Alhamdulillah.
Pertama,
Tidak diragukan lagi bahwa apa yang anda lakukan adalah kebohongan dan penipuan yang mengakibat tertundanya haji orang yang menginginkannya dari anda. Maka seharusnya anda bertaubat kepada Allah Ta’ala dan menyesali apa yang telah berlalu.
Kedua,
Seseorang tidak dibolehkan menghajikan orang lain sebelum dia melakukan haji untuk dirinya terlebih dahulu. Kalau dia lakukan, maka hajinya akan berubah langsung untuknya dan dia diharuskan mengembalikan uang kepada pemiliknya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Barangsiapa menghajikan orang lain, sementara dia belum melaksanakan haji untuk dirinya. Maka dia harus mengembalikan (dana) yang diambil, dan hajinya berlaku untuk dirinya. Secara umum, bahwa orang yang belum melaksanakan haji fardhu, tidak dibolehkan menghajikan orang lain. Kalau dia lakukan, maka ihramnya menjadi haji fardhu (untuk dirinya). Ini adalah pendapat Auza’i, Syafi’i dan Ishaq."
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سمع رجلا يقول : لبيك عن شبرمة . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شبرمة ؟ قال : قريب لي . قال : هل حججت قط؟ قال : لا . قال : فاجعل هذه عن نفسك , ثم احجج عن شبرمة
"Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mendengar seseorang mengatakan, ‘Labbaik ‘an Subrumah (Kami tunaikan haji untuk Subrumah)’. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapa Subrumah? Dia menjawab, ‘Kerabatku.’ Beliau bertanya, ‘Apakah anda pernah haji?' Dijawab, ‘Belum.' Maka beliau bersabda, ‘Jadikan haji ini untuk diri anda, kemudian berhajilah untuk Subrumah.’ (HR. imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah)
Kalau hal ini benar adanya, maka biaya hajinya harus dikembalikan, karena berarti orang yang dihajikan dianggap belum menunaikan haji, maka seperti orang yang belum menunaikan haji."
(Al-Mughni, 3/102)
Dengan demikian, maka haji anda yang pertama berubah untuk anda, maka anda harus mengembalikan kepada pemiliknya. Atau anda haji tahun ini untuknya. Kalau tidak mampu, maka bayarlah biaya (kepada orang lain) untuk menghajikannya.
Ketiga,
Tidak dibolehkan menghajikan orang lain dengan niat hanya mengambil uang. Akan tetapi maksud haji adalah dapat sampai ke tempat suci dan berbuat baik kepada saudaranya yang dihajikan.
Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Menghajikan (orang lain) telah ada dalam sunah. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang wanita, "Sesungguhnya haji diwajibkan kepada para hamba-Nya. Sementara ayahku mendapatkannya dalam kondisi sudah tua. Tidak mampu naik kendaraan. Apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?" Beliau menjawab, ‘Ya."
Adapun masalah menghajikan orang lain dengan imbalan, kalau tujuan seseorang untuk mendapatkan imbalan, maka syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa yang menghajikan orang lain agar mendapatkan imbalan, maka diakhirat dia tidak mendapatkan –bagian- apa-apa. Adapun kalau dia mengambil dana agar dapat haji, maka hal itu tidak mengapa."
Maka seyogyanya bagi yang menghajikan (orang lain) niat untuk membantu orang yang dihajikannya. Diniatkan juga untuk memenuhi keinginan orang tersebut. Karena orang yang minta dihajikan sangat membutuhkannya, dia akan senang ketika mendapatkan orang yang dapat menggantikan tempatnya. Maka hendaknya dia nikatkan hal itu untuk berbuat baik kepadanya dalam menunaikan ibadah haji. Sehingga menjadi niat yang baik."
(Liqo Bab Maftuh, 89/ soal.6)
Beliau rahimahulla menambahkan, "Sangat disayangkan sekali, kebanyakan orang yang menghajikan orang lain, tujuannya hanya sekedar ingin mendapatkan uangnya saja. Hal ini haram baginya, karena ibadah tidak boleh dijadikan oleh seseorang sebagai sarana mendapatkan dunia semata.
Allah Ta’ala berfirman,
(مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ . أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ)
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Hud: 15-16)
Firman Allah lainnya,
"Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat." (QS. Al-Baqarah: 200)
Maka Allah tidak akan menerima ibadah dari seorang hamba yang niatnya bukan karena Allah. Sungguh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah menjaga tempat-tempat ibadah sebagai tempat mengais (materi) dunia semata, maka beliau bersabda;
إذا رأيتم من يبيع أو يبتاع في المسجد ، فقولوا : لا أربح الله تجارتك
"Kalau kalian melihat orang berjualan atau membeli di masjid, maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan terhadap perniagaan anda'."
Kalau menjadikan tempat ibadah sebagai tempat mengais (rezki) didoakan jelek agar Allah tidak memberikan keuntungan terhadap perniagaanya. Bagaimana lagi yang menjadikan ibadah itu sendiri menjadi lahan mengais (rizki) dunia seakan-akan haji untuk dagangan atau sebagai pekerjaan formal untuk membangun rumah, atau mendirikan dinding.
Ada orang yang menghajikan (orang lain) menimang dan melihat uang sedikit, lantas berkata, ini tidak cukup, tTolong ditambah. Saya diberi si fulan segini atau si fulan memberiku untuk haji segini atau ucapan semisal itu yang merubah ibadah menjadi (pekerjaan) formal dan materi. Oleh karena itu, para fuqoha Hanbali rahimahumullah dengan tegas mengatakan bahwa menyewa seseorang untuk menghajikan tidak sah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa yang haji untuk dapat mengambil unag, maka di akhirat dia tidak mendapatkan bagian. Akan tetapi kalau dia mengahajikan dengan tujuan agama seperti agar dapat memmberi manfaat kepada saudaranya agar dapat melaksanakan haji atau dengan maksud (dapat) menambah ketaatan, doa dan zikir di tempat mulia. Maka hal ini tidak mengapa. Ini adalah niat yang benar."
Orang yang menggantikan haji hendaknya mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala. Niatnya adalah melaksanakan keinginannya beribadah di sekitar baitullah, berzikir dan berdoa. Disertai dengan menunaikan kebutuhan saudaranya dengan menghajikannya. Hendaknya dia menjauhi niat rendah dengan maksud mengais harta. Kalau tidak ada niat kecuali mengais harta, maka dia ketika itu tidak dihalalkan menghajikan orang lain. Kapan saja dia menghajikan orang lain dengan niat benar, maka semua dana yang diambil boleh untuknya. Kecuali kalau dia mensyaratkan untuk mengembalikan sisanya."
(Dari kitab Ad-Diyau Al-Lami Min Khutobil Jami, 2/477)
Wallahu’alam .