Alhamdulillah.
Jika seseorang berwudu di tempat yang suci, maka tidak mengapa jika airnya jatuh ke lantai dan mengenai badan atau pakaiannya.
Perlu diketahui bahwa asal perkara adalah suci, maka sebuah tempat tidak dihukumi najis kecuali dengan yakin.
Sebagian orang merasa keberatan berwudu di WC yang juga digunakan untuk buang hajat. Dia mengira bahwa air yang menetes di atas lantai kemudian menimpanya, maka dia dianggap terkena najis. Pandangan ini tidak benar dalam banyak kondisi, karena lantai WC suci, kecuali tempat buang hajat. Maka tempat tersebut tidak boleh dihukumi najis kecuali dengan yakin.
Maka dengan demikian, tidak mengapa jika air menetes di lantai kemudian menciprat ke tubuh atau pakaian.
Ulama yang terhimpun dalam Al-Lajna Ad-Da'ima Lil-Ifta ditanya, 'Apa hukum berwudu di WC? Apakah jika seseorang meletakkan penghalang antara tempat najis dan kran air, berarti wudunya sah?
Mereka menjawab, 'Jika diletakkan penghalang antara air yang jatuh dari kran dan tempat najis, sekiranya jika air tersebut jatuh di lantai yang suci, maka tidak ada larangan berwudu di tempat tersebut dan beristinja." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 5/85)
Mereka juga ditanya, 5/85, "Bolehkan seseorang kencing di WC?
Mereka menjawab, "Ya, boleh, dibolehkan baginya kencing di WC dengan menghindari cipratan air kencing, dan disyariatkan baginya untuk menyiramnya dengan air agar kencing tersebut hilang jika dia ingin berwudu di tempat itu juga."
Mereka juga berkata, 5/238, "Jika mudah baginya berwudu di luar WC, maka lebih sempurna jika dia berwudu di luar WC sambil tetap berusaha membaca basmalah ketika memulainya, jika tidak mudah, dia boleh berwudu di dalam WC dan berusaha menghindari dari najis."
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang sebagian orang yang berwudu di dalam WC yang khusus digunakan untuk buang hajat. Ketika keluar pakaian mereka tampak basah. Sementara di WC tersebut tidak sunyi dari najis, apakah shalat mereka dengan pakaian tersebut sah? Apakah mereka dibolehkan melakukannya (berwudu di WC)?
Beliau menjawab, "Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya ingin katakan bahwa syariat alhamdulillah, sempurna dari semua sisi, dan sesuai dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan berdasarkan ajaran-Nya. Dan syariat diturunkan dengan memberikan kemudahan, bahkan diturunkan untuk menjauhi manusia dari perasaan was-was dan keraguan yang tidak ada dasarnya. Berdasarkan hal itu, maka seseorang dengan pakaiannya pada dasarnya dianggap suci selama tidak diyakini adanya najis di badan dan pakaiannya. Kaidah dasar ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallah alaihi wa sallam, ketika seseorang mengadu kepadanya seakan-akan dia mendapatkan sesuatu dalam shalatnya, maksudnya dirinya seakan-akan berhadats, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Hendaknya dia jangan meninggalkan shalatnya sebelum mendengarkan suara atau mencium bau'. Prinsipnya, sesuatu dihukum berdasarkan hukum dasarnya. Maka pakaian mereka yang dibawa masuk WC dan dia buang hajat di dalamnya sebagaiman disampaikan penanya, jika terkena cipratan air, siapakah yang mengatakan bahwa basah yang ada itu berasal dari basah kencing atau kotoran, atau semacamnya? Jika kita tidak dapat memastikan perkara tersebut, maka hukum dasarnya adalah suci. Benar, boleh jadi dia mengira bahwa besar kemungkinan itu adalah najis, akan tetapi selama kita belum yakin, maka ketetapan dasarnya dia adalah suci. Tidak wajib mencuci pakaian mereka dan mereka boleh shalat dengan pakaian tersebut, tidak mengapa." (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/369)
Perlu kami ingatkan juga bahwa seandainya keberadaan najis tersebut dapat dipastikan dan menengai pakaian seseorang, itu tidak berarti wudunya batal, akan tetapi shalatnya tidak sah jika dia mengetahui keberadaannya namun tidak dia hilangkan. Najis tidak merusak wudu, namun merusak sahnya shalat. Maka jika seseorang meyakini dirinya terkena najis, dia harus mencucinya sebelum shalat, kemudia dia dapat shalat dengan wudu tersebut dan wudunya tidak batal karena hal tersebut.
Wallahua'lam.