Rabu 13 Rabi'uts Tsani 1446 - 16 Oktober 2024
Indonesian

Kewalian Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu-

139054

Tanggal Tayang : 16-01-2016

Penampilan-penampilan : 15009

Pertanyaan

Apakah kholifah Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- termasuk wali ? , sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa Ali:
( وليكم من بعدي )
“Dia adalah sebagai wali kalian setelah aku” atau
( أنا مِن عَلِي ، وعَلِيٌّ مني )
“Saya dari Ali dan Ali dariku”
Apakah yang demikian itu benar ?, Apakah Ali, Fatimah, Husain dan Hasan kedudukan mereka sama dengan para Nabi dan bukan dengan para Rasul ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- menurut ahlus sunnah wal jama’ah termasuk di antara para wali yang mulia dan salah satu dari imam yang menjadi panutan, beliau juga sebagai kholifah yang ke empat dari khulafa rasyidin, juga sebagai orang keempat yang dijamin masuk surga, mereka semua adalah para sahabat yang paling mulia –radhiyallahu ‘anhum-, keutamaan-keutamaan dan biografi beliau sangat sulit untuk dibatasi, sehingga sebagian ulama kita telah mengarang buku khusus tentang hal itu, seperti Imam Ahmad bin Hambal dalam bukunya “Manaqib Ali bin Abi Thalib” dan Imam Nasa’i dalam bukunya “Khashaish Ali”.

Kedua:

Di antara keutamaan-keutamaan ini adalah:

Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

( أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ ) رواه البخاري (رقم/2699

“Kamu dari aku dan aku darimu”. (HR. Bukhori: 2699)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rhimahullah- berkata:

“Yaitu; dalam hal nasab, perbesanan, berlomba-lomba (dalam kebaikan), cinta, dan lain sebagainya dari semua keistimewaan”. (Fathul Baari: 7/507)

Di antara keutamaan-keutamaan yang lain adalah:

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imron bin Husain –radhiyallahu ‘anhu- bahwa dia berkata:

(بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشًا ، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ ، فَمَضَى فِي السَّرِيَّةِ ، فَأَصَابَ جَارِيَةً ، فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ ، وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا : إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِيٌّ .وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنْ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ ، فَلَمَّا قَدِمَتْ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ أَحَدُ الْأَرْبَعَةِ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ : أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا ؟! . فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَامَ الثَّانِي فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ ، ثُمَّ قَامَ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ، ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا .فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ :مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ ، مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ ، مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ ، إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِي . رواه أحمد (33/154) طبعة مؤسسة الرسالة ، والترمذي (رقم/3712)

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengutus pasukan, dan menunjuk Ali bin Abi Tholib sebagai pimpinan pada sebuah pasukan, dan beliau mendapatkan seorang budak (yang masih perawan), kemudian mereka mengingkari Ali, maka ada empat orang dari para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah berjanji dan mengatakan: “Jika kami bertemu dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kami akan memberitahukan apa yang telah dikerjakan oleh Ali”.

Pada masa itu umat Islam jika baru datang dari bepergian, mereka mendahulukan untuk bertemu dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mereka pun memberi salam kepada beliau, kemudian baru mereka pergi ke rumah masing-masing. Pada saat pasukan tersebut datang, mereka semua memberi salam kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya salah satu dari empat orang tersebut berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, tidak kah engkau memperhatikan Ali bin Abi Thalib bahwa dia telah berbuat ini dan itu…?!.

Maka beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpaling dari orang tersebut, kemudian orang yang kedua juga berdiri dan berkata dengan ucapan yang sama, maka beliau juga berpaling darinya, lalu orang yang ketiga pun berdiri dengan ucapan yang sama, kemudian orang yang keempat juga mengatakan hal yang sama.

Seraya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menghampiri mereka dengan wajah yang nampak marah:

“Apa yang kalian inginkan dari Ali, Apa yang kalian inginkan dari Ali, Apa yang kalian inginkan dari Ali…?!, sungguh Ali itu berasal dari saya dan saya berasal darinya, dan dia lah wali dari semua orang mukmin setelahku”. (HR. Ahmad: 33/154, cetakan Muassatur Risalah dan Tirmidzi: 3712, dan banyak lagi yang lainnya, mereka semua berasal dari jalur Ja’far bin Sulaiman berkata; “ini diriwayatkan dari Yazin Ar Rusyki, dari Mutharriq bin Abdullah, dari Imron bin Husain”. Adz Dzahabi –rahimahullah- berkata: “Dia termasuk merupakan orang-orang jalurnya Ja’far”. (Siyar A’lam Nubala’: 8/199)

Ulama kita telah berbeda pendapat tentang hukumnya hadits tersebut menjadi dua pendapat:

Pertama: Menerima hukumnya hadits tersebut

Tirmidzi berkata:

“Ini adalah hadits hasan dan gharib, kami tidak mengetahui kecuali dengan jalur ini, yaitu; dari jalur Ja’far bin Sulaiman”.

Al Hakim berkata:

“Hadits tersebut adalah shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim”. Dan Imam Adz Dzahabi mendiamkannya. (Al Mustadrak: 3/119)

Dishahihkan juga oleh Ibnu Hibban dengan meriwayatkannya di dalam kitab Shahihnya (15/374)

Ibnu ‘Adiy –rahimahullah- berkata:

“Abu Abdirrahman an Nasa’i memasukkannya ke dalam kitab shahihnya, dan tidak dimasukkan oleh Imam Bukhori”. (Al Kamil: 2/146)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sanadnya kuat”.  (Al Ishobah: 4/596)

Dan dishahihkan oleh Albani di dalam Silsilah Shahihah: 2223.

Alasan mereka mengatakan hadits tersebut shahih adalah “Karena banyak dari para ulama menyatakan bahwa Ja’far bin Sulaiman Adh Dhab’i (tsiqah) termasuk yang dapat dipercaya, dan mereka juga mendapatkan dua orang saksi lainnya untuk hadits tersebut, keduanya adalah dari Ibnu Abbas dalam Musnad Ahmad: 1/330 dan di dalam Musnad ath Thayalisi: 4/470 cetakan Hajar dengan bantuan Syeikh Abdul Muhsin At Turki dan di dalam sanadnya ada Abu Balaj yang masih menjadi diperdebatkan. Saksi yang kedua adalah dari hadits Buraidah bin Hushaib dalam Musnad Ahmad: 38/118 dan di dalam sanadnya ada Ajlah bin Abdullah al Kindi dia adalah orang Syi’ah dan lemah, dan diriwayatkan juga oleh lebih dari satu orang selain Buraidah yang tidak ada redaksi tersebut, termasuk juga ada di dalam Shahih al Bukhori: 4350.

Kedua: Melemahkan hadits tersebut.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Hadits tersebut adalah dusta dan maudhu’ sesuai dengan kesepakatan para ulama hadits”. (Minhaj Sunnah an Nabawiyah: 7/385)

Para pentahqiq (peneliti) dari Musnad Ahmad cetakan Muassatur Risalah telah melemahkannya.

Penyebab mereka melemahkan hadits tersebut adalah bahwa Ja’far bin Sulaiman adh Dhob’i meriyatkannya sendirian, karena Yahya bin Sa’id al Qaththan melemahkannya. Abdurrahman bin Mahdi tidak merasa nyaman dengan haditsnya. Al Bukhori –rahimahullah- berkata tentang hadits tersebut: “Sebagian haditsnya diperselisihkan”. Ali bin Al Madini berkata: “Haditsnya lebih banyak yang diterima, dan sisanya adalah manakiir (mungkar)”. Ibnu Sa’d berkata: “Sebelumnya dia tsiqah (bisa diterima), namun ada yang lemah”, hal itu bisa dilihat pada Tahdzib at Tahdzib: 2/97”.

Ketika para ahli hadits melakukan ijma’ bahwa dia sebelumnya adalah seorang penganut syi’ah yang ekstrim, mencela Mu’awiyah, maka pada saat itu sebagian dari para ulama melemahkan haditsnya yang diriwayatkan olehnya sendirian, karena orang seperti dia tidak bisa diterima jika meriwayatkan hadits sendirian, terlebih hadits yang diriwayatkan olehnya dalam hal ini memperkuat bid’ahnya, inilah pernyataan yang kami lebih cenderung kepadanya dalam hadits-hadits tentang fadhilah amal.

Ketiga:

Kalau misalnya hadits tersebut kita anggap shahih dan bisa diterima, maka tidak ada yang bisa menunjukkan -baik dari sisi dekat maupun jauh- sesuai dengan keinginan syi’ah tentang penetapan kepemimpinan Ali –radhiyallahu ‘anhu- setelah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia, hal itu bisa dilihat dari beberapa sisi:

1.Bahwa kata “Wali” mempunyai banyak arti dalam bahasa Arab, maka dengan dalil mana orang Syi’ah mengkhususkan arti wali tersebut dengan khilafah (kepemimpinan). Al Fairuz Abadi –rahimahullah-: “Al Walyu” artinya kedekatan dan hujan setelah hujan. “Wali” yang mencintai, teman, penolong. “Waliya Syai’a / ‘ala syai – wilayah wa walayah” artinya adalah langkah, kepemimpinan dan penguasa. “Al Wala’”  adalah raja. “Al Maula” yang memiliki, hamba sahaya, hamba yang memerdekakan, yang dimerdekakan, teman, kerabat seperti anaknya paman atau yang lainnya, tetangga, yang bersumpah, anak laki-laki, paman dari jalur bapak, tamu, kolega, anak laki-laki dari saudari perempuan, wali, Rabb, penolong, pemberi nikmat, yang diberi nikmat, yang mencintai, yang mengikuti, kerabatnya suami atau istri”. (al Qamus al Muhith: 1732)

2.Jika maksud dari hadits tersebut adalah kepemimpinan dan khilafah maka kenapa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( ولي كل مؤمن بعدي )

            “Sebagai wali Setiap mukmin setelahku”

Dan Ali –radhiyallahu ‘anhu- menjadi kholifah bagi siapa saja yang hidup pada masanya, dan tidak menjadi amir (pemimpin) bagi setiap orang mukmin sampai hari kiamat.

3.Telah disebutkan di dalam beberapa riwayat hadits dengan redaksi:

( ولي كل مؤمن في الدنيا والآخرة ) " مسند أحمد " (5/179):

“Setiap orang yang beriman menjadi wali (pemimpin) di dunia dan akherat”. (Musnad Imam Ahmad: 5/179)

Redaksi tersebut menafikan bahwa arti dari “wali” di sini adalah kepemimpinan, maka bagaimana akan menjadi amir mukiminin di akhirat ?!.

4.Kami belum pernah mendengar dari Ali –radhiyallahu ‘anhu-, tidak juga dari salah seorang pendukungnya, bahkan tidak juga dari salah seorang dari para sahabat yang mulia menjadikan hadits tersebut hujjah (alasan) sebagai penetapan khilafah kepada Ali –radhiyallahu ‘anhu- setelah wafatnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Maka makna yang benar menurut kalimat ini adalah kedekatan cinta, pertolongan dan penguatan, bahwa mencintai Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- bagi setiap orang mukmin adalah wajib, demikian juga menolong dan menguatkannya dalam kebenaran.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Perkataannya: "هو ولي كل مؤمن بعدي" (Dia adalah wali bagi setiap orang mukmin setelahku) adalah bentuk kedustaan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena dia adalah wali bagi setiap orang mukmin baik semasa hidup Nabi maupun setelah beliau meninggal dunia, wali setiap mukmin itu semasa hidup dan setelah meninggalnya, maka al wilayah (Kedekatan) yang bermakna lawan kata dari al ‘adawah (permusuhan) tidak hanya berkaitan dengan waktu tertentu, sedangkan al wilayah yang berarti al Imarah (kepemimpinan) maka seharusnya dikatakan: "والي كل مؤمن بعدي ) (Pemimpin bagi setiap orang mukmin setelahku), sebagaimana yang dikatakan pada shalat jenazah: “Jika telah berkumpul wali (kerabat) dan waali (pemimpin), maka didahulukan pemimpin menurut pendapat yang mayoritas, namun sebagian berpendapat didahulukan kerabat”.

Maka perkataan seseorang: “علي ولي كل مؤمن بعدي” adalah ucapan yang tidak boleh disandarkan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena jika dia ingin berarti “Muwalah” (kedekatan) maka tidak perlu kata “setelahku”, dan jika yang dia inginkan adalah “Imarah” (kepemimpinan) maka seharusnya dia mengatakan “Waali” bagi setiap mukmin”. (Minhajus Sunnah: 7/278)

Baca juga jawaban soal nomor: 26794.

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Pada ucapan tersebut tidak menunjukkan dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah khilafah; karena maula seperti wali, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا )،

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman…”. (Al Maidah: 55)

dan di dalam firman-Nya yang lain:

( وإن تظاهرا عليه فإن الله هو مولاه وجبريل وصالح المؤمنين والملائكة بعد ذلك ظهير (

“…dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (QS. At Tahrim: 4)

Dia (Alloh) menjelaskan bahwa Rasul adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman, dan mereka juga mawali (pelindung) nya, sebagaimana Alloh menjelaskan bahwa Alloh adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman, dan mereka adalah para penolong, dan bahwa orang-orang yang beriman menjadi penolong bagi sebagian mukmin lainnya, al muwalah (kedekatan) lawan kata dari al mu’adah (permusuhan), adalah penetapan (posisi) pada kedua sisi, meskipun salah satu dari keduanya lebih agung dari yang lainnya, maka wilayah (kedekatannya) berarti pemberian kebaikan dan keutamaan, dan dari wilayah (kedekatan) dari sisi yang lain berarti ketaatan dan ibadah, sebagaimana Alloh mencintai orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang beriman mencintai-Nya, maka al muwalah (kedekatan) lawan kata dari permusuhan, penyerangan dan penipuan. Orang-orang kafir tidak mencintai Alloh dan Rasul-Nya, mereka menentang dan memusuhi Alloh dan Rasul-Nya, Alloh –Ta’ala- telah berfirman:

( لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء(

“janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. (Al Mumtahanah: 1)

Dia (Alloh) memberi mereka pahala karena itu, sebagaimana dalam firman-Nya:

( فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله(

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”. (QS. Al Baqarah: 279)

Dia (Alloh) adalah wali (pelindung) bagi orang-orang yang beriman dan Dia dalah maula (pelindung) bagi mereka, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, jika demikian maka maksud dari bahwa Alloh adalah wali dan maula dari orang-orang yang beriman dan Rasul juga menjadi wali dan maula mereka dan Ali juga menjadi maula mereka adalah kedekatan (kecintaan) yang menjadi lawan kata dari permusuhan.

Orang-orang yang beriman saling tolong-menolong kepada Alloh dan Rasul-Nya dengan muwalah (kedekatan) yang menjadi lawan kata dari saling bermusuhan. Ini merupakan hukum yang tetap bagi setiap mukmin, sedangkan Ali –radhiyallahu ‘anhu- termasuk mereka yang beriman yang menolong mereka dan mereka juga menolongnya.

Pada hadits tersebut menunjukkan penetapan imannya Ali dalam batinnya, dan menjadi saksi bahwa beliau berhak untuk ditolong baik secara dzahir dan batin, hal ini menjawab apa yang dikatakan oleh musuh-musuhnya dari kalangan Khowarij dan Nawashib, akan tetapi hal itu tidak menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak mempunyai maula kecuali dia saja, bagaimana hal itu terjadi padahal Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga mempunyai maula (para penolong), mereka adalah orang-orang mukmin yang shaleh, maka Ali juga mempunyai maula (para penolong), mereka juga orang-orang yang beriman yang berwala kepadanya, dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

( إن أسلم وغفارا ومزينة وجهينة وقريشا والأنصار ليس لهم مولى دون الله ورسوله

“Sesunggunya Aslam, Ghaffar, Muzanah, Juhainah, Quraisy dan Anshar mereka tidak mempunyai maula (penolong) selain dari pada Alloh dan Rasul-Nya”.

Dia (Alloh) menjadikan mereka sebagai mawali (para penolong) Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana Dia menjadikan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, sedangkan Alloh dan Rasul-Nya sebagai penolong mereka.

Secara umum, bedakan antara wali, maula dan yang serupa dengannya (penolong) dengan waali (pemimpin), maka bab wilayah yang menjadi lawan kata dari permusuhan adalah sesuatu, dan wilayah yang berarti imarah (kepempinan) adalah sesuatu yang lain. Hadits tersebut menunjukkan arti yang pertama dan bukan yang kedua, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak bersabda: “Barang siapa yang saya menjadi waalinya (pemimpinnya) maka Ali menjadi waalinya (pemimpinnya)” akan tetapi redaksi haditsnya adalah:

من كنت مولاه فعلي مولاه

“Barang siapa yang saya menjadi maula (penolongnya) maka Ali juga menjadi maula (penolongnya)”.

Inilah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah yang berari khilafah, karena bahwa dia sebagai wali dari setiap orang mukmin adalah sifat yang tetap baginya semasa hidup Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- hukumnya tidak berubah sampai beliau meninggal dunia, sedangkan khilafah maka tidak bisa menjadi kholifah kecuali setelah beliau meninggal dunia, maka bisa dikenali perbedaan dari keduanya.

Dan jika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri, pada masa hidup beliau dan setelah beliau meninggal dunia sampai hari kiamat, maka jika dia menjadikan seseorang kholifah pada beberapa urusan semasa hidup beliau atau jika dianggap telah menunjuk kholifah pada beberapa urusan semasa hidupnya atau setelah wafatnya yang dikuatkan dengan dalil dan ijma’, maka dia lebih berhak dengan khilafah tersebut dan dengan semua orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri, maka tidak serta merta selain beliu menjadi lebih utama bagi setiap mukmin dari pada diri mereka sendiri, apa lagi terjadi pada masa hidup beliau –shallallahu  ‘alaihi wa sallam-. Adapun bahwa Ali dan lainnya menjadi maula bagi setiap orang mukmin maka hal itu merupakan sifat yang tetap bagi Ali pada masa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih hidup dan setelah beliau meninggal dunia, dan setelah Ali meninggal dunia sekali pun, maka saat ini pun Ali menjadi maula bagi setiap mukmin, sekarang beliau tidak berpaling dari manusia, demikian juga semua orang-orang yang beriman sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam keadaan hidup maupun sudah meninggal dunia”. (Minhajus Sunnah an Nabawiyah: 7/322-325)

Keempat:

Adapun klaim bahwa Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain –radhiyallahu ‘anhum- sederajat dengan para Nabi, maka klaim merupakan bentuk kedustaan yang batil, bahkan termasuk kekafiran yang menghancurkan akidah Islam; karena bertentangan dengan ijma’ para ulama bahwa derajat para Nabi tidak akan bisa diraih oleh selain dari para Nabi, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ ) الحج/75.

“Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al Hajj: 75)

Para Rasul dan para Nabi mereka adalah pilihan dari semua makhluk Alloh, dan barang siapa yang mengklaim selain dari pada itu maka perlu diminta dalilnya, tidak akan ada seseorang yang bisa menetapkan bahwa Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sama dengan derajat para Nabi kecuali dengan kedustaan, penyimpangan, membuat hadits-hadits dan riwayat palsu.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Barang siapa yang berlebih-lebihan sikapnya kepada para wali atau yang dinamakan wali Alloh, atau yang dinamakan keluarga Alloh, atau mereka yang disebut dengan para hakim, atau para ahli filsafat atau yang lainnya yang tidak jauh berbeda dengan nama-nama para Nabi, menjadikan mereka sama dengan para Nabi atau lebih baik dari para Nabi, maka wajib di istitaab (dikurung agar bertaubat), jika dia tidak mau maka dibunuh”. (Ash Shafdiyah: 1/262)

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahullah- berkata:

“Barang siapa yang meyakini bahwa selain dari para Nabi lebih utama dari mereka atau menyamai derajat para Nabi, maka dia telah menjadi kafir. Pendapat itu disarikan dari ijma’ sebagian para ulama, maka mana ada sisi kebaikan pada suatu kaum yang keyakinan mereka mewajibkan untuk tidak diimani”. (Risalah fi Ra’dd ‘ala Rafhidhah: 29) .

Baca juga: “Al Fashlu fil Milal wal Ahwa’ an Nihal: 4/21)

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam