Alhamdulillah.
Semua aturan yang ada dalam al Qur’an dan Sunnah telah menjamin untuk menjaga keutuhan keluarga dan rumah tangga dari keretakan, menjaga masyarakat dari upaya perusakan nafsu yang selalu menyuruh pada kejahatan, dan merealisasikan keadilan bagi semua komponen masyarakat dengan izin Allah –Ta’ala-.
Oleh karenanya diharamkan bagi seorang muslim untuk menawarkan diri untuk menikahi wanita yang masih bersuami dengan sebab apapun, meskipun suaminya tidak di rumah karena dipenjara, hilang, sedang bertengkar dan bersengketa; karena ada ancaman yang keras pada hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا ) رواه أبو داود (2175) ، وصححه الألباني في " صحيح أبي داود "
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang merusak (hubungan) wanita dengan suaminya”. (HR. Abu Daud: 2175 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)
Ancaman yang keras juga berlaku bagi wanita yang menerima tawaran menikah tersebut, merusak keluarga dan rumah tangga pertamanya tanpa sebab, kecuali ada tawaran dari laki-laki lain yang mengisi hatinya dengan angan-angan dan mimpi syaithani:
)أَيُّمَا امرَأَةٍ سَأَلَت زَوجَهَا طَلَاقًا فِي غَيرِ مَا بَأسٍ فَحَرَامٌ عَلَيهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ ) رواه الترمذي (1187)
“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang jelas, maka dia akan diharamkan dari mencium baunya surga”. (HR. Tirmidzi: 1187)
Yang demikian itu termasuk sebesar-besarnya dosa di hadapan Allah –‘Azza wa jalla-, sebagaimana yang telah kami jelaskan pada jawaban soal nomor: 84849, 125191 dan 176201.
Jika para ahli fikih telah bersepakat untuk melarang meminang wanita yang sedang berada pada masa iddah, apalagi kepada wanita yang statusnya masih bersuami, mereka akan lebih melarang lagi untuk melamarnya, bahkan menawarkan diri saja tidak boleh, walau bagaimanapun kondisi pernikahannya dengan suaminya, hal ini untuk memutus upaya perusakan dan kejahatan. Oleh karena itu Ibnu Hajar al Haitsami –rahimahullah- telah berkata:
“Diharamkan meminang wanita yang bersuami menurut konsensus (ijma’) para ulama”. (Tuhfatul Muhtaj: 7/209)
Maka yang menjadi kewajiban penanya di atas adalah menyerahkan keputusan itu kepada wanita yang masih berstatus istri orang lain (tanpa dipengaruhi) dan menunggu hingga terjadi perceraian dengan suaminya yang dipenjara, baik dengan permintaannya atau talak yang diputuskan oleh hakim yang sesuai syari’at, sehingga dia bebas menentukan pilihannya setelah itu, maka baru boleh baginya untuk menentukan menikah lagi. Sebagaimana telah kami jelaskan juga pada jawaban soal nomor: 150964. Kemudian jika dia ingin meminangnya setelah berlalunya masa iddahnya maka hal itu dibolehkan.
Namun jika menjanjikan akan dinikahi dengan memberikan harapan akan mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, padahal ia masih berstatus sebagai istri orang lain meskipun sedang dipenjara, maka yang demikian itu bukanlah merupakan harga diri dari seorang laki-laki dan tidak berakhlak dan bukan ajaran dari agama Islam; karena merupakan bentuk penistaan kepada harga diri orang yang terlindungi. Jika syari’at telah menganggap ghibah (menggunjing orang) sebagai dosa besar dan memakan daging bangkai saudaranya, sebagaimana firman Allah –Ta’ala-:
( وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ ) الحجرات/12
“…dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat: 12)
Alangkah besarnya dosa seseorang yang menodai kehormatan saudaranya yang sedang dipenjara, tidak diragukan lagi hal tersebut adalah seberat-beratnya dosa dan seburuk-buruknya kejahatan,
( وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ ) البقرة/235.
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS. al Baqarah: 235)
Barang siapa yang sudah terlanjur melakukannya maka wajib baginya untuk segera bertaubat, beristighfar dan menyesali perbuatannya, serta berazam untuk tidak melakukan perbuatan yang serupa, juga berupaya untuk menebus dosanya dengan memperbanyak amal sholeh, berbuat baik kepada orang yang dipenjara tersebut sesuai kemampuannya meskipun hanya bersedekah yang diatasnamakan kepadanya, semoga Allah nantinya berkenan memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada mereka berdua.
Bahwa wanita tersebut jika diceraikan oleh seorang hakim, masa iddahnya pun berlalu, kemudian wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki tersebut, maka pernikahannya tetap sah dan tidak wajib memperbarui akad nikahnya. Para ulama fikih berkata: “Jika seseorang berterus terang ingin melamarnya atau menyampaikan dengan samar-samar pada waktu yang diharamkan, kemudian dia jadi menikahinya pada masa yang dibolehkan, maka pernikahannya sah”. Malik berkata: “Seseorang mentalak istrinya, lalu ia menikahinya lagi, maka hal ini tidak dibenarkan; karena tidak dibarengi dengan akad, maka tidak ada pengaruhnya”. (al Mughni: 7/148)
Wallahu a’lam.