Senin 10 Jumadil Ula 1446 - 11 November 2024
Indonesian

Ragu Dalam Melontar Untuk Orang Lain, Apakah Dia Melontar Enam Kali atau Tujuh Kali?

153470

Tanggal Tayang : 08-08-2018

Penampilan-penampilan : 2421

Pertanyaan

Saya melaksanakan haji dua tahun lalu untuk diri saya, maka saya melontarkan jumrah tersakhir. Pertama untuk diri saya terlebih dahulu, kemudian saya melontar untuk puteri paman saya, karena kondisi sangat berdesakan. Saya ragu setelah melontar, apakah aku melontar enam atau tujuh, sekarang dia telah berada di negeri orang dan tidak mungkin melakukan haji lagi, sayapun tidak mungkin melakukan haji lagi atas nama dia, karena ketika itu adalah tahun terakhir saya berada di Saudi dan haji ini merupakan haji pertama bagi saya dan dia. Apa yang harus saya laukan? Apakah saya harus membayar fidyah untuknya tanpa dia ketahui atau tidak? Karena kalau saya beritahu dia, akan menimbulkan problem bagi dia dan saya. Jika saya keluarkan fidyah, maka kemana saya harus mengeluarkannya? Apakah boleh aku memakan fidyah tersebut? Berapa ukurannya jika dibolehkan? Dengan apa saya keluarkan fidyah, apakah dengan sapi atau kambing atau selainnya? Mohon fatwa secepatnya.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Siapa yang ragu dalam melontar, apakah dia melontar enam atau tujuh lontaran, maka hendaknya dia mengambil yang lebih sedikit dan dia tambah dengan melontar satu keriikil agar dia menunaikan ibadahnya dengan yakin. Hal ini jika keraguan tersebut terjadi saat berada dalam ibadah. Akan tetapi, jika dia telah selesai melontar dan telah beranjak keluar, maka keraguan itu tidak ada pengaruhnya. Karena keraguan setelah ibadah tidak ada pengaruhnya.

Karena itu, jika keraguan anda terjadi setelah anda selesai dan keluar, maka anda tidak ada konsekwensi apa-apa.

Jika keraguan itu terjadi saat anda melontar atau di akhir sebelum keluar dari tempat tersebut, maka anda harus menambah satu lontaran kerikil lagi. Jika tidak anda lakukan, maka tindakan lebih hati-hati jika anda keluarkan satu mud makanan untuk diberikan kepada fakir miskin Mekah Satu mud adalah  seperempat sha’ sebanding kurang lebih 70 gram, baik berupa beras atau semacamnya. Jika anda beri dalam bentuk matang, maka hal itu sudah cukup. Anda dapat mewakilkan seseorang yang dapat melakukan hal itu di Mekah.

Pendapat yang kuat adalah bahwa jika tidak ada yang anda lakukan dari semua itu, maka tidak mengapa bagi anda dan tidak merusak haji orang yang anda wakilkan. Karena dalam syariat, tidak ada batasan wajib dalam lontaran, akan tetapi itu hanya ijtihad sebagian fuqoha. Terdapat riwayat dari Ahmad rahimahullah, beliau berpendapat bahwa tidak ada masalah meninggalkan Lontara satu atau dua kerikil. (Lihat Al-Mughni, 3/27)

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Al-Mushanaf (4/280), dari Ibnu Umar, dia berkata, “Aku tidak peduli berapa kali aku melontar, apakah enam atau tujuh.”

Dari Thawus, terkait orang yang melontar sebanyak enam kali, dia berkata, “Hendaknya dia bersedekah dengan sesuatu.” Dari Ibnu Abi Najih, dia berkata, “Tidak ada kewajiban apa-apa baginya.”

An-Nawawi berkata, “Terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab-mazhab mereka terkait dengan orang yang meninggalkan lontaran satu atau dua butir kerikil. Telah kami sebutkan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam mazhab kami adalah bahwa meninggalkan lontaran satu kerikil, mengeluarkan satu mud, jika dua kerikil, dua mud, jika tiga kerikil, maka keluarkan dam. Ini adalah pendapat Abu Tsaur. Ibnu Munzir berkata, Imam Ahmad dan Ishaq berkata, “Tidak ada kewajiban apa-apa baginya jika meninggalkan satu lontaran kerikil.” Mujahid berkata, “Tidak ada konsekwensi apa-apa karena meninggalkan satu atau dua lontaran.” Atha berkata, “Siapa yang melontar sebanyak enam lontaran hendaknya dia sedekah makan berupa korma, atau sesuap makanan. Al-Hakam, Hamad, Al-Auzai, Malik dan Majesyun berkata, “Dia harus membayar dam jika satu lontaran kerikil yang ditinggalkan.” Atha berkata terkait orang yang meninggalkan lontaran satu kerikil, “Jika dia mampu, hendaknya dia Menyembelih dam, jika tidak, maka hendaknya dia berpuasa tiga hari.” (Al-Majmu, 8/270)

Perkara dalam masalah ini luwes, Alhamdulillah.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam