Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Apakah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- Pernah Memukul Istrinya ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ?

Pertanyaan

Telah disebutkan dalam Shohih Muslim pada jilid 4, hadits nomor: 2127 dari hadits Muhammad bin Qois bahwa ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- telah menyebutkan:
أن النبي صلى الله عليه وسلم لهدها على صدرها لهدة أوجعتها ، ثم قال : ( أتظنين أن يحيف الله عليك ورسوله ).
Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memukul dada/bahunya sampai ia merasa kesakitan, kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Alloh dan Rasul-Nya akan berlaku dzalim kepadamu?”
Menurut sepengetahuan saya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- belum pernah mengangkat tangan beliau kepada seorang pun untuk memukul seseorang, saya mohon bantuan anda untuk menjelaskan apa sebabnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah memukul Aisyah sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam hadits di atas, karena ada banyak yang menaruh rasa dengki dan benci kepada Islam, mereka menggunakan hadits tersebut untuk menentang dan mencela Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Hadits yang dimaksud dalam pertanyaan di atas adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa ia berkata:

( لَمَّا كَانَتْ لَيْلَتِي الَّتِي كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا عِنْدِي ، انْقَلَبَ فَوَضَعَ رِدَاءَهُ ، وَخَلَعَ نَعْلَيْهِ ، فَوَضَعَهُمَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ ، وَبَسَطَ طَرَفَ إِزَارِهِ عَلَى فِرَاشِهِ ، فَاضْطَجَعَ ، فَلَمْ يَلْبَثْ إِلَّا رَيْثَمَا ظَنَّ أَنْ قَدْ رَقَدْتُ ، فَأَخَذَ رِدَاءَهُ رُوَيْدًا ، وَانْتَعَلَ رُوَيْدًا ، وَفَتَحَ الْبَابَ فَخَرَجَ ، ثُمَّ أَجَافَهُ رُوَيْدًا ، فَجَعَلْتُ دِرْعِي فِي رَأْسِي ، وَاخْتَمَرْتُ ، وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِي ، ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى إِثْرِهِ ، حَتَّى جَاءَ الْبَقِيعَ فَقَامَ ، فَأَطَالَ الْقِيَامَ ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ انْحَرَفَ فَانْحَرَفْتُ ، فَأَسْرَعَ فَأَسْرَعْتُ ، فَهَرْوَلَ فَهَرْوَلْتُ ، فَأَحْضَرَ – أي ركض - فَأَحْضَرْتُ ، فَسَبَقْتُهُ فَدَخَلْتُ ، فَلَيْسَ إِلَّا أَنِ اضْطَجَعْتُ ، فَدَخَلَ ، فَقَالَ : مَا لَكِ يَا عَائِشُ ، حَشْيَا رَابِيَةً ؟ - الحشا : التهيج الذي يعرض للمسرع في مشيه بسبب ارتفاع النفس ، رابية : مرتفعة البطن - قَالَتْ : قُلْتُ : لَا شَيْءَ . قَالَ : لَتُخْبِرِينِي أَوْ لَيُخْبِرَنِّي اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ . قَالَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي ، فَأَخْبَرْتُهُ . قَالَ : فَأَنْتِ السَّوَادُ الَّذِي رَأَيْتُ أَمَامِي ؟ قُلْتُ : نَعَمْ . فَلَهَدَنِي فِي صَدْرِي لَهْدَةً أَوْجَعَتْنِي ، ثُمَّ قَالَ : أَظَنَنْتِ أَنْ يَحِيفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ ؟ - أي : هل ظننت أني أظلمك بالذهاب إلى زوجاتي الأخرى في ليلتك - قَالَتْ : مَهْمَا يَكْتُمِ النَّاسُ يَعْلَمْهُ اللهُ ، نَعَمْ ، قَالَ : فَإِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي حِينَ رَأَيْتِ ، فَنَادَانِي ، فَأَخْفَاهُ مِنْكِ ، فَأَجَبْتُهُ ، فَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ ، وَلَمْ يَكُنْ يَدْخُلُ عَلَيْكِ وَقَدْ وَضَعْتِ ثِيَابَكِ ، وَظَنَنْتُ أَنْ قَدْ رَقَدْتِ ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَكِ ، وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي ، فَقَالَ : إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ . قَالَتْ : قُلْتُ : كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : قُولِي : السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ ) رواه مسلم (974)

“Pada saat giliran hari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bermalam di rumahku, beliau datang dengan menaruh selendangnya dan melepas sandalnya, beliau meletakkan keduanya di dekat kaki beliau, dan membentangkan kainnya di atas tempat tidurnya, seraya beliau merebah, beliau mengira saya sudah tertidur, sesaat setelah itu beliau mengambil kembali selendang dan memakai kedua sandalnya, lalu membuka pintu dan keluar, saya memakai baju saya dan memakai hijab saya dan saya memakai kain saya, kemudian saya mengejar beliau, sesampainya beliau di Baqi’ beliau berdiri dalam waktu lama, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali, kemudian beliau belok saya juga ikut belok, beliau berjalan cepat, saya pun demikian, beliau lari-lari kecil, saya juga melakukannya, beliau menghentakkan kaki, saya pun ikut melakukannya. Saya mendahului beliau dan masuk rumah langsung tidur, baru beliau masuk dan bersabda: “Ada apa denganmu wahai ‘Aisyah ?, kenapa terburu-buru sampai nafasmu tersengal-sengal ?, ia menjawab: “Tidak ada apa-apa”. Beliau bersabda: “Kamu akan memberitahukan yang sebenarnya atau saya akan diberitau oleh Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui ?!”. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, demi Alloh, saya akan memberitahukan yang sebenarnya. Beliau bersabda: “Apakah kamu adalah sesuatu yang hitam yang saya lihat di depan saya ?”. Saya menjawab: “Ya, maka beliau mendorong dada saya dengan dorongan yang menyakitkan, lalu bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Alloh dan Rasul-Nya akan berlaku dzalim kepadamu ?, maksudnya: “Apakah kamu mengira saya akan mendzalimimu untuk pergi ke rumah istri-istri saya yang lain pada malam giliranmu ?”, ia menjawab: “Meskipun semua orang menyembunyikan hal itu, Alloh Maha Mengetahui ?, ya beliau bersabda: “Sungguh Jibril telah mendatangiku ketika dia melihatmu (sedang tertidur), dia memanggilku, dia menyembunyikannya darimu, saya memenuhi panggilannya dan saya pun menyembunyikannya darimu, dia tidak mau masuk (rumah) mu pada saat kamu sudah melepaskan baju (luar) mu, saya juga telah mengira bahwa kamu sudah tertidur, saya tidak mau membangunkanmu, saya hawatir kamu akan marah ?, maka malaikat Jibril berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk mendatangi kuburan Baqi’ dan memohonkan ampun bagi mereka kepada Alloh”. Saya berkata: “Apa yang harus saya katakan kepada mereka ?”, beliau bersabda: “Ucapkanlah: “Keselamatan bagi penduduk pemukiman (kuburan) ini bagi mereka kaum mukminin dan muslimin, semoga Alloh memberikan rahmat kepada para pendahulu kita dan kepada mereka yang akan datang, dan sungguh kami akan menyusul kalian semua”. (HR. Muslim: 974)

Penjelasan dari syubhat yang tertera dalam pertanyaan di atas bisa beberapa hal, di antaranya adalah:

Pertama:

Perkataan ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- :

( فَلَهَدَنِي فِي صَدْرِي لَهْدَةً أَوْجَعَتْنِي )

“Maka beliau telah mendorong dada saya dengan dorongan yang menjadikan saya merasa kesakitan”.

Menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dari beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan hanya “al Lahd” yang berarti dorongan di dada atau “Al Lakzu” mendorong dengan tangan mengepal, namun hal itu tidak sampai kepada pukulan sebenarnya dengan tujuan untuk menyakiti atau menjadikannya hina, bahkan disebutkan di dalam Lisan Al Arabi (3/393) bahwa di antara makna “al Lahd” adalah “al Ghomzu” (menunjuk dengan tangan), dan di dalam Taajul ‘Aruusy (9/145): bahwa di antara makna “Al Lahd” adalah “adh Dhoghtu” (tekanan).

Abu Ubaid al Qosim bin Salam –rahimahullah- telah berkata: “لَهَدتُّ الرجل ألهده لهداapabila dia telah mendorongnya”.(Gharib al Hadits: 4/260)

Ibnu Faris –rahimahullah- berkata: “لهدت الرجل adalah saya telah mendorongnya”. (Mujmal al Lughah: 796)

Ibnul Atsir –rahimahullah- berkata:

“Al Lahdu adalah dorongan kuat di dada”. (An Nihayah: 4/281)

Semua makna di atas adalah sinonim satu sama lain yang berarti menunjukkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memukulnya seperti yang diinginkan oleh mereka yang ingin menghina beliau, akan tetapi beliau menunjuknya dengan tangan, mendorongnya di dadanya hingga ia merasakan sakit, akan tetapi rasa sakit yang ringan yang tidak disengaja, tujuannya sebagai peringatan dan pembelajaran.

Kedua:

Kalau saja pembaca hadits di atas membacanya dengan berlahan-lahan, maka pasti ia akan mengetahui bahwa hadits tersebut menjadi salah satu dalil akan keagungan akhlak Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebagai seorang laki-laki yang hidup bersama istrinya dalam beberapa tahun lamanya, sementara ada beberapa perilaku istrinya yang kurang baik karena rasa cemburu yang menjadi sifat bawaan setiap wanita, kemudian juga tidak diketahui bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang memulai menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan kecuali apa mereka klaimkan kekerasan rumah tangga itu ada pada hadits di atas, meskipun banyaknya para perawi yang meriwayatkan tentang semua rincian kehidupan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, semua itu menjadi dalil akan kesempurnaan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Adapun mereka orang-orang yang dengki, para pencela mereka mencari-cari kalau saja beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memukul istrinya dengan pukulan yang parah, atau minimal pukulan yang menyakitkan sebagai kekerasan dan penghinaan, akan tetapi mereka gagal dan tidak berhasil menemukan, tujuan mereka pada hadits di atas adalah perkataan ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata:

( فَلَهَدَنِي فِي صَدْرِي لَهْدَةً أَوْجَعَتْنِي )

“Maka beliau mendorong dada saya dengan dorongan yang menyakitkan”.

Barang siapa yang ingin memukul dan menghinakannya tentu tidak hanya dengan dorongan di dadanya, akan tetapi menggunakan semua kekuatannya pada semua sisi tubuh dan wajahnya, dan akan meninggalkan bekas penganiayaan pada tubuh yang dipukulinya, dan kami tidak menemukan semua itu pada hadits ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-.

Ketiga:

Hadits ini menunjukkan akan kesempurnaan akhlak Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kasih sayang beliau, kelembutan hati beliau –‘alaihis shalatu was salam-; karena beliau tidak berlaku keras, tidak memukul dan tidak menghina, akan tetapi beliau menyalahkan dengan cara yang lembut tujuannya untuk memberikan pelajaran kepada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- dan semua umat Islam setelahnya. Sungguh Alloh dan Rasul-Nya tidak berlaku dzalim kepada siapapun, dan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk bersuudzon kepada Alloh dan Rasul-Nya, bahkan menjadi kewajiban seseorang untuk berhusnudzon kepada Alloh dan ridho dengan semua pembagian Alloh –‘azza wa jalla-, bahwa dorongan/tepukan tersebut menjadi salah satu metode pendidikan dan pengajaran dan peringatan kepada perkara besar dan penting agar tidak terlupakan oleh ‘Aisyah, meskipun ada rasa cemburu kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan rasa cintanya kepada beliau, maka Nabiyullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bukanlah tempat yang diperkirakan akan mendzalimi seorang istri demi para istrinya yang lain, tidak mungkin hal itu dilakukan oleh beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Keempat:

Yang menunjukkan bahwa dorongan beliau bukan termasuk pukulan yang menyakitkan, akan tetapi untuk pengajaran dan peringatan, percakapan yang lengkap antara Nabi –sahallallahu ‘alaihi wa sallam- dan istrinya ‘Aisyah adalah percakapan yang bermanfaat dan sejuk yang menunjukkan kasih sayang seorang mu’allim dan murabbi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena beliau menjelaskan sebabnya keluar rumah pada waktu yang larut malam, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membuka pintu pelan-pelan pada saat keluar rumah dengan tanpa suara agar tidak sampai membangunkan istrinya, penjelasan dan permintaan maaf tersebut dilakukan tanpa rasa marah apalagi sengaja menyakiti, namun berasal dari seorang suami yang mulia, pengasih dan penyayang, menghormati istrinya, menjelaskan alasannya, menjelaskan dengan rinci apa yang sebenarnya terjadi, agar dia juga ikut menyimak ceritanya, hingga tercipta di dalam dirinya rasa kepercayaan kepada suaminya yang ikhlas dan jujur.

A’isyah berkata:

مَهْمَا يَكْتُمِ النَّاسُ يَعْلَمْهُ اللهُ ، نَعَمْ ، قَالَ : فَإِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي حِينَ رَأَيْتِ ، فَنَادَانِي ، فَأَخْفَاهُ مِنْكِ ، فَأَجَبْتُهُ ، فَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ ، وَلَمْ يَكُنْ يَدْخُلُ عَلَيْكِ وَقَدْ وَضَعْتِ ثِيَابَكِ ، وَظَنَنْتُ أَنْ قَدْ رَقَدْتِ ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَكِ ، وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي ، فَقَالَ : إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ . قَالَتْ : قُلْتُ : كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : قُولِي : السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ) .

““Meskipun semua orang menyembunyikan hal itu, Alloh Maha Mengetahui ?, ya beliau bersabda: “Sungguh Jibril telah mendatangiku ketika dia melihatmu, dia memanggilku, dia menyembunyikannya darimu, saya memenuhi panggilannya dan saya pun menyembunyikannya darimu, dia mau masuk (rumah) mu pada saat kamu sudah melepaskan bajumu, saya juga telah mengira bahwa kamu sudah tidur, saya tidak mau membangunkanmu, saya hawatir kamu akan marah ?, maka malaikat Jibril berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk mendatangi kuburan Baqi’ dan memohonkan ampun bagi mereka kepada Alloh”. Saya berkata: “Apa yang harus saya katakan kepada mereka ?”, beliau bersabda: “Ucapkanlah: “Keselamatan bagi penduduk pemukiman (kuburan) ini bagi mereka kaum mukminin dan muslimin, semoga Alloh memberikan rahmat kepada para pendahulu kita dan kepada mereka yang akan datang, dan sungguh kami akan menyusul kalian semua”.

Seorang yang jujur dan ikhlas akan memikirkan untuk mencari kebenaran, keadaan seorang suami yang mempunyai urusan penting pada saat ia tidur diranjang dengan istrinya pada malam hari, kemudian beliau ingin keluar rumah namun tidak mau membangunkannya dari tidurnya karena hawatir akan mengganggu tidurnya, beliau juga enggan jika ia bangun akan marah, dan merasa hawatir akan kehilangan suaminya yang berada di sisinya secara tiba-tiba.

Kelima:

Kalau kami sebutkan semua hadits-hadits yang menunjukkan kesantunan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada para istri beliau maka bisa jadi sampai berlembar-lembar, karena beliau memang sosok yang penyantun, penyayang pada kondisi-kondisi tertentu yang kalau dihadapi oleh seorang suami biasa sudah bisa dipastikan tidak mampu menahan ketenangan dirinya, kecuali beliau yang mempunyai akhlak yang agung –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menghiasi dirinya dengan sifat sabar dan santun, bahkan menahan semua hal yang akan menyakiti istrinya.

Di antaranya adalah yang sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha-:

( أَنَّهَا أَتَتْ بِطَعَامٍ فِي صَحْفَةٍ لَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ ، فَجَاءَتْ عَائِشَةُ مُتَّزِرَةً بِكِسَاءٍ ، وَمَعَهَا فِهْرٌ – وهو حجر ملء الكف -، فَفَلَقَتْ بِهِ الصَّحْفَةَ ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ فِلْقَتَيْ الصَّحْفَةِ ، وَيَقُولُ : كُلُوا ، غَارَتْ أُمُّكُمْ . مَرَّتَيْنِ ، ثُمَّ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَحْفَةَ عَائِشَةَ ، فَبَعَثَ بِهَا إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ ، وَأَعْطَى صَحْفَةَ أُمِّ سَلَمَةَ عَائِشَةَ ) رواه النسائي في " السنن " (3956) وصححه الألباني في " صحيح النسائي "

“Pada saat ia membawa makanan di atas piringnya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau, maka Aisyah datang dengan memakai pakaian bawahan tertentu dengan membawa batu sebesar genggaman tangan dan memecahkan sebuah piring, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengumpulkan pecahan piring tersebut dan bersabda: “Kalian semua silahkan makan, ibu kalian sedang cemburu dua kali”. Kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengambil piringnya ‘Aisyah untuk diberikan kepada Ummu Salamah, dan memberikan piring Ummu Salamah (yang pecah) kepada Aisyah”. (HR. Nasa’i dalam As Sunan: 3956 dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahih an Nasa’i )

Dari Nu’man bin Basyir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

( جَاءَ أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَسَمِعَ عَائِشَةَ وَهِيَ رَافِعَةٌ صَوْتَهَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَذِنَ لَهُ ، فَدَخَلَ ، فَقَالَ : يَا ابْنَةَ أُمِّ رُومَانَ وَتَنَاوَلَهَا ، أَتَرْفَعِينَ صَوْتَكِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟

قَالَ : فَحَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا ، قَالَ : فَلَمَّا خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ جَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ لَهَا يَتَرَضَّاهَا : أَلَا تَرَيْنَ أَنِّي قَدْ حُلْتُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَكِ .

قَالَ : ثُمَّ جَاءَ أَبُو بَكْرٍ ، فَاسْتَأْذَنَ عَلَيْهِ ، فَوَجَدَهُ يُضَاحِكُهَا ، قَالَ : فَأَذِنَ لَهُ ، فَدَخَلَ ، فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ : يَا رَسُولَ اللهِ أَشْرِكَانِي فِي سِلْمِكُمَا ، كَمَا أَشْرَكْتُمَانِي فِي حَرْبِكُمَا )

 رواه أحمد في " المسند " (30/341-342) وقال المحققون : إسناده صحيح على شرط مسلم.

“Pada saat Abu Bakar mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meminta izin untuk masuk, dia mendengar Aisyah bersuara keras kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau mengizinkannya masuk, masuklah Abu Bakar dan berkata: Wahai anak perempuan dari Ibu Ruuman dan ia memakannya, apakah kamu mengangkat suaramu di hadapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?.

Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi penengah antara ‘Aisyah dan ayahandanya, setelah Abu Bakar keluar rumah, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada Aisyah untuk mencari keridhoannya: “Tidakkah kamu melihat bahwa saya telah membantu menyelesaikan masalahmu dengan ayahandamu.

Kemudian Abu Bakar datang lagi dan meminta izin kepada beliau, maka ia mendapati Rasulullah sedang bercanda dengan Aisyah. Maka beliau mengizinkannya masuk, seraya Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sertakan saya dalam kedamaian anda berdua, sebagaimana kalian berdua telah menyertakan saya pada perselisihan anda berdua”. (HR. Ahmad dalam Al Musnad: 30/341-342, Para pentahqiq berkata: “Sanadnya hasan sesuai dengan syarat Imam Muslim)

Maka hendaknya orang-orang yang dengki itu mengambil pelajaran, betapa banyak kasih sayang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada istrinya Aisyah –radhiyallahu ‘anha- , begitu besar juga cinta beliau kepadanya hingga pada kondisi-kondisi yang keras di hadapan para tamunya ia memecahkan piring makanan di hadapan mereka, seraya beliau mencarikan penyebabnya dengan bersabda: ( غارت أمكم )“ibu kalian sedang cemburu”.

Bukankah rasa cemburu itu yang menjadi penyebab Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ikut keluar rumah di belakang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari rumahnya pada malam tersebut, karena ia mengira bahwa beliau keluar akan menemui para istri beliau yang lain, semua itu tidak menjadikan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berlaku kasar kepadanya dengan memukul dengan pukulan yang menyakitkan yang banyak terjadi pada suami biasa.

Keenam:

Jika “al Lahdah” (dorongan/tepukan) itu berarti pukulan sebenarnya dengan keras, maka Aisyah –radhiyallahu ‘anha- akan menangis karenanya sebagaimana para gadis yang sebaya dengannya dan akan memperlihatkan rasa sakitnya dan akan mengingkarinya, akan tetapi dia tidak melakukannya, akan tetapi dia segera melanjutkan pembicaraannya bersama Nabi –shallallahhu ‘alaihi wa sallam- dan bertanya dengan penuh kesopanan tentang dzikir yang disunnahkan pada saat ziarah kubur, maka hal itu menunjukkan bahwa dorongan/tepukan tersebut tidak lain kecuali merupakan pendidikan dan peringatan semata, dan bahwa Aisyah –radhiyallahu ‘anha- tidak merasakan kecuali rasa sakit yang paling ringan yang hal itu selalu dicari-cari oleh mereka para pencela Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Ketujuh:

Kemudian kami juga berpendapat: Jika seorang suami memukul istrinya –jika sebatas pukulan biasa tanpa ada unsur merendahkan dan penghinaan dan hal itu memang dibutuhkan- maka hal itu dibolehkan oleh al Qur’an al Karim:

( الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ) النساء/34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisa’: 34)

Aisyah –radhiyallahu ‘anha- telah berbuat kesalahan karena keluar rumah tanpa seizin dari suaminya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- namun alasannya karena untuk mengikuti suaminya, dan bahwa ia merasa tenang dengan berada didekat beliau, beliau pun mengetahui keberadaan istrinya. Akan tetapi perilaku Aisyah adalah sebuah kesalahan, namun bersamaan itu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menggunakan apa yang dibolehkan al Qur’an al Karim memukulnya dengan  pukulan yang ringan, kalau saja beliau menggunakannya maka hal itu masih dianggap wajar. Menjadi hak beliau untuk memberikan sangsi pada sebuah kesalahan, sebagaimana Nabi Musa –‘alaihis salam- memegang (rambut) kepala saudaranya (Nabi Harun) sambil menariknya ke arahnya. Akan tetapi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menggunakan dorongan pada dada istrinya disertai peringatan Alloh –‘azza wa jalla-, tentu yang demikian itu termasuk kesempurnaan akhlak beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam