَا بِمَا أَرَادَ الْقَوْمُ ، وَقَدْ كَانَ فِي حَرَّةٍ ، فَمَشَى ، فَقَالَ : إِنَّ الْمَاءَ قَلِيلٌ فَلا يَسْبِقْنِي إِلَيْهِ أَحَدٌ ، فَوَجَدَ قَوْمَاً قَدْ سَبَقُوهُ ، فَلَعَنَهُمْ يَوْمَئِذٍ .

“Ada seseorang dari penduduk Aqabah (yang dekat dengan daerah Tabuk) dan Hudzaifah berada di antara kerumunan orang, ia berkata: “Demi Allah; Berapa banyak orang yang berkumpul di Aqabah ?. Orang-orang berkata kepadanya: “Katakan padanya saat ia bertanya”. Hudzaifah berkata: “Kami diberitahu bahwa jumlah mereka 14 orang, dan jika engkau termasuk dari mereka berarti jumlah mereka 15 orang, dan aku bersaksi kepada Allah bahwa 12 orang di antara mereka memerangi Allah dan Rasul-Nya di dunia dan di pengadilan akherat, dan tiga orang lainnya dimaafkan”. Mereka berkata: “Kami tidak mendengar penyeru Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kami tidak mengetahui apa yang diinginkan, yang tadinya di daerah “Harrah” (dekat Madinah) lalu berangkat. Maka ia berkata: “Sesungguhnya persediaan sedikit, maka janganlah seseorang ada yang mendahuluiku, dan ia mendapatkan suatu kaum telah mendahuluinya, maka dia melaknatnya pada saat itu”.

Kesimpulan ceritanya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim –rahimahullah-, apakah masuk akal untuk dibenarkan bahwa Abu Bakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma- meninggalkan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian memakai cadar dan berusaha untuk membunuh beliau. (Kalau memang benar) kenapa keduanya tidak melakukan itu sebelum mereka berangkat ke Tabuk?, juga kenapa keduanya tidak melakukannya pada saat bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- saja, hal itu akan lebih memudahkan?!. Allah –Ta’ala- telah mewahyukan kepada Nabi-Nya Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang nama-nama mereka, dan telah dimaafkan tiga orang dari mereka. Bagaimana mungkin mereka yang mulia termasuk dari kelompok munafik? Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga tidak memperingatkan ummat Islam untuk menjauhi mereka ?!, bagaimana pula pujian Nabi kepada mereka berdua, dan menyuruh untuk mendahulukan mereka berdua, dan ridha dengan persahabatan mereka berdua, juga ridha dengan nasab keduanya. Bagaimaba pula Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- berbaiat kepada kedua imam Abu Bakar dan Umar kalau ia mengetahui bahwa keduanya termasuk orang munafik?!, bahkan ia memastikan bahwa Umar –radhiyallahu ‘anhu- bukan termasuk orang-orang munafik. Karena ia (Hudzaifah) telah memiliki data orang-orang munafik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?!.

Banyak pertanyaan yang masuk pada hati yang bersih, dan akal yang sehat, dan tidak ada jawaban untuk pertanyaan tersebut kecuali apa yang diklaimkan Rafidhah adalah kedustaan yang nyata, cara berfikir yang jahat yang sehari-hari mereka hidup bersamanya, jiwa mereka yang sakit, aqidah yang rusak yang mereka yakini, semua hal tersebut mendorong mereka untuk selalu membuat kisah-kisah khurafat yang tidak bisa dipercaya, yang banyak ditertawakan oleh orang-orang yang memiliki akal sehat.

Perawi kisah di atas adalah Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu-, ia mengabarkan orang yang melakukan perbuatan makar tersebut adalah “Ahlu Aqabah” (penduduk Aqabah), mana yang menunjukkan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah bagian dari mereka ?!. Apa yang akan dilakukan oleh kelompok Rafidhah dengan beberapa riwayat yang dengan jelas menyebutkan nama-nama orang munafik, dan tidak ada di antara mereka disebutkan nama para sahabat yang mulia ?!.

Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:

“Ath Thabrani menjelaskan dalam “Musnad Hudzaifah” tentang penamaan “Ashabul Aqabah”, kemudian ia meriwayatkan dari Ali bin Abdul Aziz dari Zubai bin Bakkar bahwa ia berkata: “Mereka adalah Mu’attab bin Qusyair, Wadi’ah bin Tsabit, Jaddun bin Abdilah bin Nabtal bin Harits dari bani Amr bin ‘Auf, Al Harits bin Yazid ath Tha’i, Aus bin Qaidzi, al Harits bin Suwaid, Sa’d bin Zurarah, Qais bin Fahd, Suwaid dan da’is dari bani Hubli, Qais bin Amr bin Sahl, Zaid bin Lushait, Salamah bin Hamam keduanya dari bani Qainuqa’ yang berpura-pura masuk Islam”. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/182-183)

Penulis makalah dari Rafidhah di atas mencampur aduk dengan riwayat “Ibnu Hazm” –rahimahullah- sebanyak dua kali:

1.Dia mengklaim bahwa Al Walid bin Jumai’ mempunyai riwayat yang di dalamnya disebutkan nama-nama sahabat yang mengikuti perbuatan makar dan rencana pembunuhan di Aqabah. Meskipun Ibnu Hazm mendha’ifkan perawi tersebut, tetap wajib diterima jika ada uang menguatkannya, dan baik haditsnya.

2.Penyebutan kitabnya Ibnu Hazm yang dinamakan “Al Muhalla” menjadi salah satu rujukan dari riwayat di atas yang di situ tertera beberapa nama para sahabat.

Perhatikan teks aslinya berikut ini:

Ibnu Hazm dalam “Al Muhalla bil Atsaar”, juz: 12, hal.2203, kitabul hudud (bab hukum dera), ia berkata:

“adapun hadits Hudzaifah adalah saqith (jatuh/lemah); karena dari jalur Al Qalid bin Jumai’, riwayatnya rusak (tidak diterima), dan kami tidak melihat bahwa ia mengetahui siapa yang memalsukan hadits; karena ia telah meriwayatkan beberapa riwayat yang termasuk di dalamnya: Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah, Sa’d bin Abi Waqqash –radhiyallahu ‘anhum- mereka semua ingin membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan keluarganya, dan dilemparkan dari bukit “Aqabah” ke “Tabuk” ?!.

Kami melihat bahwa Ibnu Hazm tidak menerima haditsnya Walid bin Jumai’. Realitanya, Wlid termasuk di antara sanad Bukhori dan Muslim, Sunan Abu Daud, Shahih Tirmidzi, Sunan Nasa’i. Realitanya, bahwa banyak dari buku-buku para perawi mereka menganggap Walid bin Jumai’ tsiqah”.

Sanggahan terhadap pernyataan di atas adalah:

1.Al Walid bin Jumai’ bukan termasuk sanadnya Bukhori, tidak ada satu pun hadits di dalam kitab shahihnya yang diriwayatkan oleh Walid. Namun ia meriwayatkan di luar kitab shahihnya, yang demikian tidak bisa dikatakan sebagai salah satu sanad Bukhori.

2.Ibnu Hazm –rahimahullah- telah melakukan kesalahan dalam mensifati Walid dengan “Al Halak” (rusak/hancur), dan julukan yang lebih tepat adalah: “Shaduq Yahm” (Jujur tapi hilang akalnya), sebagaimana yang disampaikan oleh al Hafidz Ibnu Hajar dalam “At Taqriib”.

Dan di dalam “Al Jarh wat Ta’diil” karangan Ibnu Abi Hatim: 9/8:

“Dari Imam Ahmad dan Abi Zar’ah keduanya berkata tentang dia: “Tidak masalah”, dan Yahya bin Mu’in menguatkannya, dan Abu Hatim Ar Raazi berkata: “Haditsnya bisa diterima”.

3.Tidak diketahui di dunia ini satu sanad pun yang menyebutkan para sahabat yang mulia bahwa mereka ikut dalam rencana pembunuhan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan Ibnu Hazm mendha’ifkan perawi tersebut sejak awal, sebelum ia meriwayatkan hadits tersebut. Yang bisa difahami dari pembicaraannya –rahimahullah- bahwa penyebutan nama-nama para sahabat karena disisipkan ke dalam sanad al Walid yang asli, yang sebenarnya tidak ada. Dan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Hazm –rahimahullah- dalam masalah ini: “dan kami tidak menganggap ia mengetahui siapa yang memalsukan hadits tersebut”. Hadits tersebut dengan penyebutan para sahabat adalah kedustaan yang nyata kepada Walid bin Jumai’ –rahimahullah-, dari sini maka diwajjibkan untuk memperingatkan kaum muslimin atas apa yang telah dihapus oleh seorang Rafidhah di atas dari perkataan Ibnu Hazm –rahimahullah-, karena ia mengatakan langsung setelah itu:

            “Inilah kebohongan yang dibuat yang Allah akan melaknat pemalsunya, maka kita akan tersbebas untuk bergantung kepadanya, dan segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam”.

(Al Muhalla: 11/224)

Lihatlah bagaimana ia mensisipkan dan mencampurkan (riwayat satu dengan lainnya) dalam periwayatan dari Ibnu Hazm –rahimahullah-. Doa yang dipanjatkan oleh Ibnu Hazm –rahimahullah di atas- tidak mungkin terkena kecuali kepada seorang Rafidhah; karena mereka lah yang berbuat dusta, dan di selipkan pada sanad yang benar dan sudah dikenal.

4. Jika kami menjadikan penyebutan nama-nama orang munafik yang disebutkan oleh Az Zubair bin Bakkar yang mana nama-nama mereka tertera dalam riwayat al Baihaqi dalam “Dalail Nubuwah” termasuk dalam kategori dha’if dan tidak diterima, maka kami berkata: “Sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meminta Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- untuk mengecek nama-nama mereka, ia adalah intelejen Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka dari mana mereka mengetahui nama mereka yang bercadar/bertopeng dari orang-orang munafik yang mau membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?!. Untuk menjawab pertanyaan tersebut: kelompok Rafidhan berbohong dan mengklaim bahwa hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- lah yang mengabarkan nama-nama mereka !, lihatlah bagaimana mereka menjadikan Hudzifah berkhianat sebagai intelejen, hal tersebut tidak penting bagi mereka untuk mewujudkan tujuan mereka mencela dan menuduh para sahabat yang mulia –radhiyallahu ‘anhum-, mereka juga tidak memperdulikan besarnya anggaran untuk tujuan bathil tersebut.

            Seorang Rafidhah Majusi berkata dalam artikelnya:

“Pada zaman pemerintahan Utsman bin Affan, Hudzaifah bin Yaman –radhiyallahu ‘anhu- menjelaskan nama-nama mereka yang mencoba untuk membunuh Nabi di “Aqabah”, di antara nama-nama tersebut adalah: Abu Bakar, Umar, Utsman, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Musa al Asy’ari, Abu Sufyan bin Harb, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf “.

Sumber: (“Al Muhalla” Ibnu Hazm Al Andalusi, jilid: 11, hal. 225, dan “Muntakhob Tawarikh”, hal. 63).

Selesai, dengan beberapa kesalahan dari sisi susunan bahasa.

Bantahan terhadap pernyataan di atas dapat disimpulkan berikut ini:

a.Kalian dengan pernyataan di atas, telah menjadikan Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- berkhianat sebagai intelejen Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, jika demikian maka layak untuk tidak diterima perkataannya!. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mempercayakan kepada Hudzaifah secara umum untuk merahasiakan nama-nama orang munafik, maka bagaimana kalian ridha kepadanya padahal ia berkhianat dengan amanahnya?!. Sedangkan kami membantah bahwa Hudzaifah mengkhianati amanah Nabi, kami juga memastikan bahwa ia tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan kepadanya.

b.Mana Riwayat yang menyatakan bahwa Hudzaifah menyebutkan nama-nama orang munafik yang mau membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?!, mana sanadnya?

c.Apa yang mereka sebutkan dalam artikel mereka, menguatkan pendapat kami bahwa Al Walid bin Jumai’ bebas dari kebohongan dan penyebutan nama-nama para sahabat yang mulia. Hadits yang ia riwayatkan tidak ada penyebutan nama-nama para sahabat, sedang Rafidhah menisbahkan penyebutan nama-nama para sahabat kepada Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu! Penguatan riwayat Al Walid bukan berarti riwayatnya  yang menyebutkan nama-nama para sahabat diterima; karena sanadnya tidak ditemukan, bahkan riwayat tersebut juga tidak ada.

d.Penyebutan “Al Muhalla” sebagai rujukan adalah termasuk “Tadlis” (penipuan) dan “Talbis” (mencampuradukkan yang hak dan bathil). Karena Ibnu Hazm –rahimahullah- mendustakan riwayat yang mengikut sertakan nama-nama para sahabat, dan tidak takut kepada seseorang pembesar Rafidhah.

e.Penyebutan “Muntakhab Tawarikh” sebagai rujukan tidak bermanfaat bagi mereka, dilihat dari dua sebab:

I.Pengarang kitab tersebut adalah Muhammad Hasyim al Khurrasani, ia seorang Rafidhah tulen, yang meninggal belakangan pada tahun 1352 H. Masa dia sangat dekat dengan pendusta yang sedang kita diskusikan.

II.Tidak diterima riwayat seseorang kecuali dengan sanadnya, kalau tidak mereka akan meriwayatkannya sesuka mereka.

5.Perbedaan imam yang lain dengan Ibnu Hazm dalam menghukumi “Al Walid bin Jumai’ “ tidak berarti riwayat yang menyebutkan beberapa nama seperti: Abu Bakar, Umar, Utsman dan lain-lain adalah benar; karena memang tidak ada riwayatnya. Akan tetapi wajib bagi para Imam untuk menerima riwayat seorang muslim yang menyebutkan kejadiannya dari jalur al Walid, dan kami tidak mengetahui dari orang-orang yang berkutat dengan ilmu hadits mendahulukan Ibnu Hazm dari pada para imam besar yang telah kami sebutkan dari ulama hadits.

6.Maka dari itu ada dua perkara:

a.Riwayat yang asli yang ada pada Shahih Muslim tanpa menyebutkan nama-nama yang termasuk orang-orang munafik yang mau membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dha’if menurut Ibnu Hazm, karena dha’ifnya Al Walid bin Jumai’ baginya, dan sebelumnya telah mendha’ifkannya pada hadits Hudzaifah dan bapaknya, ketika mengadakan perjanjian dengan orang-orang musyrik untuk tidak memerangi mereka di “Badar”, hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim juga.

7.Riwayat yang di dalamnya disebutkan nama-nama orang yang mencoba akan membunuh Nabi, di antaranya: Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah dan lain-lain adalah palsu, bohong, sebagimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hazm –rahimahullah-. Ibnu Hazm telah mendoakan celaka bagi orang yang memalsukannya, dan beliau juga telah memastikan kedustaannya. Bukanlah illat (sebab palsunya) karena adanya Al Walid bin Jumai’, tetapi dipalsukan oleh pendusta yang tersembunyi yang disisipkan pada riwayat al Walid. Ibnu Hazm –rahimahullah- juga telah memastikan bahwa al Walid tidak mengetahui siapa yang memalsukannya, itulah juga yang kami pastikan.

8.Yang aneh bagi kami bahwa tidak ada satu pun riwayat dari pihak Rafidhah untuk menetapkan Abu Bakar, Umar, Utsman –radhiyallahu ‘anhum- bahwa mereka ikut mencoba ingin membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di Aqabah Tabuk, mereka tidak mendapatkan kaitan yang lain kecuali riwayat Ibnu Hazm –rahimahullah-, marilah kita mengobati mata mereka, menyungkurkan hidung mereka dengan periwayatan ini, mudah-mudahan mereka berhenti tidak menjadikan riwayat Ibnu Hazm sebagai dalil mereka.

Beliau –rahimahullah- berakata:

Adapun perkataan mereka orang-orang Nasrani, bahwa kelompok Rafidhah telah merubah al Qur’an, maka sesungguhnya kelompok tersebut tidak termasuk umat Islam, akan tetapi mereka adalah firqah (kelompok) yang muncul pertama kali 25 tahun setelah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- wafat, dasar pemikiran mereka adalah: jawaban dari seseorang yang Allah –Ta’ala- telah menghinakannya, untuk mengajak orang-orang yang baru saja masuk Islam. Mereka adalah kelompok yang sejalur dengan Yahudi dan Nasrani dalam masalah kedustaan dan kekufuran.

Mereka adalah sebuah kelompok. Yang paling berlebih-lebihan (Ghuluw), mereka mengakui akan ketuhanan Ali bin Abi Thalib, ketuhanan jama’ah yang bersama beliau. Dan bentuk ghuluw mereka yang paling ringan adalah bahwa matahari pernah dikirimkan kepada Ali sebanyak dua kali. Inilah kaum yang paling rendah kebohongannya: Apakah dianggap jelek kedustaan yang selalu mereka kerjakan ?!

Bagi siapa saja yang tidak menahan diri dari berbohong dalam masalah agama, atau masalah kesucian jiwa, maka sangat memungkinkan untuk mendustakan apa saja. Dan semua klaim atau tuduhan yang tidak memiliki bukti, maka tidak akan dijadikan dalil oleh siapa pun yang berakal, baik klaim baik atau buruk, dan kami –insya Allah- akan mendatangkan bukti yang jelas, membongkar kedustaan Rafidhah dengan apa yang telah mereka kerjakan.

(Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal: 2/65, Al Khoniji, dan 2/213 Al Jiil)

Keterkaitan Rafidhah Majusi dengan riwayat yang memang tidak ada telah terbantahkan –dengan izin Allah- , dan menjadi jelas bagi umat bahwa Ibnu Hazm –rahimahullah- telah memastikan kedustaannya. Apa yang kami lihat di situs-situs Rafidhah akan katerkaitan mereka dengan riwayat Ibnu Hazm –rahimahullah- sudah jelas kedudukannya, dan tidak akan bermanfaat bagi mereka penetapan tuduhan mereka, segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam.

Ketiga:

Adapun upaya pembunuhan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang ketiga dan berhasil menurut Rafidhah: “Mereka mengklaim bahwa ‘Aisyah dan Hafshah –radhiyallahu ‘anhuma- mereka berdua yang menaruh racun pada mulut Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan meninggal dunia disebabkan racun tersebut !, keduanya melakukan itu atas perintah kedua ayah mereka: Abu Bakar dan Umar –radhiyallahu ‘anhu-.

Dan di antara apa yang dikatakan oleh penyebar berita palsu tersebut adalah:

“Beberapa riwayat yang terpercaya ini di dalam kitab-kitab hadits ahlus sunnah mengungkap fakta persekongkolan besar untuk merevolusi hukum Islam, dan menguasai stabilitas hukum, yaitu dengan upaya membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan meminumkan racun kepada beliau”.

Ia juga berkata:

“Dan pendapat yang paling rajih (kuat), bahwa yang melakukan upaya pembunuhan tersebut adalah ‘Aisyah dan Hafshah, kedua istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang menyusun strateginya adalah Umar bin Khattan dan Abu Bakar, dan perintah dari keduanya, mereka juga yang dimanfaatkan oleh Abu Bakar dan Umar untuk memuluskan tujuannya, kemaslahatan Abu Bakar dan Umar dengan membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Demikianlah teks asli riwayat mereka, dan pendapat para ulama tentang masalah tersebut, dan beberapa sanggahan kepada Rafidhah yang menuduh dengan tuduhan dusta:

Dari ‘Aisyah berkata:

لَدَدْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ ، وَجَعَلَ يُشِيرُ إِلَيْنَا ( لَا تَلُدُّونِي ) ، فَقُلْنَا : كَرَاهِيَةُ الْمَرِيضِ بِالدَّوَاءِ ، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ : ( أَلَمْ أَنْهَكُمْ أَنْ تَلُدُّونِي ) ، قُلْنَا : كَرَاهِيَةٌ لِلدَّوَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا يَبْقَى مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا لُدَّ وَأَنَا أَنْظُرُ،  إِلَّا الْعَبَّاسَ فَإِنَّهُ لَمْ يَشْهَدْكُمْ (رواه البخاري، رقم  6501  ومسلم ، رقم  2213 ) .

Kami meminumkan (obat) kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat beliau sakit, lalu beliau memberi isyarat kepada kami: “Janganlah kalian meminumkan (obat) kepadaku !”. Maka kami berkata: Karena sakit beliau tidak mau minum obat. Dan ketika beliau sadar, beliau bersabda: “Tidakkah saya sudah melarang kalian untuk meminumkan obat ?!. Kami berkata: “Beliau tidak mau obat”. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kalian tidak akan bertahan hidup kecuali akan dicekoki obat dan saya melihatnya kecuali Abbas, karena ia tidak menghadiri kalian”. (HR. Bukhori 6501 dan Muslim 2213)

Dari Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam dari Asma binti Umais ia berkata:

أَوَّلُ مَا اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ مَيْمُونَةَ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ حَتَّى أُغْمِيَ عَلَيْهِ ، فَتَشَاوَرَ نِسَاؤُهُ فِي لَدِّهِ ، فَلَدُّوهُ ، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ : ( مَا هَذَا ؟ ) ، فَقُلْنَا : هَذَا فِعْلُ نِسَاءٍ جِئْنَ مِنْ هَاهُنَا - وَأَشَارَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ - وَكَانَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ فِيهِنَّ قَالُوا : كُنَّا نَتَّهِمُ فِيكَ ذَاتَ الْجَنْبِ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : ( إِنَّ ذَلِكَ لَدَاءٌ مَا كَانَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيَقْرَفُنِي بِهِ ، لَا يَبْقَيَنَّ فِي هَذَا الْبَيْتِ أَحَدٌ إِلَّا الْتَدَّ ، إِلَّا عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعْنِي : الْعَبَّاسَ - ) .

“Awal mula Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merasakan sakit pada saat berad di rumah Maimunah, lalu sakit beliau bertambah parah dan sampai pingsan, maka istri-istri beliau bermusyawarah untuk meminumkan obat kepada beliau, dan akhirnya mereka meminumkannya. Ketika beliau sadar lalu bersabda: “Apa ini ?”. Kami menjawab: “Itu adalah perbuatan beberapa istri anda yang datang dari arah sini –menunjuk ke arah Habasyah-, dan Asma’ binti Umais termasuk dari mereka”. Mereka berkata: “Sebelumnya kami menuduh (disebabkan) oleh orang-orang yang ada disekitar anda, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sungguh ia adalah penyakit yang sebelumya Allah –‘Azza wa Jalla- tidak mendatangkannya, tidak seorang pun yang berada di rumah ini kecuali akan menelan obat, kecuali paman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yaitu: Abbas”.

Dia berkata: “Maimunah pada saat itu juga meminum obat pada waktu ia berpuasa, karena keadaan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang kritis“.

(HR. Ahmad 45/460, dishahihkan oleh Al Baani dalam “Silsilah Ash Shahihah” 3339)

“Al Ludud” adalah Obat yang dimasukkan ke dalam salah satu sisi mulut si sakit, atau dimasukkan dengan jemari atau yang lainnya dan ditahnikkannya.

Adapun “Wujur” adalah bengkak yang panas disekitar sisi tubuh pada selaput bagian dalam pada tulang rusuk”.

Sisi tubuh yang sebenarnya memiliki lima penyakit: panas, batuk, sakit kudis, sesak nafas, denyut nadi yang tidak teratur.

(Baca: “Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad”: 4/81-83)

Kami dengan kedua riwayat di atas memiliki beberapa sikap:

1.Sesungguhnya yang meriwayatkan kejadian tersebut kepada dunia adalah ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Bagaimana ia bisa meriwayatkan kepada semua orang bahwa ia yang membunuh Nabinya, suaminya, kekasihnya –shallallahu ‘alaihi w sallam-, Ummu Salamah juga meriwayatkan kejadian tersebut, Asma’ binti Umais –radhiyallahu ‘anhuma-, mereka semua tercoreng agamanya menurut Rafidhah, dan bersekongkol untuk membunuh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan pada waktu bersamaan mereka menerima hadits mereka dalam masalah ini, maka fikirkanlah keanehan mereka wahai yang masih memiliki akal sehat.

2.Bagaimana mungkin Rafidhah Majusi mengetahui komposisi dari obat yang diminumkan kepada Rasulullah oleh ‘Aisyah ?!

3.Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau sendiri yang menyuruh untuk menaruh obat yang sama pada mulut semua yang berada pada ruangan tersebut, kecuali Abbas –radhiyallahu ‘anhu-. (Kalau memang obat tersebut racun) kenapa beliau yang meninggal dunia sementara yang lain tidak.

4.Kenapa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memberitahu paman beliau Abbas –radhiyallahu ‘anhu- dengan apa yang telah mereka lakukan, yaitu; pemberian racun kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk ditegakkan hukum qishash kepada para pelakunya. Jika kalian mengatakan bahwa Nabi telah memberitahukannya, mana dalilnya. Jika kalian mengatakan: beliau belum memberitahukannya, bagaimana kalian bisa mengetahui bahwa yang diminumkan adalah racun bukan obat, Abbas sendiri tidak mengetahunya”.

5.Racun yang diletakkan seorang wanita Yahudi pada makanan yang disuguhkan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika terungkap dan diberitahukan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa kambingnya beracun, maka kenapa tidak berdampak sama kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dari racun yang ditaruh oleh ‘Aisyah pada mulutnya ?!

6.Tidak mungkin obat tersebut diberikan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tanpa sebab tertentu, justru beliau diberi obat karena beliau sakait.

7.Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak diberi obat kecuali setelah adanya musyawarah di antara para istri beliau –radhiyallahu ‘anhunna-.

8.Kami tidak mengingkari bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia karena adanya pengaruh racun, namun racun yang mana ?, itu adalah racun yang ditaruh oleh perempuan Yahudi pada jamuan dirumahnya. Nabi pun memenuhi undangannya, dan memuntahkan sesuap yang sudah beliau makan, karena diberitahu oleh Allah –Ta’ala- bahwa ada racun di dalam makanannya. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengabarkan adanya efek racun tersebut pada akhir-akhir masa hidupnya, oleh karenanya beberapa ulama salaf dari umat ini berkata: “Bahwa sesungguhnya Allah –Ta’ala- menggabungkan bagi Nabi (derajat) kenabian dan syahid”.

Yang mengherankan, sebagian orang-orang Rafidhah mengingkari riwayat tersebut, dan membebaskan Yahudi dari perbuatan keji tersebut, padahal riwayatnya mutawatir, sanadnya shahih, dan Allah juga mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi mereka selalu membunuh para Nabi, mereka tetap saja menganggap bahwa Yahudi terbebas dari perbuatan tersebut. Dan tidak takut akan terbongkarnya sebab pembelaan Rafidhah kepada Yahudi; karena pendiri madzhab ini adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi, adalah wajar kalau mereka membebaskan Yahudi dari perbuatan tersebut padahal riwayatnya shahih, justru tuduhan tersebut mereka lontarkan kepada para sahabat yang mulia, tanpa adanya sanad yang shahih, maupun dha’if.

9.Adalah jelas di dalam riwayat bahwa istri-istri Nabi tidak memahami bahwa larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk tidak meminumkan kapadanya obat merupakan larangan syar’i, mereka memahami bahwa larangan Nabi tersebut karena orang yang sakit biasanya tidak mau minum obat, secara dzahir hal tersebut tidak bisa dihindari, sebagian mereka menjelaskan hal tersebut, meskipun belum ada penjelasan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-; karena hukum asalnya adalah bersegera melakukan perintah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mereka melakukan kesalahan dalam menyiapkan obat bagi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hingga mereka memberikan obat yang tidak sesuai dengan penyebab sakitnya.

            Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Bahwa beliau menolak untuk berobat; karena obatnya tidak sesuai dengan penyakitnya, karena mereka (keluarga) mengira bahwa penyakit Nabi disebabkan “Dzatul Janbi” (penyakit biasa pada sisi tubuh), maka mereka memberikan obat yang sesuai dengan dugaan penyakit tersebut. Padahal sebenarnya bukan karena penyakit tersebut, sebagaimana yang anda lihat dalam konteks riwayat di atas”. (Fathul Baari: 8/147-148)

10.Apakah Raslullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengqishas yang meminumkan obat atau beliau ingin memberi pelajaran kepada mereka?, nampaknya apa yang dilakukan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- hingga memaksakan kepada mereka untuk ikut meminum obat hal ini beliau ingin memberikan pelajaran, dan yang menunjukkan bahwa apa yang dilakukan bukanlah karena qishas adalah beliau tidak memaksakan mereka untuk minum sebanyak yang beliau minum. 

            Abu Ja’far ath Thahawi –rahimahullah- berkata:

“Jika ada seseorang yang berkata: Apakah apa yang disuruh oleh Rasul untuk juga minum obat itu bentuk qishas atau yang lainnya?, maka dijawab: Perbuatan Nabi tersebut memungkinkan karena beliau ingin membalas atau memberikan pelajaran, hingga mereka tidak mengulanginya lagi, dan yang menunjukkan bahwa hal itu bukan karena qishas adalah bahwa beliau tidak menyuruh untuk minum obat sebanyak yang beliau minum. Kalau hal itu qishas maka beliau akan menyuruh mereka minum sebanyak yang beliau minum”. (Syarh Musykil Aatsar: 5/198)

Al Hafid Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Yang begitu nampak bahwa beliau ingin memberikan pelajaran kepada mereka, agar mereka tidak mengulanginya lagi, itu bentuk pelajaran bukan qishas juga bukan balas dendam”. (Fathul Baari: 8/147)

11.Ada kemungkinan adanyan kemiripan penyakit dengan yang diderita oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Karena bentuk kedua penyakit tersebut (Dzatul Janbi dan pengaruh racun) terletak pada tempat yang sama yaitu pada sisi tubuh.

            Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Dzatul Janbi menurut para dokter: ada yang “Hakiki” (benar-benar penyakit), dan ada yang “Ghoiru Hakiki” (tidak terdeteksi). Yang Hakiki adalah rasa bengkak yang panas yang menjalar di seputar sisi tubuh, pada selaput bagian dalam tulang rusuk. Dan yang “Ghoiru hakiki” adalah rasa sakit yang juga menjalar pada bagian sisi tubuh disebabkan oleh angin yang tebal, menyakitkan, yang tertahan pada kulit bagian dalam, yaitu: selaput yang membungkus organ dalam, yang menyebabkan rasa sakit mirip dengan “dzatul janbi” yang sebenarnya tadi. Bedanya rasa sakit pada yang penyakit ini terus menerus, dan yang haikiki melebar.

Beliau juga berkata:

“Pengobatan yang ada di dalam hadits, bukan untuk penyakit yang bagian pertama, akan tetapi untuk yang bagian kedua yang disebabkan oleh angin yang tebal. Karena “al Qustu al Bahri” adalah ranting pohon dari india –sebagaimana yang dijelaskan pada hadits lain-. Diambil sejumput ranting tersebut ditumbuk dengan halus, dicampur dengan minyak yang dipanasi, dan dipijatkan pada tempat angin tersebut atau dioleskan, itu adalah obat yang sesuai, bermanfaat, medianya halal, menyingkirkannya, memberikan kekebalan pada organ dalam, membuka penyumbatan”. (Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril ‘Ibad: 4/81-82)

Para istri Nabi –radhiyallahu ‘anhunna- mereka meyakini bahwa penyakit yang diderita Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah penyakit yang sebenarnya, itulah yang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merasa yang dideritanya penyakit yang lain, mereka memberikan obat untuk penyakit yang lain, obat yang diberikan adalah “Al qustul Hindi” mereka tumbuk dicampur dengan minyak –sebagimana dalam riwayat Thabrani- , obat tersebut bermanfaat bagi tubuh meskipun sedang sehat; oleh karena itu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh semua yang ada di sisinya untuk ikut meminumnya, dan siapa yang mau untuk meminumnya, kalau seandainya obat tersebut bahaya sudah bisa dipastikan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak akan menyuruh mereka untuk meminumnya.

12.Tidak ada dalam dua riwayat di atas atau yang lainnya penyebutan Abu Bakar dan Umar –radhiyallahu ‘anhu-, akan tetapi yang bermusyawarah hanya para istri beliau, juga tidak disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa ‘Aisyah dan Hafshah berkonsultasi kepada ayah mereka untuk melakukan hal tersebut.

Dari semua penjelasan di atas, menjadi jelas –dengan pentunjuk Allah- semua yang dituduhkan oleh seorang Rafidhah di atas adalah tidak benar, demikian juga yang disampaikan oleh “Najah at Thaa-i” dlam bukunya yang merusak “Apakah Nabi Muhammad mati terbunuh ?”.

Telah menjadi jelas bagi kami, setiap kali kami menyanggah syubhat-syubhat mereka kami mendapatkan kedangkalan cara berfikir mereka, jahatnya apa yang menjadi keyakinan mereka, juga semakin menjadi jelas bagi kami akan kuatnya ahlus sunnah dalam hujjah-hujjah mereka, kebenaran dalil mereka, dan cara menyimpulkan dalil tersebut, inilah merupakan nikmat yang besar dari Allah yang mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya, dan memberikan kepada kita manhaj yang benar, jalan yang lurus, yang menjadi jelas bagi kami, menerangi jalan kami, dan tidak ada yang tergelincir dari jalan itu kecuali akan binasa.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam