Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Hukum Jalannya Imam Ke Arah Kiblat Sampai Di Mikrofon Agar Orang Dapat Mendengarnya

190016

Tanggal Tayang : 07-03-2019

Penampilan-penampilan : 7185

Pertanyaan

Ditengah shalat taroweh, listrik mati menjadikan kita shalat di tempat belakang masjid. Hal itu karena cuaca sangat panas. Ditengah shalat, listrik menyala lagi. Maka imam sambil membaca berjalan ke arah kiblat sejauh sekitar 25 M agar sampai di mikrofon. Akan tetapi kami sebagai makmum tidak mengikuti hal itu. Setelah shalat kita katakan kepadanya apa yang menjadikan anda melakukan hal itu. Beliau menjawab, “Itu gerakan agar sampai ke pengeras suara. Karena para wanita di tingkat atas setelah listrik menyala, kipas angin menyala terkadang tidak mendengar suara (imam) dengan jelas. Mohon penjelasan dalam masalah gerakan sepanjang ini dan seberapa jauh diperbolehkan. Dan apa batasan gerakan dalam shalat? Apakah ada perbedaan antara shalat wajib dan sunah? Apa batasan dorurat dalam gerakan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Diperbolehkan gerakan dalam shalat kalau untuk kemaslahatan shalat meskipun banyak. Diriwayatkan Bukhori (403) dan Muslim (526) dari Abdullah bin Umar berkata,

  بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا ، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ  

“Ketika orang di Quba waktu shalat subuh, tiba-tiba ada orang datang dan mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah diturunkan Ayat Qur’an malam ini, dan diperintahkan menghadap ke Ka’bah, maka menghadaplah. Sementara waktu itu mereka menghadap ke Syam. Sehingga mereka berputar ke arah Ka’bah.

Ibu Ustaimin rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya diperbolehkan gerakan untuk kemaslahatan shalat.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa Wa Rasail Ibnu Utsaimin, 12/354.

Gerakan dalam shalat dibagi menjadi lima bagian. Hal itu sesuai dengan kebutuhannya. Kalau pemicunya adalah gerakan waib, maka itu wajib. Kalau pemicunya haram. Maka gerakannya itu haram. Dan begitulah. Silahkan merujuk penjelasan hal itu dalam jawaban soal no. 12683.

Dari situ maka gerakan imam ke depan ke arah kiblat agar sampai ke pengeras suara agar para wanita mendengarkan suara dan takbirnya. Kalau suaranya tidak sampai ke para wanita. Atau disana ada kepayahan tambahan untuk memperdengarkan para wanita bacaan imam. Maka prilakunya itu benar dan dianjurkan. Karena itu untuk kemaslahatan shalat. Diriwayatkan Abu Dawud, 922 dari Aisyah radhiallahu anhu berkata:

  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ ، فَجِئْتُ فَاسْتَفْتَحْتُ ، فَمَشَى فَفَتَحَ لِي ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلَّاهُ ، وَذَكَرَ أَنَّ الْبَابَ كَانَ فِي الْقِبْلَةِ

حسنه الألباني في "صحيح أبي داود"

“Dahulu Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat sementara pintunya terkunci. Maka saya datang dan minta dibukakan. Maka beliau berjalan dan membukakan (pintu) untukku. Kemudian kembali ke tempat shalat. Disebutkan bahwa pintunya ada di arah kiblat.” Dihasankan oleh Albany di Shoheh Abu Dawud.

Diriwayatkan Ibnu Huzaimah, 827 dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي فمرت شاة بين يديه فساعاها (سابقها) إلى القبلة حتى ألزق بطنه بالقبلة
صححه الألباني في "صفة الصلاة" (ص83)

“Sesungguhnya Nabi sallallahu aliahi wa sallam dahulu shalat, ada kambing yang lewat diantara beliau. Maka beliau lebih mendahului ke arah kiblat sampai perutnya menempel di kiblat (dinding).” Dinyatakan shoheh oleh Alban dalam ‘Sifat Sholat, hal. 83

Sungguh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pernah shalat bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Maka beliau berdiri disisi kirinya. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengalihkan ke sebelah kanannya. HR. Bukhori, 138. Muslim, 763.

Kalau para wanita mendengar suaranya tanpa pengeras suara Cuma kalau mereka mendengar dengan pengeras suara lebih jelas dan lebih baik. Apa yang dilakukan itu tidak dianjurkan. Ia termasuk sangat dimakruhkan. Karena gerakannya banyak yang mungkin tidak perlu dilakukan. Bisa jadi akan mengganggu orang shalat dalam shalatnya. Kegaduhan, perbedaan dan perselisihan baik dalam shalat maupun setelah shalat.

Kedua:

Batasan gerakan dalam shalat, batasannya adalah diperbolehkan untuk kemaslahatan shalat meskipun gerakannya banyak. Kalau bukan untuk kemaslahatan shalat dan tidak ada kebutuhan yang dilakukan. Maka dimakruhkan meskipun gerakan sedikit dan membatalkan shalat kalau gerakan banyak.

Mardawai dalam ‘Al-Inshof, (2/129) mengatakan, “Gerakan banyak menurut kebiasaan bukan dari jenis shalat, membatalkan shalat baik sengaja atau lupa. Ketahuilah bahwa shalat batal dengan gerakan banyak dengan sengaja tanpa ada perbedaan yang saya ketahui. Dan membatalkan juga kalau lupa menurut pendapat kuat mazhab. Dan diceritakan ijma’ oleh penjelas (hadits) dan ulama lainnya. Maksud batal shalatnya dengan gerakan banyak adalah kalau hal itu tidak ada keperluan.” Selesai

Ketiga:

Sesuai sunah, seorang mukmin menghadap shalat dalam kondisi khusu’ hati dan badannya. Baik shalat wajib maupun sunah. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

  قد أفلح المؤمنون * الذين هم في صلاتهم خاشعون

المؤمنون 1-2

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. QS. Al-Mukminum: 1-2

Dan hukum shalat tidak berbeda antara wajib dan sunah kecuali yang dikhususkan dengan dalil. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Apa yang membatalkan shalat wajib juga membatalkan shalat sunah. Seperti semua pembatal.” Selesai ‘Al-Mugni, (2/47).

Melainkan gerakan shalat sunah lebih banyak kebutuhannya dibandingkan shalat wajib. Hal itu karena shalat sunah biasanya di rumah. Hal ini seringkali terjadi kondisi emergenci yang dibutuhkan orang shalat untuk bergerak. Berbeda dengan shalat wajib yang biasa dilakukan di masjid. Sebagaimana hadits tadi dimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuka pintu untuk Aisyah. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Hazm di Muhalla, (2/126) dari Muadzah Al-Adawiyah bahwa Aisyah Ummul Mukminin dahulu memerintahkan pembantunya untuk membagi kuah, beliau memerintahkan dalam kondisi shalat. Memberi isyarat agar menambah, memerintahkan memberi sesuatu untuk orang miskin dengan memberi isyarat sementara beliau dalam shalat.

وعنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ:" أَنَّهَا قَامَتْ إلَى الصَّلَاةِ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ، فَأَشَارَتْ إلَى الْمِلْحَفَةِ فَنَاوَلْتهَا، وَكَانَ عِنْدَهَا نِسْوَةٌ فَأَوْمَأَتْ إلَيْهِنَّ بِشَيْءٍ مِنْ طَعَامٍ بِيَدِهَا - تَعْنِي وَهِيَ تُصَلِّي" .

Dari Muadzah dari Aisyah Ummul Mukminin, beliau berdiri shalat dengan memakai baju dan kerudung dan memberi isyarat ke selimut kemudian diambilnya. Dan ada disisi beliau para wanita, kemudian memberi isyarat dengan tangannya ke sesuatu makanan -maksudnya dia dalam kondisi shalat.

Keempat:

Lingkupan dhorurat gerakan dalam shalat diketahui dengan kadar kebutuhannya. Kalau kebutuhannya itu dhorurat seperti gerakan untuk kemaslahatan shalat. Seperti gerakan membunuh ular dan kalajengking dalam shalat. Gerakan menyelamatkan seseorang dari tenggelam atau hilang, maka tidak mengapa bagi orang shalat melakukan hal itu bahkan terkadang diperintahkannya.

Kalau kebutuhan gerakan dalam shalat bukan dhorurat, maka gerakannya mengikutinya. Berbeda sesuai dengan perbedaan faktornya. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam soal no. 12683.

Kesimpulannya, yang nampak bagi kami bahwa tidak mengapa bagi imam apa yang dilakukan dalam shalatnya. Kalau disana ada masalah sampai suaranya ke para wanita. Seharusnya para makmum mengikuti dalam shalatnya. Apalagi mereka belum jelas kesalahan hal itu secara yakin.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam

Tema-tema Terkait