Alhamdulillah.
Pertama:
Allah –Ta’ala- telah mewajibkan kepada pelaku poligami agar berlaku adil kepada istri-istrinya dalam hal pembagian hari, nafkah dan tempat tinggal. Semua itu adalah keadilan yang bersifat dzahir dan sesuai kemampuan, dan barang siapa yang belum mampu untuk merealisasikannya maka poligami menjadi haram baginya.
Kecemburuan seorang wanita dalam masalah poligami adalah perkara yang tidak bisa dihindari. Seorang suami yang cerdas adalah yang mampu mengatur rumah tangganya atas dasar keadilan, cinta dan kasih sayang. Permintaan seorang istri untuk tinggal jauh dari suaminya atau meminta cerai sebaiknya tidak langsung dituruti oleh suaminya; karena yang demikian itu merupakan senjata terakhir bagi seorang istri untuk bisa menekan suaminya agar tidak jadi menikah lagi atau menceraikan istri keduanya. Maka atas dasar itulah maka jangan terburu-buru untuk menceraikan istri pertamanya karena dia memilih untuk tinggal bersama anak-anaknya dan jauh dari anda. Demikian juga janganlah terburu-buru untuk menceraikan istri kedua anda, pada saat anda kembali rujuk dengan istri pertama dengan haknya yang sempurna, barang siapa yang terus menerus menuntut anda –setelah kesabaran anda dan kebijaksaan anda- maka janganlah putus asa kepadanya, pada saat dia memilih jalannya sendiri.
Kedua:
Adapun secara khusus bagi istri pertama, maka apa yang anda lakukan kepadanya tidak terlepas dari dua hal, apakah hari yang diberikan merupakan hibah darinya karena dia sebenarnya mempunyai hak akan giliran hari dari anda, atau pemberian itu merupakan bentuk perdamaian dengan madunya. Jika yang dimaksud adalah yang pertama, maka dia boleh menarik keputusannya dan meminta anda untuk memenuhi haknya sama dengan madunya, anda pun wajib memenuhinya. Namun jika yang dimaksud merupakan bentuk perdamaian; karena anda tidak menceraikannya, maka perbuatan tersebut dibolehkan bahkan yang demikian itu lebih baik dari pada bercerai; agar anda tetap menjadi suaminya yang sah, anda bisa masuk ke rumahnya, saling memandang pun tidak masalah. Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah firman Allah –Ta’ala-:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ) النساء/ 128
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An Nisa`: 128)
Syeikh Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah- berkata:
“Maksudnya adalah jika seorang wanita mengkhawatirkan nusyuz suaminya, wanita tersebut sudah tidak mencintainya lagi, demikian juga suaminya, bahkan berpaling darinya, maka jalan terbaik dari masalah ini adalah menempuh jalan damai, hendaknya pihak wanita memberikan toleransi pada sebagian hak-haknya yang seharusnya ia terima dari suaminya, namun tetap menjadi suaminya, misalnya; istri tersebut rela dengan nafkah yang sedikit, pakaian, tempat tinggal atau menggugurkan haknya untuk mendapatkan giliran atau menghibahkan giliran harinya kepada suaminya atau kepada istri keduanya.
Jika keduanya sepakat dengan kondisi seperti itu, maka tidak masalah baik dari pihak suami atau istrinya. Dibolehan bagi seorang suami untuk bermalam di rumah istrinya yang pertama, meskipun dalam kondisi seperti itu, yang demikian itu lebih baik dari pada bercerai, maka dari itu firman Allah:
( وَالصُّلْحُ خَيْرٌ )
“Dan perdamaian itu lebih baik”. (QS. An Nisa`: 128)
(Tafsir as Sa’di: 206)
Apakah boleh bagi seorang istri untuk menarik kembali perdamaiannya atau melanggarnya ?
Jawabannya adalah:
“Tidak boleh baginya untuk menarik kembali perdamaiannya, dan tidak wajib bagi suaminya untuk memenuhinya, akan tetapi dia boleh memilih untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan pendapat jumhur ulama berbeda, mereka berpendapat bahwa boleh bagi seorang wanita untuk menarik kembali perdamaiannya dan suaminya wajib menerimanya”.
Ibnu Baththal –rahimahullah- berkata:
“Mereka berbeda pendapat, apakah perdamaian tersebut bisa ditarik kembali. Ubaidah berkata: “Keduanya (suami istri) sesuai dengan kesepakatan perdamaian di antara mereka, jika istrinya melanggar, maka wajib bagi suaminya untuk berlaku adil kepadanya atau menceraikannya”. Pendapat ini dikuatkan juga oleh: An Nakho`i, Mujahid dan `Atho’. Ibnul Musndzir berkata bahwa pendapat tersebut juga pendapat Ats Tsauri, Syafi`i dan Ahmad. Al Kufiyyun berkat: “Berdamai dalam masalah tersebut hukumnya boleh”. Ibnul Mundzir berkata: “Saya tidak menemui bahwa mereka (para ulama) yang membolehkan menarik kembali perdamaiannya”. Al Hasan al Bashri berkata: “Seorang istri tidak boleh melanggar perdamaian sebelumnya, keduanya terikat dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya”. Pendapat Hasan adalah: “Mengkiaskan pendapat Malik dengan seseorang yang menangguhkan kembali jatuh tempo bayar hutangnya atau meminjamkan barang sampai pada batas yang ditentukan namun tidak kembali”. Pendapat Ubaid merupakan qiyas dari pendapat Abu Hanifah dan Syafi`i; karena merupakan hibah (pemberian) manfaat yang bersifat insidental belum diterima, maka boleh ditarik kembali”. (Syarh Shohih Bukhori: 7/328)
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat jumhur lebih selamat, meskipun pendapat yang lain lebih kuat.
Telah kami jelaskan perbedaan antara hibah (memberikan gilirannya) dengan berdamai dan kami ikut sertakan fatwa para ulama dalam masalah tersebut pada jawaban soal nomor: 161302, maka silahkan anda menyimaknya.
Ketiga:
Tidak boleh bagi istri keduanya untuk meminta cerai, jika anda kembali rujuk dengan istri pertama anda, kalau tidak maka ia akan terkena ancaman dalam hadits berikut.
Dari Tsauban berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ ) رواه الترمذي ( 1187 ) وأبو داود ( 2226 ) وابن ماجه ( 2055 ) ، وصححه الألباني في " صحيح الترمذي " .
“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa adanya alasan apapun, maka diharamkan baginya aroma surga”, (HR. Tirmidzi: 1187, Abu Daud: 2226 dan Ibnu Majah: 2055 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Tirmidzi)
Lihat juga jawaban soal nomor: 127145.
Jika istri kedua anda telah berusaha hidup bersama dengan adanya istri pertama dan tidak sabar dengan dengan kehidupan poligami suaminya dan hawatir tidak mampu menunaikan hak suaminya, maka tidak masalah untuk meminta khulu’ (cerai), sebagaimana sudah kami jelaskan dalam jawaban soal nomor: 452.
Baca juga rincian masalah khulu` pada jawaban soal nomor: 26247, baca juga tentang masa iddah dari khulu` dan rujuknya wanita yang dicerai karena khulu` pada kedua jawaban soal nomor: 5163 dan 14569. Baca juga tentang perbedaan antara khulu` dan talak pada jawaban soal nomor: 175765.
Keempat:
Jika seorang suami butuh menikah lagi dengan istri kedua, maka tidak selayaknya bagi orang tua untuk melarangnya, jika dia tetap menikah tanpa restu orang tua, maka hukum asalnya hal tersebut tidak dianggap durhaka, bisa dibaca rincian hal tersebut pada jawaban soal nomor: 98768.
Hanya saja kami tidak menganjurkan anda tetap menikah dengan yang kedua, kalau akan menjadikan pernikahan anda dengan yang pertama ada dalam bahaya dan rapuh, bukanlah seorang yang berakal jika dia membangun istana namun menghancurkan kota…!!. Jika anda ditakdirkan butuh menikah lagi dan mempunyai keinginan, maka disinilah peran penting dalam memilih pilihan anda yang baik. Apa yang mendorong anda untuk menikah dengan istri yang kedua kalau akan mengancam rumah tangga anda yang pertama, menjadikan anda terikat dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mengikat anda. Yang menjadi kewajiban anda adalah memilih yang sesuai dengan kondisi anda, anda hendaknya memilih istri yang mau menerima posisi dia sebagai istri kedua, dan anda tidak siap kalau harus menghancurkan rumah tangga pertama anda, jika pergaulan kedua keluarga berjalan baik maka itulah yang diharapkan, kalau tidak bisa maka hendaknya anda memilih yang akan membawa maslahat bagi anda, kondisi anda, anda tidak terikat dengan sesuatu yang sejak awal tidak mengikat anda.
Wallahu a’lam.