Alhamdulillah.
Pertama:
Para ulama berbeda pendapat, apakah sahnya thawaf disyaratkan menghilangkan najis atau tidak?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hal itu disyaratkan. Sedangkan ulama kalangan mazhab Hanafi menyatakan tidak disyaratkan.
An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’ (8/23), "Telah kami sebutkan bahwa mazhab kami mensyaratkan thaharah dari hadats dan najis (untuk thawaf). Pendapat seperti itu juga dinyatakan oleh Malik dan oleh Al-Mawardi dinyatakan sebagai pendapat jumhur ulama. Ibnu Munzir juga menyatakan bahwa suci dari hadats (untuk thawaf) merupakan pendapat ulama secara umum. Abu Hanifah memiliki pendapat sendiri dalam masalah ini dengan berkata, "Thaharah dari hadats dan najis bukan merupakan syarat thawaf. Jika seseorang thawaf sedangkan padanya terdapat najis, atau dia berhadats atau junub, maka thawafnya sah." (Lihat Al-Mughni, 3/186)
Kedua:
Siapa yang thawaf di Baitullah, kemudian setelah selesai dia mengetahui bahwa dia thawaf dalam keadaan ada najis, apakah najisnya di badannya atau di bajunya, maka thawafnya sah dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Berdasarkan hadits Abu Said berikut ini.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Kafi, 1/510, "Dari Imam Ahmad, tentang orang yang melakukan thawaf ziyarah (ifadah) dalam keadaan lupa bersuci hingga dia pulang, maka hajinya sah dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Ini menunjukkan bahwa hal itu (kewajiban bersuci dalam thawaf) gugur karena lupa. Demikian pula halnya dengan masalah suci dari najis. Karena ini merupakan ibadah yang tidak disyaratkan istiqbal di dalamnya. Maka dia tidak disyaratkan di dalamnya, seperti sai dan wuquf."
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Al-Kafi, "Seandainya seseorang thawaf dengan kain najis, maka thawafnya tidak perlu diulang. Jika lupa dan tidak tahu, perkaranya sudah jelas. Adapun jika sengaja, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu."
Para ahli fiqih rahimahullah telah merinci masalah ini dalam Bab Shalat. Mereka menyebutkan bahwa siapa yang shalat dengan baju najis, dan tidak tahu adanya najis hingga selesai shalat, maka shalatnya sah. Demikian pula halnya dikatakan dalam masalah thawaf. Siapa yang thawaf, kemudian setelah selesai thawaf mengetahui adanya najis dalam bajunya, maka thawafnya sah menurut jumhur ulama.
An-Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’, 3/163
"Pasal: Tentang berbagai mazhab para ulama, siapa yang shalat dengan najis karena lupa atau tidak tahu, kami sebutkan bahwa yang paling shahih menurut mazhab kami adalah wajib diulang. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Abu Qilabah dan Ahmad. Adapun jumhur ulama berkata, 'Tidak diulangi." Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Munzir dari Ibnu Umar, Ibnu Musayyab, Thawus, Atha, Salim bin Abdullah, Mujahid, Asy-Sya'bi, An-Nakhai, Az-Zuhri, Yahya Anshari, Auzai, Ishaq, Abu Tsaur. Ibnu Munzir; 'Pendapat ini yang saya ambil, ini adalah mazhab Rabiah dan Malik dan inilah yang kuat berdasarkan dalil. Maka inilah pendapat yang dipilih."
Dalil dari pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Said radhiallahu anhu, dia berkata,
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا (رواه أبو داود، رقم 650 ، وصححه الشيخ الألباني في صحيح أبي داود، 3/221)
"Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat melihatnya, merekapun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, 'Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?' Mereka berkata, 'Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.' Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya Jibril shallallahu alaihi wa sallam mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada keduanya terdapat kotoran. Dan dia berkata, 'Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya." (HR. Abu Daud, no. 650. Dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud, 3/221)
Seandainya shalat batal karena adanya najis sedangkan orang tidak tahu, niscaya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan mengulangi shalatnya. Ketika beliau tidak mengulangi shalatnya, menunjukkan bahwa shalat tidak batal jika ada najis apabila orangnya tidak tahu akan keberadaannya atau lupa. Demikian pula hal ini berlaku dalam thawaf.
Kesimpulannya: Thawaf anda sah, apakah najisnya mengenai baju saat thawaf atau sesudahnya.
Wallahua'lam.