Alhamdulillah.
Pertama :
Seorang istri wajib mentaati suaminya, karena suami memiliki hak kepemimpinan dan memimpin istrinya, Allah Ta’ala berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
(سورة النساء: 34)
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta merek.” (QS An Nisaa: 34)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang : ( الرجال قوامون على النساء ), maksudnya adalah memiliki wewenang atas istri-istri mereka. Maksudnya, hendaknya istri mentaati suaminya terhadap apa yang Allah perintahkan untuk mematuhinya, dan bentuk ketaatannya kepada suami adalah hendaknya dia berbuat baik kepada keluarga suami dan senantiasa menjaga hartanya.
Demikianlah sebagaimana yang dikatakan oleh Muqatil, As Suddy dan Adl Dlohhak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/293).
Dikecualikan dari wajibnya ketaatan istri kepada suaminya dalam dua perkara:
Perkara pertama:
Jika ketaatannya pada suami mengakibatkan terjerumusnya istri ke dalam kemaksiatan, apakah itu meninggalkan yang wajib ataukah melakukan perbuatan yang diharamkan, maka dalam kondisi semacam ini istri tidak boleh mematuhi suaminya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :0
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه البخاري، رقم 6830 ومسلم رقم 11840)
“Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari, no. 6830 dan Muslim, no. 1840)
Perkara kedua :
Apabila ketaatannya pada suami mengakibatkan terjadinya penderitaan bagi istri, atau menghilangkan hak-haknya. Maka dalam kondisi seperti ini tidak ada kewajiban bagi istri untuk mentaati suaminya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.”
dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
لَا ضرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak kesulitan dan tidak ada yang menyulitkan.”
Kedua :
Seorang istri boleh mencukur ranbutnya dan mewarnainya, dengan syarat hendaknya dalam mencukur rambutnya tidak menyerupai kaum lelaki atau para perempuan yang kafir, dan hendaklah semir yang digunakan tidak berwarna hitam. Pembicaraan akan hal ini telah disebutkan sebelumnya tentang hukum mencukur rambut dan mewarnainya bagi perempuan oleh perempuan, lihat jawaban soal no. 139414 dan no. 82671.
Apabila suami tidak memberikan izin kepada istrinya dalam mencukur dan mewarnai rambutnya, maka istri tidak boleh melakukan yang demikian, karena memang istri diperintahkan untuk mentaati suaminya selama dia tidak memerintahkan melakukan kemaksiatan. Di samping, istri berkewajiban mempercantik dirinya untuk memenuhi hak suaminya, dan tidak diragukan lagi bahwa rambut merupakan kecantikan bagi seorang istri.
Wallahu A’lam.