Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Azab Kubur Terkadang Menimpa Pelaku Kemaksiatan Dari Kalangan Orang Yang Bertauhid, Adapun Himpitan Alam Kubur Berlaku Untuk Semua Orang

Pertanyaan

Saya telah membaca sebagian jawaban tentang siksa kubur dan sempitnya alam kubur yang akan menimpa hingga orang beriman.  Akan tetapi ada beberapa hadits yang menunjukkan sebaliknya. Seperti contohnya orang-orang Islam meyakini bahwa seseorang ketika didatangi dua malaikat Munkar dan Nakir dalam kuburnya dan keduanya akan menanyakan tentang keimanannya, kalau dia orang mukmin, maka kuburnya akan diluaskan tujuh puluh hasta (tiap hasta sekitar enam inci) dan dia akan mendapatkan cahaya, kemudian diberi kabar bahwa dia akan tidur seperti pengantin sampai pada hari kiamat dan Allah akan membangunannya untuk memberi balasan terhadap amalnya. Sementara kalau dia orang munafik, maka akan diperintahkan kubur untuk menghimpitnya sampai remuk tulang-tulangnya.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Alhamdulillah, tidak ada kontradiksi di antara nash yang ada tentang siksa kubur dan kenikmatannya. Semuanya adalah benar. Apa yang ada bahwa orang mukmin akan dilapangkan kuburnya tujuh puluh hasta dikali tujuh puluh dan dia akan diberi cahaya serta dikatakan kepadanya, ‘Tidurlah seperti tidurnya penganten tidak ada yang membangunkan kecuali keluarga yang paling mencintainya.” dan dikelilingi sesuatu yang  hijau, sebagaiman diriwaytkan oleh Tirimzi, (1071) dan lainnya, dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam kitab ‘Misykatul Mashabih’. Hal ini terkait dengan orang mukmin yang sempurna imannya, yaitu orang yang segera dalam ketaatan kepada Allah, menjauhi kemaksiatan kepada Allah. Atau termasuk orang yang telah Allah catat baginya keselamatan dari siksa dan fitnah kubur seperti orang-orang yang mati syahid.

Sementara yang ada terkait dengan siksa sebagian orang-orang Islam dalam kuburnya, hal ini berlaku bagi pelaku kemaksiatan, yang mana mereka mencampurkan antara amal shalih dan amal lainnya yang jelek. Terkadang Allah akan menyiksanya dikarenakan dosa-dosanya dikubur dan di neraka nanti pada hari kiamat, sampai ketika mereka telah bersih, maka dia akan diizinkan masuk ke surga. Sebagaimana yang telah ada ketetapan dalam Shahih  Bukhari, (7047) dari hadits Samurah bin Jundub radhiallahu anhu bahwa yang mendapatkan siksa kubur kebanyakan adalah para pelaku dosa-dosa dari kalangan orang yang bertauhid. Seperti orang yang tidur meninggalkan shalat wajib, pelaku zina, pemakan riba, berbohong hingga kebohongannya menyebar kemana-mana.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits itu terdapat kesimpulan bahwa sebagian pelaku dosa disiksa di alam barzah.” (Fathu Bari, (12/445).

Sebagaimana telah ada ketetapan siksa kubur bagi orang yang tidak menutup (membersihkan) dari kencing dan orang yang menyebarkan namimah (gosip) di tengah masyarakat, seperti dalam riwayat Bukhari, (216) dan Muslim, (292).

Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan,

“Siksa kubur itu ada dua macam. Pertama, bersifat terus menerus selain dari apa yang ada pada sebagian hadits bahwa dia akan diringankan di antara dua semburan bara api. Ketika mereka dibangkitkan dari kubur mereka mengatakan, “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?." (QS. Yasin: 52)

Yang menunjukkan akan kelanggengannya adalah firman Allah ta’aa:

النار يعرضون عليها غدوا وعشيا  

“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang.” (QS. Ghafir: 46)

Kedua: bersifat sesaat dan terputus. Ini siksa bagi sebagian pelaku kemaksiatan yang ringan, sehingga disiksa sesuai dengan kadar dosanya. Kemudian dia diberi keringanan. Seperti disiksa dalam neraka pada suatu waktu kemudian dihilangkan siksanya. Terkadang siksanya dihentikan karena doa atau shadaqah atau minta ampunan atau pahala haji. (Ar-Ruh, hal. 89)

Kedua:

Ada perbedaan antara siksa kubur yang menimpa pelaku maksiat dengan apa yang menimpa orang mukmin di kuburnya berupa tekanan dan fitnah dua malaikat. Hal ini bukan termasuk siksa. Maka kegentingan dan dahsyatnya alam kubur serta tekanannya terjadi pada setiap orang termasuk kepada orang-orang shalih di antara orang-orang beriman akan merasakan hal itu juga.

Sementara siksa dalam artian khusus, seperti apa yang telah kami isyaratkan pada point pertama dari jawaban, dia adalah siksa bagi dosa tertentu, bukan umum untuk setiap orang.

As-Suyuthi rahimahullah mengomentari dalam kitab ‘Hasyiyah alan Nasa’i, (4/103): “Nasafi mengatakan, ‘Orang mukmin yang taat tidak akan mendapatkan siksa kubur akan tetapi dia mengalami tekanan di alam kubur.’

Yang menjelaskan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, (23762) dari Aisyah dari Nabi sallallahu alaihi wa salam bersabda:

إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِيًا مِنْهَا نَجَا مِنْهَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ  (صححه الألباني في الصحيحة، رقم 1695)

“Sesunguhnya dalam kubur itu ada himpitan, seandainya ada seseorang yang selamat darinya, maka Sa’ad bin Muadz yang akan selamat.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah As-Shahihah, no. 1695).

Himpitan ini adalah yang pertama kali dirasakan oleh mayit masuk ke alam kubur. Bukan termasuk siksa kubur yang menimpa para pelaku dosa dari kalangan umat islam. Dengan dalil bahwa hal itu juga menimpa Sa’ad bin Muadz radhiallahu’anhu. Dimana Asry Rohman itu berguncang atas kematian beliau. Sebagaimana yang telah ada ketetapan dalam Bukhari, (3803) dan Muslim, (2466).

Ketiga:

Ungkapan penanya ‘Setiap enam hasta itu enam inci’ dalam memperkirakan hasta yang ada dalam hadits “dilapangkan baginya dikuburnya tujuh puluh hasta”, adalah ungkapan yang tidak ada dalilnya. Karena kehidupan alam barzah termasuk sesuatu yang gaib yang kita Imani dan tidak bisa dikiaskan dengan kiasan dunia. Maka kita meyakini bahwa orang mukmin akan dilapangkan kubur tujuh puluh hasta dan kita tidak membicarakan ukuran hast, karena dia termasuk perkara gaib. Yang menunjukkan hal itu adalah hadits A-Baro yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, (18063) tentang sifat itu. Di dalamnya ada ‘dilapangkan baginya dikuburnya sepanjang pandangan mata.’ Dishahihkan oleh Al-Albani dalam ‘Shahih  Al-Jami’, (1676). 

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam