Rabu 5 Jumadil Ula 1446 - 6 November 2024
Indonesian

Sikap Terhadap Orang Yang Mencela Shahabat Mulia Muawiyah Bin Abu Sufyan radhiallahu anhu

140984

Tanggal Tayang : 25-04-2014

Penampilan-penampilan : 22589

Pertanyaan

Saya membaca tulisan bahwa Mu’aiyah adalah sebab terbunuhnya Ahlulbait. Karena itu saya merasa benci kepadanya. Bagaimana dia berasalan menjadi raja selain Ahlulbait? Bagiku, tidak peduli apakah dia punya amal saleh atau tidak. Hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam sudah jelas, yaitu tentang wanita yang beramal saleh, tapi niatnya buruk. Maka beliau bersabda, “Dia di neraka.” Karena itu saya mengira perkaranya juga dapat diterapkan terhadap Mu’awiyah dan Yazid. Saya juga berpendapat bahwa orang yang melaknatnya benar. Sedangkan saya pribadi tidak melaknatnya, karena itu bukan ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apakah saya dapat diberitahu, apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Mu’awiyah dan Yazid serta Ahlulbait?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Tidak diragukan lagi wahai penanya, bahwa anda telah keliru. Beberapa pernyataan anda mengandung kekeliruan yang banyak dan besar. Yang tampak, anda tidak membaca kitab-kitab Ahlussunnah atau mendengar ucapan mereka. Tampaknya sumber bacaan dan pendengaran anda berasal dari kalangan Syiah rafidhah dan semacamnya. Karena itu anda terjerumus pada kekeliruan.

Saya akan mendampingi anda dengan kajian ilmiah, mohon anda perhatikan baik-baik dan ambil manfaatnya. Terima kasih atas kepercayaan anda terhadap situs kami ini; 

1.Anda telah mengumpulkan antara “Mu’awiyah bin Abu Sufyan” dan anaknya “Yazid” dalam hukum yang sama. Ini kekeliruan besar dan hukum yang zalim. Mu’awiyah adalah shahabat Nabi yang agung, ahlussunnah memohon ridha Allah untuknya. Dia tidak membunuh Ahlulbait tidak juga berperang  dengan mereka. Berbeda dengan anaknya, Yazid, dia bukan shahabat. Pada zaman kekhalifannya lah terjadi pembunuhan terhadap Husain radhiallahu anhu dan keluarganya yang bersama dengannya. Di antara ahlussunnah ada yang melaknatnya. Perndapat pertengahan adalah bahwa kita tidak mencintainya, namun juga tidak mencacinya. Lihat rincian pembahasan dalam masalah ini dalam jawaban soal no. 14007

2.Mu’awiyah merupakan shahabat agung, raja mulia, dia adalah penulis wahyu dan termasuk para fuqoha, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Abbas. Para pemuka ulama Ahlussunah pun bersaksi bahwa beliau memiliki keutamaan dan sikap adil.

a.Abdullah bin Mubarak rahimahullah pernah ditanya tentang siapakah yang lebih utama, Mu’awiyah bin Abu Sufyan ataukah Umar bin Abdulaziz? Beliau menjawab, ‘Demi Allah, debu yang masuk di hidung Mu’awiyah saat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lebih utama seribu kali dibanding Umar (bin Abdulaziz). Mu’awiyah shalat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu tatkala beliau membaca ‘Sami’allahu liman hamidah’ Mu’awiyah menjawab, ‘Rabbanaa wa lakal hamdu’ Apalagi kemuliaan sesudah itu?

(Lihat ‘Wafayatul A’yan, Ibnu Khalikan, 3/33)

b.Dari Jarah Al-Maushily, dia berkata, “Aku mendengar seseorang bertanya Al-Mu’afa bin Imran, dia berkata, ‘Wahai Abu Mas’ud, lebih utama mana Umar bin Abdulaziz dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan?’ Aku melihat beliau (Mu’afa) sangat marah dan berkata, ‘Para shahabat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak boleh dibandingkan dengan seorang pun (dengan yang bukan shahabat). Mu’awiyah radhiallahu anhu adalah penulis Alquran, shahabatnya, mertuanya dan orang kepercayaan Nabi atas wahya Allah Azza wa Jalla.” (Asy-Syari’ah Lil Aajiri, 5/2466-2467)

c.Dari A’masy, dia mendengar orang-orang menyebutkan keadilan Umar bin Abdulaziz. Maka dia berkata, ‘Apalagi kalau kalian mengetahui Mu’awiyah?’ Mereka berkata, ‘Wahai Abu Muhammad, maksud engkau dalam hal kecerdikannya?’ Dia menjawab, ‘Tidak, justeru dalam hal keadilannya.”

(As-Sunnah, Al-Khallal, 1/437)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Mu’awiyah pernah ditunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menjadi pemimpin, sebagaimana beliau menunjuk yang lainnya, dia ikut berjihad bersamanya, orang yagn dipercaya menulis wahyu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak meragukannya dalam menulis wahyu. Umar bin Khattab yang dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang kualitas seseorang juga memberikan kepercayaan kepadanya, dan Umar juga dikenal sebagai orang yang diberikan kebenaran oleh Allah dalam lisan dan hatinya. Beliau tidak meragukannya dengan jabatannya. (Majmu Al-Fatawa, 4/472)

3.Vonis anda terhadap Mu’awiyah radhiallahu anhu bukanlah hukum syar’i. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan fitnah yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah radhiallahu anhuma. Dia bersaksi bahwa mereka sebagai dua kelompok beriman dan benar. Meskipun persaksiannya terhadap Ali dan orange-orang yang bersamanya lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi beliau tidak menyatakan bahwa Mu’awiyah dan orang-orang yang bersamanya sebagai kelompok yang bathil. Mereka hanya berijtihad dalam menuntu hak-hak mereka, yaitu menuntut agar para pelaku pembunuhan terhadap Utsman radhiallahu anhu segera dihukum.

a. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَقْتَتِلَ فِئَتَانِ دَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ

“Tidaklah kiamat terjadi sebelum kedua kelompak saling berperang, tuntutan keduanya satu.” (HR. Bukhari, noi. 3413 dan Muslim, no. 157)

d.Dari Abu Said Al-Khudry dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

“Akan ada sebagian kaum muslimin yang keluar saat terjadi perpecahan, akan diperangi oleh kelompok yang lebih dekat dengan kebenaran di antara kedua kelompok tersebut.”

(HR. Muslim, no. 1064)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata,

Hadits shahih ini merupakan dalil bahwa kedua kelompok yang saling berperang tersebut; Ali dan kelompoknya dengan Mu’awiyah dan kelompoknya berada dalam kebenaran dan bahwa Ali serta kelompoknya lebih dekat kepada kebenaran dibanding Mu’awiyah dan kelompoknya. Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah yang membunuh mereka yang keluar dan mereka adalah kaum Khawarij yang awalnya mereka adalah dari kelompok Ali kemudian keluar darinya dan mengkafirkannya serta mengkafirkan orang-orang yang menjadi pengikutnya, lalu mereka umumkan permusuhan dan memeranginya dan orang-orang yang bersamanya.

Majmu Fatawa, 4/467

Ibnu Katsir berkata, “Hadits ini merupakan tanda-tanda kenabian, karena kejadiannya sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi sa wallam. Didalamnya juga terdapat kesimpulannya bahwa kedua kelompok tersebut dihukumi sebagai Islam; Penduduk Syam dan penduduk Irak. Tidak seperti tuduhan kaum rafidhah (syiah) dan orang-orang bodoh yang mengkafirkan penduduk Syam. Didalamnya juga terdapat pelajaran bahwa di antara kedua kelompok tersebut, pengikut Ali lebih dekat kepada kebenaran. Ini merupakan pendapat Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu bahwa yang benar adalah Ali, sedagkan Mu’awiyah berijtihad (dan keliru), maka dia tetap mendapat pahala insya Allah. Akan tetapi, Ali adalah pemimpin, baginya dua pahala. Sebagaimana terdapat riwayat shahih dari Imam Bukhari dari hadits Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر

“Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Jika dia berijtihad lalu dia keliru, maka dia mendapat satu pahala.” (Al-Bidayah Wan Nihayah, 7/310)

4.Mu’awiyah memerangi Ali bukan demi khilafah dan kerajaan. Tapi untuk menuntut agar pembunuh Utsman segera dihukum. Sedangkan Ali bin Thalib berpendapat bahwa hal itu belum dapat dilakukan kecuali jika pemerintahan telah kokoh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Mu’awiyah tidak menuntut kekuasaan dan dia dibai’at saat memerangi Ali dan dia tidak memeranginya dengan keyakinan bahwa dirinya adalah khalifah juga tidak meyakini bahwa dirinya berhak atas kekhalifahan. Hal itu diakui semua orang. Mu’awiyah pun menyatakan hal tersebut kepada siapa yang menanyakan hal itu. Bahkan Mu’awiyah tidak berkehendak memulai peperangan melawan Ali dan pengikutnya, dan nyatanya hal itu tidak mereka lakukan. Akan tetapi, ketika Ali radhiallahu anhu dan para pengikutnya berpandangan bahwa mereka wajib taat dan berbaiat kepadanya, karena tidak mungkin bagi seorang muslim kecuali memiliki satu khalifah dan bahwa mereka telah keluar dari ketaatan dari sisi ini dan mereka adalah penguasa, maka mereka berpandangan untuk memerangi Muawiyah dan pegikutnya untuk menunaikan kewajiban tersebut agar mereka tunduk dan jamaah terjaga.

Mereka berkata bahwa mereka tidak wajib bersikap demikian, dan jika mereka diperangi, maka mereka adalah pihak yang dizalimi. Mereka berkata, ‘Karena Utsman dibunuh dengan zalim berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sedangkan pembunuhnya berada di antara pengikut Ali sedangkan mereka kini memiliki kekuasaan dan kekuatan. Jika kami tidak mnggugatnya, mereka akan menzalimi kami dan aniaya kepada kami sedangkan Ali tidak mungkin mencegah mereka sebagaimana dia tidak dapat membela Utsman. Kami hanya akan berbaiat kepada khalifah yang mampu bersikap adi kepada kita dan berupaya untuk adil.”

(Majmu Fatawa, 35/72,73)

Mu’awiyah tidak pernah mengumumkan permusuhan terhadap Ahlulbait, bahkan tidak juga menyimpan kebencian terhadap mereka. Sikapnya sebagaimana shahabat lainnya yang menghormati Ahlulbait dan menempatkan mereka pada tempat yang layak. Ibnu Katsir telah mengutip dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah (8/133) dari Mughirah, dia berkata, “Saat datang berita kepada Mu’awiyah bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap Ali, dia menangis dan berkata kepada isterinya, ‘Mengapa kamu menangisinya, bukankah engkau telah memeranginya?” Dia berkata, “Kamu tidak tahu, orang-orang kini telah kehilangan keutamaan, fiqih dan ilmu.”

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Lalu Al-Hasan dibai’at, kemudian dia menyerahkan khilafah kepada Mu’awiyah, sementara ada para shahabat lainnya ada yang lebih mulia darinya, tanpa ada khilaf, ada yang mengeluarkan harta dan berperang sebelum fathu Mekah, namun semua mereka, dari awal hingga akhir, telah berbai’at kepada Mu’awiyah dan setuju dengan kepemimpinannya. Ini merupakan ijmak yang telah diyakini setelah ijmak tentang bolehnya kepemimpinan orang yang tidak lebih utama. Hal ini telah diyakini dan tidak ada keraguan padanya, hingga akhirnya terjadi, orang yang tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala, mereka merusak ijmak dengan pandangan mereka yang rusak. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Al-Fishal Fil Milal Wal Ahwa Wan-Nihal, 4/127

5.Adapun ucapan anda, ‘Atas alasan apa dia menjadi raja selain Ahlulbait?” Telah kami sebutkan bahwa tidak diharuskan orang yang menerima tampuk pemerintahan khalifah sebagai orang yang paling baik. Bahkan boleh orang yang tidak lebih baik memegang kekuasaan walaupun ada yang lebih baik dari dia. Kemudian, Ahlulbait bukanlah orang yang paling mulia. Di sisi lain, perkara yang terjadi pada Mu’awiyah radhiallahu anhu berbeda, karena Al-Hasan bin Ali, dan dia adalah Ahlulbait, mengundurkan diri dan menyerahkan khalifah kepada Mu’awiyah radhiallahu anhu, lalu para shahabat semuanya berbaiat kepadanya, di antara mereka terdapat seluruh Ahlulbait. Maka dengan demikian terwujudlah ramalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang memuji Al-Hasan bahwa dia adalah orang yang mendamaikan di antara dua kelompok kaum muslimin.

Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu, suatu hari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajak Al-Hasan, lalu dia naik ke mimbar kemudian berkata:

ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ )رواه البخاري ، رقم  3430 ، ورواه مطولاً ، رقم 2557 ) .

‘Anakku ini adalah pemimpin, Allah akan mendamaikan dengannya kedua kelompok kaum muslimin.” (HR. Bukhari, noi. 3430, dan dia riwayatkan panjang lebar, no. 2557)

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran; -Salah satu tanda-tanda kenabian, -Catatan kebaikan Hasan bin Ali, karena dia meninggalkan kekuasaan bukan karena miskin atau hina atau sakit, tapi karena keinginannya untuk mendapatkan ridha Allah demi mencegah terjadinya pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin. Maka dia memelihara urusan agamanya dan kebaikan bagi umat.

Di dalamnya juga terdapat bantahan terhadap kalangan khawarij yang mengkafirkan Ali dan para pengikutnya serta Mu’awiyah dan para pengikutnya berdasarkan persaksian Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang kedua kelompok bahwa mereka adalah kaum muslimin.

Di dalamnya juga terdapat dalil dibenarkannya kepemimpinan orang yang tidak lebih utama untuk mendudukan kedudukan khalifah walaupun ada orang yang lebih utama darinya, karena ketika Al-Hasan dan Mu’awiyah memegang tampuk khalifah, Saad bin Abi Waqash dan Said bin Zaid masih hidup, sedangkan keduanya adalah orang yang ikut perang Badar. Demikian dikatakan oleh Ibnu An-Tin.

Di dalamnya juga terdapat dalil bahwa seorang khalifah boleh mencopot jabatannya sendiri jika dia pandang hal itu bermanfaat bagi kaum muslimin.

(Fathul Bari, 13/66-67)

Bagi anda wahai penanya, hendaknya anda meninjau kembali vonis anda terhadap Mu’awiyah radhiallahu anhu dan ketahuilah bahwa apa yang anda katakan terhadapnya adalah kezaliman itu sendiri. Sesungguhnya Mu’awiyah memiliki kedudukan dan keutamaan yang telah kami sebutkan sebagiannya yang telah kami terima dari para ulama ini. Jangan kira bahwa ada seorang dari Ahlussunnah menyetujui sikap anda tersebut terhadap shahabat yang mulia ini. Tidak ada yang tersisa pada anda, kecuali anda bertaubat atas ucapan anda dan menempatkan shahabat yang mulia ini sesuai kedudukannya. Sebab dia adalah sebaik-baik raja kaum muslimin dan melaluinya serta pada masa kekuasaannya Allah Ta’ala menundukkan berbagai negeri dan berbondong-bondong orang masuk agama Allah.

Kami mohon kepada Allah Ta’ala semoga Dia memberi anda hidayah pada kebenaran dan menjadikan anda sebagai orang yang mendapatkan petunjuk.

Kami anjurkan anda untuk membaca;

1.Syubhat dan kebatilan seputar Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu anhuma,

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=12255

2.Pembelaan terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhu.

http://vb.islam2all.com/showthread.php?t=11502

3.Berita dan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhu

http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=32&book=2249

4.Hadits-hadits Nabi tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan,

http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=12&book=2157

5.Amirul Mukminin, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad Malullah. Ini kitab penting yang pengarang kumpulkan dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, lalu dia susun dan dia beri komentar.

Kami juga anjurkan anda membaca Kitab Ibnul Arabi Al-Maliki, ‘Al-Awashim Minal Qawashim’ dan kitab ‘Minhajussunnah An-Nabawiyah’ Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.

Lihatlah jawaban soal no 45563 tentang hukum membenci shahabat radhiallahu anhum.

Wallahua’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam