Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Bagaimana Para Shahabat Berputar Dalam Shalatnya Ketika Disampaikan Bahwa Kiblat Telah Berubah?

194527

Tanggal Tayang : 22-02-2019

Penampilan-penampilan : 5433

Pertanyaan

Saya mempunyai sedikit permasalahan, ketika saya di Madinah dan mengunjungi Masjid Kiblatain. Disana ada teman yang menjelaskan kepada kami bagaimana para shahabat ketika sampai kepada mereka bahwa kiblat telah berubah. Beliau mencontohkan kepada kami cara berputarnya imam. (Imam) membelah shaf para jamaah shalat dan mereka (para shahabat) juga ikut berputar. Pertanyaannya adalah ketika imam telah berubah kiblat dan memutar, bagaimana posisi para wanita yang dibelakang? Apakah mereka juga ikut memutar atau mereka memutus shalatnya atau mereka tetap pada posisinya? Apa benar Terdapat ketetapan kisah yang shahih tentang cara berpindah kiblat?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kisah perubahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram, Terdapat ketetapan asalnya di dalam Al-Quran. Sebagaimana Terdapat ketetapan sedikit perinciannya dalam sunah nabawiyah. Allah Ta’ala berfirman:

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

سورة البقرة : 142-144

“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 142-144)

Diriwayatkan oleh Bukhori (41) dari Barro bin Azib:

  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ المَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ ، أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ البَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلَّاهَا صَلاَةَ العَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ وَهُمْ رَاكِعُونَ ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ البَيْتِ ، وَكَانَتِ اليَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّي قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الكِتَابِ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ البَيْتِ ، أَنْكَرُوا ذَلِكَ

“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam pertama kali beliau datang di Madinah, tinggal bersama keluarga kakek atau pamannya dari kalangan Ansor. Saat itu beliau ketika shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Beliau menginginkan kiblatnya menghadap ke Baitullah. Shalat yang pertama kali beliau tunaikan (setelah kiblat ke Ka’bah) adalah shalat asar. Beliau shalat bersamanya jamaah, kemudian (setelah selesai shalat) seseorang yang shalat bersamanya keluar dan melewati jamaah masjid dalam kondisi rukuk. Maka dia mengatakan, “Saya bersaksi kepada Allah, saya telah menunaikan shalat bersama Rasulullah sallallahu aliahi wa sallam menghadap ke Mekah. Maka mereka berputar mengarah ke arah Baitullah. Dahulu orang Yahudi menyukai kalau beliau shalat menghadap Baitul Maqdis begitu juga ahli kitab. Ketika beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu.”

Diriwayatkan Muslim, (527) dari Anas.

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَنَزَلَتْ: قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ (سورة البقرة/ 144)  فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ وَهُمْ رُكُوعٌ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَقَدْ صَلَّوْا رَكْعَةً ، فَنَادَى : أَلَا إِنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ ، فَمَالُوا كَمَا هُمْ نَحْوَ الْقِبْلَةِ

“Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dahulu shalat menghadap Baitul Maqdis, maka Allah menurunkan ayat:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

سورة البقرة: 144 

“Sungguh Kami (sering) melihat  menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”  (QS. Al-Baqarah: 144)

Kemudian ada seseorang lewat dari Bani Salamah, sementera mereka dalam kondisi rukuk dalam shalat fajar. Dimana mereka telah shalat satu rakaat. Maka dia mengatakan, “Ketahuilah bahwa kiblat telah berubah. Maka mereka berubah ke arah kiblat.

بَيْنَمَا النَّاسُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِ اُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا ، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ

Ketika orang shalat subuh di Quba, tiba-tiba ada orang datang seraya mengatakan, “Sesungguhnya Rasululla sallallahu aliahi wa sallam telah diturunkan kepadanya malam hari, dan beliau diperintahkan menghadap ke Ka’bah, maka mereka menghadap ke Ka’bah. Sebelumnya wajah mereka menghadap ke Syam, mereka berpuatar ke arah Ka’bah.”

Kedua:

Adapun cara para shahabat radhiallahu anhum adalah berputar ketika sampai berita kepada mereka bahwa kiblat telah beralih –di tengah-tengah shalat-. Yaitu dengan dengan cara imam memutar setengah lingkaran bersama para makmum dari tempatnya. Sehingga posisi imam berada di belakang masjid dari arah Ka’bah, dan makmum laki-laki di belakangnya, sementara para wanita di tempat lelaki. Ungkapan (Berputar) dan (condong) dalam hadits, tak harus berarti menerobos shaf dari arah Imam, apa yang terjadi hanya sekedar berputar.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Adanya penjelasan berpaling dalam hadits Tsuwailah binti Aslam di Ibnu Abi Hatim, disebutkan sebagian berdekatan seraya mengatakan di dalamnya, “Maka para wanita berubah di tempat para lelaki. Dan para lelaki menempati tempat para wanita. Maka kami shalat dalam dua rakaat yang tersisa ke arah Baitul Haram.”

Saya mengatakan, “Gambarannya adalah bahwa Imam berpindah dari tempatnya dari depan masjid ke belakang masjid. Karena orang yang menghadap Ka’bah, berputar ke Baitul Maqdis. Kalau seandainya dia berputar di tempatnya, tidak mungkin di belakangnya cukup untuk shaf. Ketika Imam dan makmum berubah, sehingga mereka menjadi dibelakangnya. Para wanita pun berubah sampai mereka di belakang para lelaki. Hal ini membutuhkan gerakan banyak dalam shalat. Ada kemungkinan hal itu terjadi sebelum pengharaman gerakan banyak. Sebagaimana sebelum pengharaman berbicara. Ada kemungkinan, dimaafkan gerakan yang disebutkan karena untuk kemaslahatan yang disebutkan. Atau gerakannya tidak terus menerus ketika berubah. Tetapi terjadi secara berselang. Wallahu a’lam (Fathul Bari, 1/506-507 dengan penomoran Syamilah. Silahkan melihat tafsir Ibnu Katsir, 1/167, 470).

Ketiga:

Mengunjungi beberapa tempat atau tujuh lokasi sebagaimana yang marak di madinah Nabawiyah dengan niat beribadah dan mendapatkan pahala, termasuk tidak disyariatkan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Masjid tujuh, masjid Qiblatain dan tempat-tempat lain yang disebutkan sebagian penulis manasik dan ziarahnya, hal itu tidak ada asalnya juga tidak ada dalillnya. Yang dianjurkan bagi orang mukmin senantiasa ittiba’ (mengikuti) bukan ibtida’ (membuat bid’ah).” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 6/321)

Untuk faedah, silahkan lihat jawaban soal no. 11669.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam