Alhamdulillah.
Kami memuji Allah Taala atas nikmatnya kepada anda berupa hidayah Islam, kami memohon semoga kita diberi keteguhan di dalam agamanya, agama yang haq.
Jika seorang wanita masuk Islam sedangkan suaminya tidak bersedia masuk Islam, maka dia tidak halal lagi bagi suaminya, berdasarkan firman Allah Taala,
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ (سورة الممتحنة: 10)
“Jika kalian mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita mukminat, maka janganlah kalian pulangkan mereka kepada kaum kafir. Mereka para wanita mukminat tidak halal bagi mereka orang-orang kafir, merekapun orang-orang kafir tidak halal bagi mereka wanita mukminat.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, Firman Allah Taala,
لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن (سورة الممتحنة: 10)
“Mereka para wanita mukminat tidak halal bagi mereka orang-orang kafir, merekapun orang-orang kafir tidak halal bagi mereka wanita mukminat.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Menunjukkan alasan mengapa mereka (kaum wanita muslimah) dilarang dikembalikan (kepada orang kafir), dalam ayat ini juga terdapat dalil bahwa wanita mukmin tidak halal (menjadi isteri) bagi orang kafir, dan bahwa apabila seorang isteri masuk Islam, maka dia wajib berpisah dari suaminya (yang masih kafir).” (Fathul Qadir, 5/301)
Tidak dibolehkan bagi seorang wanita muslimah untuk tetap berada sebagai isteri orang kafir, bahkan keduanya harus dipisahkan sejak sang isteri menyatakan keislamannya. Kemudian tunggu masa iddahnya, jika sang suami masuk Islam di masa idahnya, maka mereka tetap berada dalam status pernikahannya. Jika masa idah habis dan suaminya tidak masuk Islam, maka sang isteri resmi berpisah darinya. Dia boleh menikah dengan selain mantan suaminya, atau menanti suaminya masuk Islam.
Ibnu Qayim rahimahullah berkata, “Hukum yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa pernikahan itu dihentikan. Jika sang suami masuk Islam sebelum selesai masa idahnya, maka sang wanita tetap sah menjadi isterinya. Apabila masa idahnya telah selesai, maka wanita tersebut boleh menikah dengan siapa saja laki-laki yang dia suka. Jika mau, dia dapat menunggu suaminya, jika sang suami masuk Islam maka dia dapat menjadi isterinya dan tidak butuh memperbarui pernikahan.” (Zadul Ma’ad, 5/137)
Anda tidak dibolehkan memberikan pelayanan dan merawatnya, karena Islam telah memisahkan kalian berdua. Apalagi, selain kafir, dia membenci agama, anti terhadap hijab dan memerintahkan anda mencopotnya, bagaimana anda merasa aman dengan agama dan diri anda untuk tinggal bersamanya?!
Lajnah Daimah Lil Ifta pernah ditanya tentang seorang wanita Nashrani yang telah berusia lanjut, dia dan suaminya. Wanita tersebut masuk Islam sedangkan suaminya tidak. Keduanya sudah tidak melakukan hubungan intim, apakah dibolehkan bagi wanita muslimah tersebut untuk tinggal bersamanya ataukah akad pernikahannya telah batal?
Mereka menjawab, “Jika seorang wanita Nashrani masuk Islam sedangkan dia merupakan isteri dari laki-laki nashrani, maka akad pernikahannya batal. Maka dengan demikian, dia tidak boleh tinggal bersama laki-laki tersebut walaupun mereka telah berusia lanjut dan tidak lagi melakukan hubungan intim.”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19/16-17)
Bahwa anda adalah orang fakir dan tidak memiliki pekerjaan, tidak membuat anda boleh tinggal bersama dalam satu rumah dengan orang laki-laki non muslim. Berbaik sangkalah kepada Allah Taala, sebab Dialah yang berfirman,
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (سورة الطلاق: 7)
“Allah akan menjadikan setelah kesulitan ada kemudahan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang kesulitan, bahwa Allah Taala akan menghilangkan nestapa dan kesulitan dari mereka.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 871)
Dia pula yang berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (سورة الطلاق: 2)
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari jalan yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah sebagai pelindung. Sesungguhnya Allah melaksanakna urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
Ibnu Qayim rahimahullah taala telah berdebat dengan seorang pendeta Nashrani sehingga jelas baginya kebenaran. Akan tetapi dia menolak masuk Islam karena orang-orang Nashrani memuliakannya, dia berkata, ‘Saya tidak memiliki keahlian, tidak hafal Al-Quran atau tata bahasa arab, juga fiqih. Seandainya saya masuk Islam, saya akan berkeliling pasar minta-minta sama orang. Siapa yang rela hatinya jika mengalami demikian? Maka Ibnu Qayim berkata, “Itu tidak akan terjadi! Bagaimana anda mengira bahwa jika anda mengutamakan ridhaNya dan meninggalkan hawa nafsu anda, lalu Dia akan menyia-nyiakan dan menghinakan anda?! Kalaupun hal itu terjadi bagi anda, maka sesungguhnya kemenangan anda dengan berpihak kepada kebenaran dan selamat dari neraka dan murka Allah itu sudah merupakan imbalan yang sempurna.” (Hidayatul Hayari, hal. 119)
Maka dengan demikian, biarkan anak laki-laki anda bersikap baik kepada bapaknya dengan melayaninya dan membantunya semampunya, itu merupakan hak bapaknya yang menjadi kewajiban sang anak, walaupun sang bapak tetap dalam agamanya. Hendaklah anda bersungguh-sungguh mendakwahinya ke dalam agama Islam, itu akan menjadi kebaikan buat kalian semua agar keluarga tidak bercerai berai. Beritahukan kepadanya bahwa Islam melarangnya untuk tinggal bersamanya dan bahwa anda tidak halal lagi untuknya kecuali jika dia masuk Islam.
Kami mohon kepada Allah hidayah untuk kalian berdua.
Wallahu a’lam.