Alhamdulillah.
Pertama:
Bukan termasuk sunnah, juga tidak termasuk petunjuk (Nabi), mengulang-ulang umrah dalam satu perjalanan. Tidak untuk dirinya, juga tidak untuk orang lain. Prinsip dasarnya, satu kali umrah dalam satu perjalanan (safar). Siapa yang bepergian untuk umrah dilaksanakan sekali dalam perjalanannya ini, tidak dianjurkan mengulang-ulang untuk dirinya. Kecuali kalau dia keluar dari Mekkah untuk bepergian kemudian dia kembali lagi.
Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah dalam umrahnya satu kalipun melaksanakannya dengan cara keluar dahulu dari Mekkah, sebagaimana yang dilakukan olah banya orang sekarang. Akan tetapi umrah semuanya adalah umrah orang yang sedang masuk ke Mekkah. Beliau tinggal di Mekkah setelah mendapatkan waahyu selama tiga belas tahun, tidak dinukil dari beliau melaksanakan umrah dengan cara keluar dari Mekkah selama waktu tersebut. Umrah yang dilaksanakan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dimulai adalah umrah orang yang sedang memasuki Mekkah. Tidak dimulai dari Mekkah kemudian keluar ke tanah halal dan berumrah darinya. Tidak pernah seorang pun melaksanakan di masa beliau, kecuali Aisyah sendiri di antara orang yang bersama beliau. Karena pada awalnya, beliau telah berniat umrah kemudian datang haid, Sehingga (Nabi) memerintahkan kepadanya untuk memasukkan haji ke dalam umrah sehingga menjadi haji qiran. Dan beliau memberitahukan bahwa thawaf di Ka’bah dan antara Shofa dan Marwah sudah termasuk untuk haji dan umrah. Maka dia merasa ada yang sesuatu yang kurang, karena para shahabat wanita lainnya pulang dengan melaksanakan haji dan umrah secara terpisah –karena mereka tamattu tidak haid dan tidak digabungkan (qiran)- sedangkan dia pulang dengan pelaksanaan haji dan umrah menjadi satu. Sehingga Nabi memerintahkan saudaranya untuk mengantarkannya umrah dari Tan’im untuk menghibur hatinya. Sementara (saudaranya sendiri) tidak melaksanakan umrah dari Tan’im dalam pelaksanaan ibadah haji itu begitu juga orang-orang yang bersamanya.” (Zaadul Ma’ad, 2/89, 90).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Sebagian orang datang dari tempat yang jauh ke Mekkah dengan tujuan umrah, kemudian mereka berumrah dan tahallul. Kemudian mereka pergi ke Tan’im untuk menunaikan umrah lagi, maksudnya dalam satu safar (perjalanan) menunaikan beberapa kali umrah, bagaimana hal ini?
Maka beliau menjawab, “Barokallahu fik (semoga Allah memberkati anda), ini termasuk bid’ah dalam agama Allah. Kerena tidak ada orang yang lebih bersungguh-sungguh dibanding Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dengan para shahabat. Sebagaimana yang kita ketahui semua, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam masuk Mekkah ketika menaklukannya, di akhir Ramadhan dan tinggal Sembilan belas hari di Mekkah. Selama itu beliau tidak keluar ke Tan’im untuk berihram umrah, begitu juga para shahabat. Maka mengulang-ulang umrah dalam satu perjalanan termasuk bid’ah.” (Liqa Al-Bab Al-Maftuh, 121/28).
Syekh Al-Albany rahimahullah mengatakan, “Ihram umrah dari Tan’im, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah, ini adalah hukum khusus untuk Aisyah dan orang yang seperti (kondisi Aisyah). Saya sebut umrah dari Tan’im ini sebagai umrahnya orang haid. Hal itu karena Aisyah radhillahu anha ketika keluar bersama Nabi sallallah alaihi wa sallam melaksanakan haji dalam haji wada telah berihram untuk umrah (tamattu). Ketika sampai di suatu tempat dekat Mekkah, yang dikenal dengan nama 'Saraf’ Rasulullah sallahu alahi wa sallam masuk (ke kamar) Aisyah dijumpainya sedang menangis. Beliau bertanya kepadanya, “Kenapa engkau menangis, apakah engkau datang bulan?" Beliau menjawab, “Ya Wahai Rasulullah." Nabi sallalahu alaihi wa sallam berkata, “Ini masalah yang telah Allah tentukan bagi wanita keturunan Adam, lakukan apa yang dilakukan jamaah haji, melainkan anda tidak boleh thawaf di Ka’bah dan tidak boleh shalat." Sehingga dia tidak thawaf dan tidak shalat sampai bersih di Arofah. Kemudian dia mengikuti semua rangkain manasik haji secara sempurna. Ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berniat kuat kembali ke Madinah. Rasulullah sallallahu’alaihi wa salam masuk ke tenda Aisyah, didapatinya dia sedang menangis. Beliau bertanya,”Ada apa?" Beliau menjawab, “Kenapa dengan saya, orang-orang pulang dengan melaksanakan haji dan umrah, sementara saya pulang hanya dengan melaksanakan haji tanpa umrah. Hal itu karena dia haid sehingga umrahnya dijadikan satu dengan haji. Hanya melaksanakan haji saja (ini adalah pendapat Syekh Al-Albany rahimahullah. Sementara para ulama lainnya memilih bahwa Aisyah melaksanakan haji qiran bukan ifrad). Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam merasa kasihan dengannya, maka Nabi memerintahkan saudaranya Abdurrahman bin Abu Bakar As-Siddiq untuk menemaninya dengan membawa unta keluar ke Tan’im (untuk melaksanakan umrah). Maka (Aisyah) melakukannya hingga kembali melaksanakan umrah sehingga hatinya telah lapang. Oleh kerena itu kita katakan, “Orang yang kondisinya seperti yang dialami oleh Aisyah di kalangan para wanita, yaitu mengalami haid dalam kondisi umrah dan tidak mampu menyempurnakan umrahnya, sehingga dirubah umrahnya ke haji, lalu umrah yang terlewat diganti dengan cara yang sama sesuai ajaran Allah lewat lisan Rasul-Nya kepada Aisyah. Maka wanita haid seperti ini beloh pergi ke Tan’im dan melaksanakan umrah. Sementara para lelaki, Alhamdulillah tidak ada yang haid. Maka tidak ada hukum haid baginya. Dalilnya seperti yang dikatakan sebagian ulama dalam sejarah dan kondisi para shahabat, dimana sekitar seratus ribu shahabat haji bersama Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tidak ada seorang pun yang datang melaksanakan umrah seperti yang dilakukan oleh Aisyah radhiallahu anha.”
Maka tidak dianjurkan orang yang berada di dalam Mekkah keluar ke Tan’im untuk melaksanakan umrah. Akan tetapi yang dianjurkan adalah kalau dia keluar dari Mekkah karena suatu keperluan, seperti keluar ke Madinah, Jeddah atau Thaif. Kemudian ingin kembali lagi ke Mekkah, maka tidak mengapa jika kembali dia melaksanakan umrah.
Boleh jadi ada keringanan bagi orang yang berada di Mekkah untuk keluar menuju Tan’im untuk melaksanakan umrah untuk orang lain, apabila dia datang dari tempat yang jauh sekali, yang membutuhkan visa dan dana besar untuk dapat masuk kembali ke Mekkah dan Madinah dan dia tidak tahu, apakah dimudahkan atau tidak (untuk bisa kembali ke Mekkah)? Orang seperti ini, bisa dapat keringanan umrah dari Tan’im untuk orang lain. Sementara orang yang mudah (ke Mekkah) maka jangan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan baik untuk dirinya atau untuk orang lain.
Kedua,
Umrah untuk orang lain dibolehkan, kalau orang lain tersebut lemah karena tua renta, sakit yang tidak ada harapan sembuh atau sudah meninggal dunia. Dengan syarat orang yang akan mengumrahkan itu telah melaksanakan umrah untuk dirinya.
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya, “Saya ingin umrah ke Baitullahilharam, saya ingin setelah saya menunaikan umrah, saya melaksanakan umrah untuk kedua orang tuaku –keduanya masih hidup – dan untuk nenek dan kakekku keduanya sudah meninggal dunia semoga Allah merahmatinya – apakah cara seperti ini benar atau tidak?"
Mereka menjawab, “Kalau anda telah melaksanakan umrah untuk diri anda, maka anda dibolehkan mengumrahkan untuk ibu dan bapak anda kalau keduanya lemah karena tua renta atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Sebagaimana anda dibolehkan mengumrahkan untuk kakek dan neneknya yang telah meninggal dunia.”
Fatawa Al-Lanah Ad-Daimah, 11/80, 81. Sebagai tambahan silahkan merujuk jawaban soal no 111501.
Wallahu a'lam .