Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Mengapa Tidak Kita Sebutkan Pernyataan Shahih Dari Syekh Al-Albany Dalam Masalah Keutamaan Nisfhu Sya’ban?

Pertanyaan

Ketika anda menjawab tentang pertanyaan seputar keshahihan hadits Abu Musa “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyaksikan pada setiap malam Nisfhu Sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh hambaNya kecuali orang yang musyrik dan berselisih.” Lalu anda menjawabnya, baarokallahu fiikum. Akan tatapi anda tidak menyebutkan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al-Albany, sebagaimana saya baca di sebagian situs. Saya sangat percaya sekali dengan manhaj anda dan amanah ilmiah anda.
Pertanyaan saya, apakah benar Syekh Al-Albany menyatakan shahih hadits ini? Karena anda menyebutkan dalam jawaban anda fatwa dari Syekh Al-Albany rahimahullah, mengapa anda tidak menyebutkannya di sini? Apakah memang beliau tidak menyatakan demikian? Atau apakah yang terdapat di beberapa situs itu tidak benar? Atau bagaimana? Perlu diketahui, pernyataan shahih tersebut terdapat dalam Shahih Al-Jami, hadits no. 1819.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kami ucapkan terimakasih atas kepercayaan anda terhadap kami. Kami berharap semoga situs ini memberi manfaat bagi kaum muslimin dan membalas orang yang bekerja di dalamnya dengan balasan kebaikan.

Umum diketahui bahwa dalam masalah penetapan shahih lemahnya sebuah hadits, kami biasanya kami berpedoman dengan pendapat Syekh Al-Albany. Akan tetapi kadang kami mencari ketetapan tersebut dari ulama lain selain Syekh Al-Albany rahimahullah dan kami kuatkan hal tersebut dalam hadits-hadits tertentu. Kadang berdasarkan prinsip-prinsip kajian kami menguatkan untuk tidak mengikuti Syekh Al-Albany rahimahullah dalam sebuah hadits. Boleh jadi kami melihat terkenalnya ketetapan Syekh Al-Albany dalam sebuh hadits dan sedikitnya orang yang menentangnya, maka kami sebutkan hukumnya dan kami beri komentar. Kadang kami lihat banyaknya orang yang menentang ketetapan Syekh Al-Albany, maka kami tidak terlalu memperhatikan untuk menyebabkan ketetapan beliau mengomentarinya serta cukup dengan mengutip pendapat-pendapat berbeda dari sejumlah ulama.

Bagian kedua inilah yang terjadi pada kami saat kami tidak menyebutkan penetapan Syekh Al-Albany rahimahullah. Karena kami telah mengutip pendapat Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah tentang dilemahkannya hadits tentang keutamaan nisfu Sya’ban oleh mayoritas ulama hadits.

Di samping itu, perlu kami berikan catatan penting bahwa Syekh Al-Albany rahimahullah berpendapat tentang dhaifnya sanad hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu anhu! Hal ini sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan bahwa sanadnya dhaif. Akan tetapi hal ini tidak kami kutip dari beliau karena beliau berpendapat bahwa hadits ini secara keseluruhan jalur perriwayatnya menjadi shahih.

Beliau rahimahullah berkata, “Adapun hadits Abu Musa, diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah juga dari Zubair bin Salim dari Dhahak bin Abdurrahman dari bapaknya, dia berkata, “Aku mendengar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam riwayat semacam itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 1390 dan Ibnu Abi Ashim Allaalikai,

Aku berkata, “Sanad hadits ini dhaif karena ada Ibnu Lahi’ah dan Abdurrahman, dia adalah Ibnu Arzab, ayahnya Adh-Dhahak adalah orang yang tidak dikenal, Ibnu Majah menggugurkannya dalam riwayatnya dari Ibnu Lahi’ah.

As-Silsilah Ash-Shahihah, 3/218

Syekh Al-Albany rahimahullah telah menyebutkan jalur-jalur hadits tersebut dan riwayat-riwayat penguatnya dalam kitabnya As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1144 lalu menyudahinya dengan kesimpulan tentang keshahihan teks hadits Abu Musa radhiallahu anhu.

Akan tetapi kami tidak menguatkan apa yang disebut oleh Syekh Al-Albany rahimahullah dan kami tidak berpendapat bahwa jalur-jalur periwayatan tersebut menguatkan satu sama lain.

Kami sudahi jawaban ini dengan pernyataan dari Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah tentang “Hukum Merayakan Malam Nisfu Sya’ban”, berikut pendapatnya;

“Yang disepakati oleh jumhur ulama adalah bahwa merayakannya termasuk bid’ah dan bahwa hadits-hadits terkait dengan keutamaannya termasuk hadits lemah, sebagiannya adalah maudhu’ (palsu). Termasuk yang memperingkan hal ini adalah Al-Hafiz Ibnu Rajab dalam kitabnya “Latha’iful Ma’arif” .

 Inilah yang kami kuatkan. Persoalan menshahihkan atau melemahkan hadits dalam perkara ini termasuk bab ijtihad yang dilakukan oleh para ulama mana yang lebih kuat menurutnya. Sedangkan para penuntut ilmu cukup mengikuti apa yang menurutnya lebih kuat di antara pendapat para ulama, bukan dinilai dari sisi pengingkaran terhadap orang yang berbeda pendapat.

Perhatikan jawaban soal pada no. 113687 di dalamnya terdapat point penting seputar Syekh Al-Albany.

Wallahua’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam