Alhamdulillah.
Pertama :
Adapun kisah tentang Abdullah bin Umar yang menyaksikan penyiksaan terhadap Abu Jahal bin Hisyam di Badar, maka ini matan haditsnya :
Dari Abdullah bin Umar Radliyallahu Anhuma sesungguhnya dia berkata:
بَيْنَا أَنَا سَائِرٌ بِجَنَبَاتِ بَدْرٍ ، إِذْ خَرَجَ رَجُلٌ مِنْ حُفَيرٍ ، فِي عُنُقِهِ سِلْسِلَةٌ ، فَنَادَانِي : يَا عَبْدَ اللَّهِ اسْقِنِي ، يَا عَبْدَ اللَّهِ اسْقِنِي ، فَلاَ أَدْرِي ، أَعَرفَ اسْمِي أَوْ دَعَانِي بِدِعَايَةِ الْعَرَبِ ، وَخَرَجَ أَسْوَدُ مِنْ ذَلِكَ الْحُفَيْرِ، فِي يَدِهِ سَوْطٌ ، فَنَادَانِي : يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لَا تَسْقِهِ ، فَإِنَّهُ كَافِرٌ ، ثُمَّ ضَرَبَهُ بِالسَّوْطِ حَتَّى عَادَ إِلَى حُفْرَتِهِ ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْرِعًا ، فَأَخْبَرْتُهُ ، فَقَالَ لِي : أَوَ قَدْ رَأَيْتَهُ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ . قَالَ: ذَاكَ عَدُوُّ اللَّهِ أَبُو جَهْلِ بْنِ هِشَامٍ، وَذَاكَ عَذَابُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ (رواه الطبراني في المعجم الأوسط، 6/335)
"Ketika saya sedang berjalan di sisi-sisi tanah Badar, tiba-tiba keluarlah seseorang dari liang galian, yang di lehernya terlilit rantai, dia menyeru kepadaku, "Wahai Abdullah berikanlah aku minum, Wahai Abdullah berikanlah aku minum," Maka saya tidak tahu bagaimana dia tahu namaku atau memanggilku dengan sebutan-sebutan arab, dan keluarlah sosok hitam dari liang galian yang di tangannya terdapat cambuk, maka dia menyeruku, "Wahai Abdullah jangan engkau beri dia minum sesungguhnya dia adalah Kafir," lalu dia mencambuknya sehingga dia kembali ke dalam galiannya. kemudian dengan bergegas aku mendatangi Nabi Shallalllahu Alaihi Wasallam dan aku menceritakan apa yang aku alami, Beliau bersabda kepadaku, "Apakah engkau telah melihatnya?" Aku menjawab, "Benar." Beliau bersabda, "Dia adalah musuh Allah Abu Jahal bin Hisyam dan itu adalah siksaannya sampai hari kiamat." (HR. Thabrani dalam Al Mu’jam Al Aushath, 6/335).
Dia berkata, 'Menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Ghassan, menceritakan kepada kami Amr bin Yusuf bin Yazid Al Bashri, menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Al Mughirah, dari Malik bin Maghul, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar lalu dia menyebutkan hadits. Lalu At Thabrani berkata, "Tidak meriwayatkan hadits ini dari Malik bin Maghul melainkan Abdullah bin Muhammad bin Al Mughirah Al Kuufi, dan ini adalah sanad yang sangat lemah sekali karena keberadaan Abdullah bin Al Mughirah Al Kuufi.
Abu Hatim berbicara tentang hadits ini, "Hadits ini tidak kuat," Ibnu Yunus berkata, "Hadits ini Mungkar," Ibnu ‘Addi berkata, "Hadits ini sangat umum sekali apa yang diriwayatkan tidak layak dijadikan panutan." An Nasaai berkata, "Diriwayatkan dari Ats Tsauri dan Malik bin Maghul banyak hadits-hadits dan keduanya [Ats-Tsauri dan Malik] sangat takut kepada Allah untuk meriwayatkan hadits tersebut. Imam Adz Dzahabi mengutip darinya sebagian hadits-hadits kemudian dia berkata, "Hadits ini termasuk serangkaian hadits-hadits maudlu." (Lihat Mizaanul I’tidal, 2/487-488)
Al Haitsami Rahimahullah berkata: Di dalam periwayatan hadits tersebut ada Abdullah bin Al Mughirah dan dia adalah lemah, dari kitab Majma Az Zawaaid, 3/57. Beliau juga berkata, "Dan Abdullah bin Muhammad bin Al Mughirah adalah orang yang tidak saya kenal," (Majma Az Zawaaid, 6/81).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitab Al Qubur, hal. 93, no. 92, dia berkata, "Menyampaikan kepada kami Hasyim, menyampaikan kepada kami Mujalid, dari As Sya’bi, sesungguhnya seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, "Sesungguhnya aku melintas di Badar lalu aku melihat seorang lelaki keluar dari perut bumi maka lelaki yang lain memukulnya dengan pentungan yang berada di tangannya sehingga ia kembali masuk ke dalam bumi. Kemudian dia kembali keluar dari perut bumi dan lelaki yang lain memukulnya kembali dan kejadian seperti yang demikian terjadi hingga berulang-ulang. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Itu adalah Abu Jahal bin Hisyam yang disiksa hingga hari kiamat,"
Hadits ini sebagaimana anda ketahui adalah hadits Mursal, karena as Sya’bi bukanlah dari kalangan sahabat, dia juga bukan pembesar tabi’in dan dia memiliki hadits-hadits mursal yang amat banyak dari para sahabat. Dalam hadits tersebut juga ada Mujalid bin Said yang telah dinyatakan lemah (dhaif) oleh Yahya Al Qatthan, Abu Hatim, Ahmad, Ibnu Ma’in, dan An Nasaai serta yang lainnya. Lihat kitab Tahdzibu At Tahdzib, 10/41.
Kedua :
Adapun hadits yang kedua yang terdapat pada soal, mungkin yang dimaksud adalah hadits Al Harits bin Malik Al ‘Asy’ari
أَنَّهُ مَرَّ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا حَارِثَةُ؟ قَالَ : أَصْبَحْتُ مُؤْمِنًا حَقًّا. قَالَ: انْظُرْ مَا تَقُولُ ، إِنَّ لِكُلُّ حَقٍّ حَقِيقَةً ، فَمَا حَقِيقَةُ إِيمَانِكَ؟ قَالَ: عَزَفَتْ نَفْسِي عَنِ الدُّنْيَا ، وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى عَرْشِ رَبِّي بَارِزًا ، وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ يَتَزَاوَرُونَ فِيهَا ، وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ النَّارِ يَتَضَاغَوْنَ فِيهَا . قَالَ : يَا حَارِثَةُ ! عَرَفْتَ فَالْزَمْ - قَالَهَا ثَلَاثًا
“Sesungguhnya dia (Al-Hartis bin Malik) lewat di depan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kemudian beliau bertanya kepadanya, 'Bagaimana kondisimu di pagi ini wahai Haritsah?' Dia menjawab, 'Di pagi ini aku berada pada puncak keimanan.' Rasulullah bersabda, "Pikirkanlah apa yang engkau ucapkan, karena sesungguhnya setiap yang haq itu ada bukti kebenarannya, lalu apa bukti kebenaran imanmu?' Al Harits menjawab, 'Aku telah menjauhkan diriku dari dunia, seakan-akan aku melihat Arsy Tuhanku nampak dengan jelas, dan aku melihat penduduk surga, mereka saling kunjung-mengunjungi di sana, dan seakan-akan aku juga menyaksikan penduduk neraka mereka saling hiruk pikuk menjerit di sana.' Rasulullah bersabda, 'Wahai Haritsah, engkau telah mengetahui hakekat keimanan maka konsistenlah," Hal ini beliau ucapkan ulang tiga kali.
Sesungguhnya hadits tersebut diriwayatkan dalam dua bentuk: Secara Mursal dan secara Muttashil.
Adapun yang diriwayatkan secara Mursal, Maka terdapat sanad yang bermacam-macam di antaranya adalah:
1-Ibnu Numair berkata, "Mengabarkan kepada kami Malik bun Maghul dari Zubaid secara Mursal. Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannif, 6/170.
2-Dari Abdur Razzaq, "Mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Shalih bin Simar dan Ja’far bin Burqan, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Al Harits bin Malik...al hadits." Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad darinya dalam kitab Syu’abul Iman, 13/160, dan dia berkata, “Hadits ini Mungqathi.”
3- Mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Shalih bin Mismar sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda, "... Diriwayatkan oleh Ibnu Al Mubarak dalam kitab Az-Zuhd, 1/106, dan dari jalur Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi, 54/227, dan berkata pula Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, “Hadist tersebut adalah mu’adhal dalam kitab Al Ishobah, 1/689.
4-Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam tafsir dari Ats Tsauri, dari Amr bin Qais Al Mallani dari Yazid As Sulami dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Al Harits, ... dari kitab Al Ishobah, no. 1689.
5-Ibnu Abi Syaibah berkata, "Mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, mengabarkan kepada kami Abu Mi’syar dari Muhammad Shalih Al Anshori, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berjumpa dengan Auf bin Malik, lalu beliau bertanya, "Bagaimana keadaan pagi harimu wahai Auf bin Malik?" (Dikutip dari kitab Al Iman, karangan Ibnu Abi Syaibah, hal. 43)
Adapun dari sisi periwayatan yang Muttashil juga diriwayatkan dengan sanad yang banyak:
1-Dari jalur Zaid bin Al Habbab dia berkata, "Mengabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah dari Khalid bin Yazid As Saksaki, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Muhammad bin Abi Al Jahm, dari Al Harits bin Malik ... Hadits riwayat Abd bin Humaid sebagaimana terdapat pada kitab Al Muntakhob Minal Musnad, no. 165, dan At Thabrani dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir, 3/166, dan Abu Nu’aim dalam kitab Ma’rifatus Shohabah, 2/777, juga diriwayatkan oleh Al Baghawi dalam kitab “Mu’jam As-Shahabah, 2/75, dan Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, 13/159.
Kesemua sanad di atas adalah Dha’if alias lemah karena keberadaan Ibnu Luhai’ah, dan karena sebab Muhammad bin Abi Al Jahm, kita belum mengetahui akan keterpercayaan mereka berdua melainkan beberapa orang menyebutkan namanya dalam dalam biografi para sahabat, akan tetapi ketetapannya sebagai seorang sahabat patut dipertanyakan dan perlu dikaji ulang. Abu Nu’aim Rahimahullah berkata, "Aku tidak menganggap dia sebagai seorang sahabat," (Dikutip dari kitab Ma’rifatus Shohabah, 1/202)
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, "Dia merupakan golongan pengikut para Tabi’in atau tabi'it Taabi’in, dia meriwayatkan hadits lalu cara meriwayatkannya dimursalkan, maka menjadi campur aduk sebagian riwayatnya dalam pelafazan matan hadits." (Al Ishobah, 6/261).
Sedangkan Ibnu Abi Hatim tidak berkomentar tentangnya dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil, 7/224, dia menganggap riwayat para perawinya dapat diterima.
2-Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhdu Al Kabier, (hal. 355) berkata, "Mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al Hafidz, mengabarkan kepada kami Abu Hamid Ahmad bin Ali bin Al Hasan Al Muqri’ dari kitab Al ‘Atiq, menceritakan kepada kami Abu Farwah yazid bin Muhammad bin Yazid bin Sinan, menceritakan kepada kami Zaid bin Abi Anisah dari Abdul Karim - dia adalah Ibnu Al Harits sebagaimana dia memberikan nama pada Musnadnya dengan Ibnu Mundah - dari Al Harits bin Malik. Dan ini adalah sanad yang lemah karena di dalamnya terdapat Abu Farwah Yazid bin Muhammad, Ad Daruquthni berkata tentangnya, "Riwayatnya Matruk atau ditinggalkan tidak bisa diambil sebagai hujjah," (Lihat kitab Mausu’ah Aqwalid Daruquthni, 2/723.
3-Abu Nu’aim Rahimahullah berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muhammad bin Al Fadhl bin ‘Athiyyah, dari Ghiyats bin Al Musayyab, dari Sulaiman bin Sa’id bin Abi Bardah, dari Ar Robi’ bin Luth, dari Al Harits bin Malik al Anshari sesungguhnya dia datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lalu dia menyebutkan sebagaimana lafadz yang tertera dalam hadits” (Ma’rifatus Shahabah, 2/777). Di dalam rangkaian perawi pada sanad hadits tersebut juga terhenti, karena kita juga tidak mengetahui tentang biografi nama dari Sulaiman bin Said bin Abi Bardah, bahkan kita tidak pernah mendapati namanya disebutkan dalam buku-bukunya para Ulama, apalagi juga di sana terdapat nama Ghiyats bin Musayyab, Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkomentar tentang Ghiyats, “Dia adalah orang yang tidak diketahui” (Mizanul I’tidal, 3/338).
Kesimpulannya, para pembaca dapat menyimpulkan bahwa seluruh rangkaian sanad atau perawi pada hadits tersebut di atas tidak terlepas dari kemugkaran dan kelemahan, karena disandarkan pada hadits yang mursal dan para perawi yang sebagian besarnya tidak dikenal dan lemah, keberadaan sebagian yang satu tidak bisa menguatkan sebagian yang lain. Apalagi hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Abu Hurairah tidak dapat menguatkan kisah yang terdapat pada riwayat di atas dan tidak menunjukkan akan kebenarannya. Oleh sebab itu para ulama melemahkan hadits ini dan kitapun tidak mendapati salah seorang dari mereka menganggapnya shahih.
AlUqoili Rahimahullah berkata, “Hadits ini tidak memiliki ketetapan sanad,” (Adh Dhu’afa Al Kabir, 4/455)
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, "Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir adalah hadits mursal dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah, maka tidak dapat dijadikan sandaran dan tidak memiliki ketetapan." (Al Istiqomah, 1/194).
Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah berkata, “Dia adalah adalah hadits yang diriwayatkan dari satu sisi Mursal dan di sisi yang lain Muttashil akan tetapi menyebutnya sebagai hadits Mursal lebih benar.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/127)
Al Iroqi berkata, "Kedua hadits yang diriwayatkan oleh Al Harits Al Asy’ari dan hadits Anas bin Malik adalah hadits yang dha'if." (Al Mughni ‘An Hamlil Ashfar, 1575)
Al Haitsami Rahimahullah berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat Ibnu Luhai’ah dan di dalamnya juga terdapat perawi yang perlu diteliti keshahihannya.” (Majma’ Az Zawaaid, 1/57).
Al Bushairi berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abid bin Humaid dengan sanad yang lemah karena terdapat perawi yang lemah yaitu Abdullah bin Luhai’ah” (Ithaf Alkhiroh Al Muhrah, 7/454).
Kemudian hadits di atas kalaulah memang benar shahih tidak menunjukkan bahwa Al Harits Al Asy’ari bertujuan dari ceritanya melihat ‘Arsy secara kasat mata, akan tetapi dia ingin menggambarkan bukti kekuatan imannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga seakan-akan dia melihat sesuatu perkara yang ghaib dengan penglihatan mata secara langsung, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam hadits Shahih yang teramat Masyhur tentang definisi Al Ihsan yaitu,
أن تعبد الله كأنك تراه
“Hendaklah engkau menyembah Allah seakan –akan engkau melihat-Nya.”
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang hamba bersaksi dengan hatinya karena itulah sebenar-benarnya kesaksian, maka jadilah ia seakan-akan melihat Tuhannya dan menyaksikannya, dan inilah puncak derajat Ihsan yang merupakan kedudukan orang-orang yang mengenal hakekat Allah. Hal ini sesuai dengan pengertian hadits Haritsah ; karena dia telah berkata,
كأني أنظر إلى عرش ربي بارزا ، وكأني أنظر إلى أهل الجنة يتزاورون فيها ، وإلى أهل النار يتعاوون فيها . فقال النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عرفت فالزم ، عبد نور الله الإيمان في قلبه
"Seakan-akan aku melihat Arsy Tuhanku nampak dengan jelas, dan aku melihat penduduk sorga, mereka saling kunjung-mengunjungi di sana, dan seakan-akan aku juga menyaksikan penduduk neraka mereka saling hiruk pikuk menjerit di sana. Rasulullah bersabda, 'Wahai Haritsah! Engkau telah mengetahui hakekat keimanan maka konsistenlah, Allah telah memberikan cahaya keimanan dalam hatinya."
Ini adalah hadits mursal, telah diriwayatkan dengan sanad yang lemah. Demikian pula perkataan Ibnu Umar kepada Urwah ketika ia melamar putrinya pada saat ibadah Thawaf dan Ibnu Umar tidak menghiraukannya kemudian setelah selesai thawaf dia menemui ‘Urwah dan meminta kemaklumannya seraya berkata, "Ketika tadi kami sedang melaksanakan Thawaf kami membayangkan bahwa Allah berada di antara mata-mata kami.” (Dikutip secara ringkas dari kitab 'Fathul Baari' oleh Ibnu Rajab, 1/212-214)
Ketiga :
Kitab 'Fadhailul A’mal' yang pada cetakan pertama dahulu bernama, “Tablighi Nishab” karangan Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, penuh dengan khurafat yang tidak diperkenankan menukilnya dan menyampaikannya kepada orang lain, apalagi meyakini kebenaran dalam kandungan dan isinya.
As Syaikh Hamuud At Ttuwaijiri Rahimahullah berkata, "Di dalam kitab Fadha'ilul A’mal terdapat banyak kesyirikan, bid’ah, khurafat, hadits-hadits Maudhu dan hadits-hadits dha'if. Hakekatnya itu adalah kitab yang buruk menyesatkan dan menimbulkan fitnah” (Dari kitab Al Qaulul Baligh, hal. 11).
As Syaikh Syamsuddin Al Afghani Rahimahullah berkata :
Bagi para pembesar penganut Adh-Dhiyubandiyah kitab-kitab yang disucikan oleh para pengikutnya, yaitu kitab-kitab yang mengandung khurafat tentang hal ihwal kuburan dan sisi keberhalaan sufi, seperti kitab 'Nishab Tablighi' yaitu, Bagian-bagian tentang Tabligh dan metode serta pedoman tabligh. Dan mereka para pengikut Adh-Dhiyubandiyah belum pernah sama sekali mengumumkan akan ketidakpentingan kitab tersebut, tidak memperingatkan orang lain untuk berhati-hati darinya, tidak mencegah penerbitannya tidak pula mereka mencegah memperjualbelikannya, dan rata-rata pasar yang ada di negara India dan Pakistan serta yang lainnya penuh dengan kitab tersebut. (Juhud Ulama Al Hanafiyyah Fi Ibtholi Aqoidil Quburiyyah, 2/776).
Dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daaimah:
"Apa yang dinukil dari kitab-kitab ini - diantaranya disebutkan kitab “Fadha'ilul A’mal”- sebagaimana yang disebutkan pada soal adalah termasuk bid’ah yang mungkar, dan khurafat yang sama sekali tidak ada sandarannya kepada hakekat syari’ah, apalagi terhadap dasar kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Dari Al Majmu’ah Ats Tsaniyah (2/99). Oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Abdul Aziz Aalu As Syaikh, Abdullah bin Ghodyan, Shalih Al Fauzan, Bakar Abu Zaid, dan telah disebutkan pada jawaban yang lalu tentang bahayanya kitab ini no. 108084.
Keempat :
Adapun pengakuan dari seorang manusia tentang pengetahuannya akan alam ghaib, maka hal demikian ini tidak akan muncul dari seorang mukmin yang bertakwa, bagaimana dengan para ulama, orang-orang yang shalih dari kalangan sahabat dan para tabi’in, karena Allah Azza wa Jalla berfirman :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ (سورة الجن: 26-27)
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridlai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya." (QS. Al Jin: 26-27)
Jika para Nabi saja tidak mengetahui perkara-perkara yang ghaib melainkan kadar yang amat sedikit yang Allah menampakkan bagi mereka sebagai bukti akan kenabian mereka, maka bagaimana dengan orang-orang yang selain mereka yang mengaku-ngaku mengetahui seluruh seluk beluk alam ghaib dan mampu melihat Lauh Mahfudz.
Di dalam Matan kitab “Al Aqidah At Thohawiyyah” disebutkan, “Ilmu itu ada dua macam: Ilmu tentang makhluk yang tampak dan berwujud, dan ilmu tentang makhluk yang tidak berwujud, maka mengingkari ilmu tentang makhluk yang berwujud adalah kufur, dan mengaku-ngaku mengerti akan ilmu tentang makhluk yang tidak berwujud adalah kufur, dan keimanan tidak akan menjadi kokoh melainkan setelah menerima Ilmu tentang makhluk yang tampak dan berwujud dan meninggalkan mempelajari ilmu yang tak berwujud atau ilmu ghaib.”
Dan diantara catatan As Syaikh Ibnu Abil ‘Izz Alhanafi Rahimahullah, “Barangsiapa yang mengaku-ngaku mengerti tentang ilmu ghaib maka dia termasuk orang-orang yang kafir” (Syarh At Thahawiyah, hal. 262).
Wallahu A’lam.