Rabu 5 Jumadil Ula 1446 - 6 November 2024
Indonesian

Penetapan Nama Allah Berdasarkan Hakikat, Bukan Majaz (Kiasan)

151794

Tanggal Tayang : 23-01-2013

Penampilan-penampilan : 18301

Pertanyaan

Saya guru bahasa Arab. Dari selera sastra saya dan kajian saya tentang majaz (kiasan) dan perumpamaan (kinayah), saya menilai bahwa sebagian ayat-ayat sifat lebih layak dita'wil daripada ditetapkan. Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala, "Tangan Allah di atas tangan mereka", maksudnya di sini adalah berkuasa, mengalahkan. Saya memandang bahwa maknanya bukanlah tangan secara hakikat. Demikian pula dengan firman Allah Ta'ala "Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami." (QS. Ath-Thuur: 48)

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Keyakinan yang benar dibangun di atas ketetapan Al-Quran dan Sunah berdasarkan pemahaman salafushaleh dari kalangan para shahabat, tabiin dan para imam terpercaya. Mereka semua sepakat bahwa sifat milik Allah yang tertera dalam Kitab dan Sunah ditetapkan tanpa takyif (dirinci bagaimananya) tanpa tamtsil (diserupakan dengan makhluk), tanpa ta'thil (digugurkan/tidak diakui)  dan tanpa ta'wil (dicarikan makna lainnya di luar makna bahasanya). Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara sifat dzat, sifat maknawiyah, sifat khabar dan logika. Maka, seluruh berita yang shahih tentang-Nya, wajib ditetapkan milik Allah Ta'ala.


Al-Quran dan Sunah diturunkan untuk mengenalkan kepada para hamba tentang sifat-sifat dzat yang mereka sembah. Hal ini tidak dapat terwujud kecuali memahami perkataan berdasarkan hakikatnya, sebagaimana halnya tersebut merupakan landasan dalam pembicaraan. Al-Quranul Adzim telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan lafaz dan maknanya. Tidak ada satu huruf pun yang dikutip dari beliau bawah ada sifat-sifat yang selayaknya atau seharusnya ditakwil, atau bahwa yang dimaksud bukanlah zahirnya, atau bahwa sifat tersebut boleh diserupakan dengan makhluk, atau ungkapan semacam itu yang sering dilontarkan oleh pendukung ta'thil dan ta'wil. Ini merupakan sikap yang mencederai Al-Quran, juga mencederai Rasulullah yang diperintahkan untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Karena, jika apa yang mereka sebutkan benar-benar ada, niscaya beliau wajib menjelaskannya dan tidak boleh menyembunyikannya. Bagaimana hal itu dapat terjadi, padahal terdapat sejumlah hadits shahih yang disepakati keshahihannya yang menetapkan sifat-sifat tersebut, ditambah lagi dengan sifat-sifat yang lain, seperti 'turun' 'kaki', 'tertawa', 'gembira', tanpa disertai satu kalimat pun yang mengalihkan makna kalimat tersebut dari makna zahirnya dan tanpa ada seorang shahabat pun yang merasa aneh dari maknanya yang zahir dan logis. Seandainya zahir kalimat tersebut mengandung makna cacat atau menyerupai (Allah dengan makhluk), dan hal itu tidak mungkin terjadi pada Al-Quran dan Sunah, niscaya beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) sudah memperingatkannya, dan niscaya para shahabat sudah merasa aneh dengannya, sementara mereka dikenal orang yang sangat kuat berpegang pada kebaikan dan sangat menggemari serta komitmen padanya. 

Ketika berbagai bid'ah bermuncuan, lalu ada yang mengatakan, "Sesungguhnya sifat-sifat tersebut bukan hakikat, akan tetapi majaz (kiasan), sebagaimana ucapan Jahmiah, Mu'tazilah dan siapa yang setuju dengan mereka, maka para tokoh ulama salaf menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah adalah hakikat, bukan majaz. Pandangan mereka seperti itu sangat banyak dan masyhur. Akan kami kutipkan di sini sejumlah ucapan mereka. Di antaranya;

1- Imam Utsman bin Said Ad-Darimy rahimahullah (280 H) berkata, "Kami telah mengetahui, alhamdulillah, dari bahasa Arab bentuk-bentuk kiasan (majaz) yang mereka jadikan landasan dengan keliru dari orang-orang bodoh yang dengan itu mereka menafikan hakikat sifat-sifat dengan alasan bahwa sifat-sifat itu adalah majaz (kiasan). Maka kami katakana, "Jangan hukumi sebuah kalimat dengan makna lain dalam bahasa Arab sebagai makna asal. Akan tetapi kita pahami dengan makna asal hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata tersebut adalah maknanya yang lain. Inilah mazhab yang adil dan lebih dekat pada kebenaran. Jangan sampai menolak sifat-sifat Allah yang telah dikenal dan diterima oleh mereka yang berpandangan lurus, namun kita alihkan maknanya dengan alasan majaz." (Naqdu Ad-Darimi Ala Bisyri Al-Muraisy, 2/755)

2- Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah (310H) berkata, "Jika ada ada seseorang yang bertanya kepada kami, 'Mana yang benar dalam masalah makna sifat-sifat yang telah disebutkan, sebagian dinyatakan dalam wahyu (Al-Quran) dan sebagian dinyatakan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?' Ada yang mengatakan bahwa pendapat yang benar di kalangan kami tentang masalah ini adalah; Kita menetapkannya sebagai hakikat sebagaimana yang kita ketahui, baik dari sisi itsbat (penetapan) ataupun nafy tasybih (tidak menyerupai)  sebagaimana hal itu ditiadakan oleh Allah Ta'ala sendiri, "Tidak ada suatupun yang menyerupainya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)." Hingga beliau berkata, "Maka semua makna yang terkandung dalam sifat-sifat yang telah kami sebutkan bersumber dari khabar (hadits) dan Al-Quran, kami tetapkan sebagaimana dipahami secara akal, yaitu dengan menetapkan hakikatnya dan meniadakan keserupaan. Maka kami katakan: Allah yang maha Agung mendengar suara-suara, bukan dengan gendang telinga, atau dengan anggota tubuh seperti bani Adam. Demikian pula, Dia meihat makhluknya dengan penglihatan yang tidak menyerupai penglihatan bani Adam yang menjadi anggota tubuh mereka. Dia memiliki dua tangan dan jari jemari, akan tetapi dia bukan anggota tubuh. Dia adalah kedua tangan yang selalu terbentang dengan nikmat yang diberikan kepada makhluk-Nya, tidak digenggam untuk menahan kebaikan. Dia memiliki wajah yang tidak seperti anggota tubuh bani Adam yang terdiri dari daging dan darah. Kami katakan, Dia tertawa terhadap makhluknya yang Dia kehendaki. Tidak kita katakan bahwa tawanya seperti makhluk jahat yang bertaring. Dia  turun di setiap malam ke langit dunia." (At-Tabshir fi Ma'alimiddin, hal. 141-145)

3- Imam Abu Ahmad bin Muhamad bin Ali bin Muhammad Al-Karji, lebih dikenal dengan sebutan Al-Qashshab rahimahullah (360H) berkata dalam Al-I'tiqad Al-Qadiri yang ditulis untuk Amirul Mukminin Al-Qadir bi Amrillah, tahun 433H yang direkomendasi oleh para ulama saat itu dan kemudian risalah Al-Qadiriah ini diisi ke penjuru negeri: "(Allah) tidak disifati kecuali dengan sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau sifat yang telah ditetapkan oleh nabi-Nya. Sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya adalah hakikat, bukan sifat majaz. Seandainya sifat-sifat itu majaz, maka dia harus ditakwil. Maka harus dikatakan, 'Makna bashar (melihat) adalah begini, makna 'sam'u' (mendengar) adalah begitu... dan harus ditafsirkan dengan sesuatu yang terpikirkan oleh pemahaman sebelumnya. Karena mazhab salaf menetapkan sifat-sifat Allah tanpa takwil, maka dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dipahami sebagai majaz (kiasan), akan tetapi dia merupakan hakikat yang jelas." (Dikutip dari kitab Al-Muntazam, Ibnu Jauzi dalam Al-Muntazam dalam kejadian tahun 433, Siyar A'lam An-Nubala, 16/213)

4- Imam Al-Hafiz Abu Abdillah Muhamad bin Ishaq bin Mandah (395H) dalam hal menetapkan kedua tangan milik Allah Ta'ala, dia berkata, "Bab tentang firman Allah Ta'ala, "Apa yang mencegahmu untuk sujud kepada (Adam) yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku" (QS. Shaad: 75), kemudian dia menyebutkan dengan dalil-dalil yang dikemukakan dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan Adam alaihissalam dengan kedua tangan secara hakikat."

Dia berkata dalam hal menetapkan wajah bagi Allah Ta'ala, "Bab firman Allah Ta'ala, " Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah." (QS. Al-Qashash: 88) Beliau menyebutkan berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa sifat itu adalah hakikat." (Ar-Rad alal-Jahmiyah, 68-94) 

5- Imam Hafiz Al-Maghrib Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abdul Barr Al-Andalusy Al-Qurthuby Al-Maliky (463 H), "Hak sebuah kalimat adalah dipahami sebagai hakikat hingga umat sepakat bahwa yang dimaksud adalah majaz. Karena tidak ada jalan untuk mengikuti apa yang diturunkan kepada kita dari Tuhan kita kecuali dengan cara seperti itu. Hanya saja, Kalamullah Azza wa Jalla dipahami dengan makna yang sudah dikenal dari berbagai sisi, selama tidak ada halangan dari hal tersebut yang menuntut adanya penyerahan diri. Seandainya pengakuan majaz dibuka kepada siapa saja, maka tidak akan ada satupun kata yang dapat ditetapkan. Allah maha Agung, Dia menyampaikan firman-Nya dengan apa yang dipahami oleh bangsa Arab dalam kebiasaan pembicaraan mereka dan maknanya dianggap benar oleh orang yang mendengarnya. Istiwa dalam sudah diketahui dan dapat dipahami maknanya dari segi bahasa, yaitu tinggi di atas sesuatu serta kokoh serta mantap padanya."

Dia berkata dengan mengutip kesepatakan (ijmak) Ahlussunnah tentang hal itu, "Ahlussunnah sepakat menetapkan seluruh sifat yang dinyatakan dalam Al-Quran dan Sunah serta mengimaninya. Kemudian memahaminya berdasarkan hakikat, bukan berdasarkan majaz. Hanya saja mereka tidak merinci bagaimananya sedikitpun serta tidak menentang sifat-sifat yang sudah tertentu. Adapun ahi bid'ah dan Jahmiyah, mu'tazilah serta khawarij, mereka seluruhnya mengingkarinya dan tidak memahaminya sebagai hakikat. Mereka menuduh bahwa siapa yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah berarti dia menyerupai Allah dengan makhluk. Mereka menafikan sifat-sifat yang ditetapkan oleh mereka yang menetapkannya, bahwa itu ada pada dzat yang disembah. Yang benar adalah apa yang dikatakan  dalam Kitabulah dan sunah rasul-Nya. Mereka adalah para imam jamaah (kaum muslimin), alhamdulillah." (Tamhid, 7/131-145)

6. Imam Al-Hafiz Az-Zahabi, seteleh menukil ucapan Al-Qashshab sebelumnya, berkata, 'Seandainya sifat-sifat tersebut bermakna majaz, niscaya dia akan batal sebagai sifat-sifat Allah. Akan tetapi, sesungguhnya dia adaah sifat bagi yang disifati, dia ada dan bersifat hakikat, bukan majaz. Sifat-sifat-Nya bukan majaz. Seandainya Allah tidak ada yang menyerupainya dan tidak ada yang menandinginya, maka sifat-sifat tersebut harus tidak ada yang menyerupainya dan tidak ada yang menandinginya."

Beliau juga berkata tatkala berkomentar atas ucapan Ibnu Abdul Barr sebelumnya, "Demi Allah, beliau telah benar. Karena siapa yang menta'wil seluruh sifat dan kemudian menggiringnya kepada makna majaz dalam perkataan, maka tindakan tersebut berarti menggugurkan rabb (Tuhan), atau menyerupainya dengan sesuatu yang tidak ada. Sebagaimana dinukil dari Hamad bin Zaid, bahwa dia berkata, 'Seperti Jahmiah. Seperti sebuah kaum mereka berkata, 'Di rumah kami ada pohon kurma' Lalu dikatakan kepadanya, 'Apakah ada pelepahnya?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki bunga?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki ruthab (kurma mentah)?' Mereka berkata, 'Tidak' Lalu ditanyakan lagi, 'Apakah dia memiliki batang?' Mereka berkata, 'Tidak'. Maka dikatakan kepadanya, 'Kalau begitu yang ada di rumah kalian bukanlah pohon kurma." (Al-Uluww, hal. 239)

Kutipan dalam masalah ini cukup banyak. Perhatikan kitab 'Al-Asyaa'irah fii Mizan Ahlissunnah, oleh Syekh Faishal bin Quzaz Al-Jasim. Di dalamnya terdapat kutipan yang sangat banyak dari kalangan salaf.

Syeh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna ayat, 'Tangan Allah di atas tangan mereka.' (QS. Al-Fath: 10)

Ayat ini juga harus dipahami sesuai zahir dan hakikatnya. Karena tangan Allah di atas seluruh tangan orang-orang yang berbai'at. Karena tangannya termasuk sifat-Nya. Dia berada di atas mereka di Arasy-Nya. Maka tangannya di atas tangan mereka. Ini merupakan zahir dan hakikat lafaz tersebut. Hal itu untuk menguatkan bahwa orang-orang yang berbaiat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hakikatnya dia sedang berbaiat kepada Allah Azza wa Jalla. Hal itu tidak harus berarti bahwa tangan Allah yang langsung membai'at mereka. Bukankah anda memahami jika dikatakan 'Langit di atas kami' padahal langit jauh di atas kita. Maka tangan Allah di atas tangan para shahabat yang berbaiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sementara kedudukannya berbeda dan lebih tinggi di atas mereka." (Al-Qawa'idul Mutsla, yang terdapat dalam kitab kumpulan fatwa beliau, 3/331)

Adapun firman Allah  (فإنك بأعيينا) sebagian salaf menafsirkan dengan makna 'Sesungguhnya engkau dalam pemantauan kami.' Ini merupakan penafsiran yang telah menjadi kelaziman (tafir billazim). Maka ayat tersebut menetapkan adanya sifat melihat dan mata.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Syarh Al-Washitiyah, 'Jika ada yang berkata, 'Dengan apa engkau menafsirkan (بـ) dalam firman-Nya (بأعيننا)?

Kami katakan, 'Kami menafsirkannya (huruf بـ) sebagai mushahabah (mendampingi). Jika anda mengatakan (أنت بعيني) maksudnya adalah bahwa mataku selau mendampingimu dan melihatmu, tidak pernah luput. Maka makna ayat tersebut artinya, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berkata kepada Nabi-Nya, 'Bersabarlah menyampaikan hukum Allah, karena Kami selalu meliputi engkau dengan perhatian dan pengihatan Kami kepadamu dengan mata, agar engkau tidak mendapatkan celaka dari seseorang."

Dan tidak mungkin (بـ) dalam kalimat ini diberi makna 'kata tempat' (ظرفية), karena jika demikian, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada 'di mata Allah'. Itu mustahil.

Begitu juga, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, disampaikan demikian tatkala beliau berada di muka bumi. Jika kalian mengatakan bahwa beliau berada di mata Allah, maka berarti petunjuk Al-Quran itu dusta. Sebelum itu beliau berkata, 'Jika ada yang mengatakan, 'Di antara salaf ada yang menafsirkan firman Allah Ta'ala (بأعيننا) dengan ucapan, 'berdasarkan penglihatan kami.' Penafsiran seperti itu dilakukan oleh para imam salaf yang terkenal, sedangkan kalian mengatakan bahwa merubah makna diharamkan dan dilarang. Apa jawabannya?

Jawabnya adalah bahwa mereka menafsirkannya dengan kelaziman dengan tetap mengakui asalnya, yaitu mata. Pihak yang merubah makna berkata, 'Dengan pemeliharaan Kami' tanpa mereka menetapkan mata (bagi Allah). Sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah berkata, makna (بأعيننا) adalah 'Dengan pemeliharaan Kami' dengan tetap meyakini sifat 'mata' (bagi Allah)." (Majmu Fatawa Syekh Utsaimin, 8/264)


Syekh Shaleh Al Syekh, hafizahullah berkata, "(فإنك بأعيننا) maknanya adalah 'Sesungguhnya engkau berada dalam pemeliharaan dan pandangan Kami, dipelihara dan dilindungi."

Ini merupakan penafsiran salat tentang ayat tersebut. Hal tersebut karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukan berada di mata Allah yang menjadi sifat-Nya, akan tetapi dia berkata dalam pendampingan 'mata-mata' Allah, yang dia akibat dari kedua mata Allah yang menjadi sifat-Nya."

Karena itu, Ahlussunah ketika menafsirkannya dengan makna demikian, mereka menganggapnya sebagai bab 'tadhammun' (maknanya terkandung dalam sebuah kata). Tadhammun merupakan salah satu petunjuk sebuah lafaz. Karena sebuah lafaz memiki beberapa petunjuk; Dengan penyesuaian (muthabaqah), mengambil makna yang terkandung di dalamnya (tadhammun) dan kelaziman (luzuum).

Mereka berkata, 'Maknanya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berada dalam pengihatan, penjagaan dan pemeliharaan dari Allah Azza wa Jalla. Hal tersebut karena makna itu yang terkandung dalam firman-Nya (بأعيننا).

Dengan demikian, ini bukan termasuk takwil sebagaimana tuduhan orang yang tidak mengerti. Tapi ini termasuk bab tadhamun. Tadhammun merupakan petunjuk sebuah kata dalam bahasa Arab yang jelas.

Para salaf berkata, 'Hal ini dengan tetap meyakini adanya dua mata (bagi Allah). Karena kalangan salaf, kadang menafsirkannya dengan tadhammun, atau kadang dengan kelaziman, kemudian ada yang mengira bahwa itu adalah bentuk takwil. Pendapat ini keliru. Karena tadhammun ada satu hal, sedangkan kelaziman adalah hal lain. Dan itu semua merupakan petunjuk sebuah lafaz. Adapun takwil, artinya dia menghapus petunjuk dari sebuah lafaz." (Syarh Wasithiyah).

Dari penjelasan sebelumnya, jelaslah bahwa kedua ayat tersebut bersifat hakikat. Di dalamnya terdapat penetapan 'tangan' dan 'mata'. Tidak masalah menafsirkan ayat tersebut dengan makna kelaziman dan keterkandungan (lazim dan tadhammun), tanpa menafikan sifat yang disebutkan dalam masalah tersebut. Inilah yang tampaknya anda rasakan sesuai dengan selera sastra anda, maksudnya adalah makna umum yang tak lain merupakan makna keterkandungan dan kelaziman dari lafaz tersebut. Akan tetapi merupakan kekeliruan kalau hal tersebut dikatakan sebagai majaz yang dapat berakibat menafikan sifat dari Allah Ta'ala atau menafikan petunjuk dari nash tersebut.

Wallahua'lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam