Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Bagaimana Mengkompromikan Antara Halalnya Menikah Dengan Wanita Ahli Kitab Dengan Aqidah Wala Bara

154606

Tanggal Tayang : 13-06-2017

Penampilan-penampilan : 3923

Pertanyaan

Terjadi perdebatan antara saya dan saudara saya seputar mencintai ahli kitab. Saya katakana kepadanya bahwa hal itu tidak boleh. Tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman atau berbasa basi dalam hari raya mereka, bahkan dilarang mengucapkan salam kepada mereka serta berbagai bentuk kecintaan lainnya. Namun saudara saya ini membantah dengan berkata, “Sesungguhnya Allah Taala telah membolehkan kita untuk menikahi mereka dan Allah telah berikan rasa saling mencintai dan kasih sayang pada suami isteri. Saya mohon jawaban dari anda yang mulia dalam masalah ini, yaitu bagaimana mengkompromikan antara kebolehan menikahi wanita ahli kitab dengan aqidah wala bara. Apakah syarat yang syar’i untuk menikahi ahli kitab?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Telah dijelaskan syarat-syarat yang wajib diwujudkan pada wanita ahli kitab agar dia halal dinikahi dalam jawaban soal no. 2527

Kedua:

Cinta secara garis besar ada dua macam; Cinta agama dan cinta tabiat. Cinta agama ada yang sifatnya wajib adapula yang sifatnya haram dan adapula yang sifatnya syirik. Uraian lengkapnya dapat anda temui di jawaban soal no. 276

Adapun cinta tabiat atau fitrah adalah cinta yang pada dasarnya diberikan manusia, seperti orang cinta minuman dingin atau cinta harta, termasuk di dalamnya cinta kedua orang tua kepada anak-anaknya, atau cinta karena kebaikan seseorang serta sifat-sifat terpuji seperti cinta manusia satu sama lain. Tidaklah sempurna iman seorang hamba sebelum cintanya kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam di sisinya lebih besar dibanding kecintaannya kepada selainnya.” (Jala’ul Afham, 1/392)

Termasuk cinta tabiat itu adalah cinta di antara sepasang suami isteri. Perkara ini akan menyingkirkan kebingungan yang dialami oleh sang penanya. Tidak mesti, adanya rasa cinta tabiat di antara sepasang suami isteri hadir juga bersamanya cinta dari sisi syariat. Dia tetap dapat membenci agamanya dan mencintainya sebagai seorang isteri. Kedua perkara ini dapat dibedakan antara keduanya. Setiap jiwa dibekali rasa cinta tabiat terhadap bapak, ibu, anak, isteri. Akan tetapi, meskipun demikiaan terdapat larangan mencintai orang kafir yang memerangi dan memusuhi Islam berapapun dekatnya kekerabatan di antara mereka.

Allah Taala berfirman,

لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (سورة المجادلة: 22)

“Engkau tidak akan mendapati orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka adalah bapak-bapaknya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya dan keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripadanNya. Dan dimasukkannnNya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golonga yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Di antara kaidah syariat yang agung adalah tidak membebankan seseorang sesuatu yang dia tidak mampu menanggungnya. Maka jika demikian, memungkinkan untuk membedakan antra cinta tabiat dengan cinta syariat dan ini adalah perkara yang mampu dilakukan seseorang.

Allah Taala telah menyebutkan kebencian Nabi Ibrahim alaihissalam dan orang-orang beriman terhadap kaumnya yang kafir yang di dalamnya terdapat keluarga dan kerabat mereka dan di antara mereka terikat rasa cinta yang bersifat tabiat. Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ  (سورة الممتحنة: 4)

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." QS. Al-Mutahanah: 4

Allah Taala telah nyatakan cintanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada pamannya; Abu Thalib padahal di kafir, dan kecintaannya tersebut adalah cinta tabiat karena adanya hubungan kekerabatan.

Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Allah Taala turunkan ayat tentang Abu Thalib dengan berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ (سورة القصص: 56)

“Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashash: 56)

Maksudnya adalah, sesungguhnya engkau wahai Rasul, tidak dapat memberi hidayah kepada siapa yang engkau cintai dari kalangan kerabatmu dan pamanmu. Yang dimaksud cinta disini adalah cinta yang bersifat tabiat, bukan cinta berdasarkan agama. Cinta berdasarkan agama tidak boleh diberikan kepada orang musyrik, walaupu dia orang yang hubungan kekerabannya paling dekat.

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُم (سورة المجادلة: 22)

“Engkau tidak akan mendapati orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka adalah bapak-bapaknya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya dan keluarganya.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Cinta berdasarkan agama tidak boleh (kepada non muslim), adapun cinta yang bersifat tabiat, maka hal ini tidak termasuk dalam perkara cinta berdasarkan agama (I’anatul Mustafid Bi Syarhi Kita At-Tauhid, 1/356)

Perkara ini telah dirangkum dalam sebuah jawaban yang tepat oleh Syekh Abdurrahman Al-Barrak hafizahullah, dia bekata:

“Cinta ada dua macam;

Pertama:

Cinta tabiat, seperti cinta seorang kepada isterinya, anaknya, hartanya. Perkara ini telah disebutkan dalam firman Allah Taala,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة الروم: 21)

“ Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya adalah dia menciptakan dari jenis diri kalian isteri-isteri agar kalian tenang bersamanya dan Dia menjadikan di antara kalian saling mencintai dan mengasihi. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda  bagai kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Cinta agama, seperti cinta kepada Allah, rasulNya dan mencintai apa yang dicintai Allah dan rasulNya berupa perbuatan, ucapan dan orang-orang.

Allah Taala berfirman,

فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ) سورة المائدة: 54)

“Maka Allah akan mendatangkan kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka mencintainya.” (QS. Al-Maidah: 54)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد ...

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan dan kasih sayang di antara mereka adalah bagaikan tubuh…”

Di antara dua kecintaan tersebut tidak ada keharusan saling berdampingan, artinya bahwa cinnta tabiat boleh jadi diiringi dengan kebencian terhadap agamanya. Sebagaimana mencintai orang tua yang masih musyrik, maka sang anak harus membencinya karena Allah, namun hal tersebut tidak mencegahnya untuk mencintai keduanya secara tabiat. Karena fitrah manusia adalah mencintai kedua orang tuanya dan kerabatnya. Sebagaimana dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencintai pamannya karena kekerabatannya padahal sang paman kafir. Allah Taala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء (سورة القصص: 56)

“Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayah kepada siapa yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberi hidayah kepada yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qashash: 56)

Dari sisi inilah isteri yang berasal dari kalangan Ahli Kitab dicintai (cinta tabiat), tapi dia harus dibenci dari sisi kekufurannya dan agamanya. Perkara tersebut tidak menghalangi seorang suami untuk mencintai isterinya secara tabiat. Jika sang isteru, dari satu sisi dicintai, sementara di sisi lain dibenci. Kasus seperti ini banyak. Begitu juga kadang berkumpul antara kebencian tabiat dengan kecintaan agama, sebagaimana dalam jihad. Secara tabiat dia tidak disukai tapi dicintai karena dia merupakan perintah Allah dan karena akibatnya yang baik di dunia dan akhirat. Allah Taala berfirman, 

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ (سورة البقرة:216 )

“Telah diwajibkan bagi kalian berperang padahal berperang tidak kalian sukai, betapa banyak sesuatu yang kalian tidak sukai padahal dia baik bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Termasuk dalam katagori inipula, cinta seorang muslim kepada saudaranya sesama muslim yang menzaliminya, maka dia mencintainya karena Allah dan membencinya karena kezalimannya kepadanya. Bahkan kadang berkumpul antara kecintaan tabiat dengan kecintaan tabiat seperti terhadap obat yang sakit. Orang sakit membencinya karena rasanya yang pahit namun dia mengkonsumsinya karena berharap ada manfaat bagi dirinya. Begitupula kadang berkumpul antara kecintaan agama bersama benci karena agama, seperti terhadap mukmin yang fasiq, dia mencintainya karena padanya masih ada iman dan membencinya karena dia melakukan maksiat.

Orang berakal adalah orang yang menetapkan cinta dan bencinya berdasarkan syariat dan akal yang bebas dari pengaruh hawa nafsu, Wallahu a’lamm.”

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam