Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Seputar Masalah Uzur Dan Jahl (ketidak tahuan)

Pertanyaan

sebagian kerabat kami dari kalangan sufi. Mereka mengikuti apa yang dikatakan syekh mereka dimana mereka meyakini (syekhnya) dari kalangan ahli ilmu. Mereka melakukan amalan yang masuk didalamnya syirik akbar. Akan tetapi mereka melakukan berdasarkan takwil khusus bagi mereka. Mereka tidak faham bahasa arab. Akan tetapi mereka mempunyai Qur’an terjemahan dengan bahasa ibu mereka. Tapi tidak membacanya. Padahal saya membaca bahwa seorang muslim tidak ada uzur terkait dengan syirik akbar (besar). Kalau dia mampu membaca Al-Qur’an –kalau dia mampu sampai (memahami) Qur’an di lingkungan dia hidup- atau memungkinkan sampai kepada para ulama dan menanyakannya serta merujuk kepadanya. Apakah harus mengkafirkan mereka? Atau harus hati-hati dari pengkafiran kepada mereka?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Seharusnya seorang muslim merealisasikan ketauhidan, mengikuti sunah dan (melakukan) sunah sesuai dengan pemahaman ulama salaf soleh. Serta menjauhi bid’ah dan orangnya. Sementara metode sufi termasuk dari kalangan ahli bid’ah. Maka seharusnya menjauhi metode dan jalannya. Silahkan merujuk jawaban soal no. 118693.

Kedua:

Tidak diperbolehkan mempermudah mengkafirkan atau mengfasikkan orang muslim. Karena hal itu termasuk berbohong kepada Allah dan berbohong kepada umat Islam. Tidak diperbolehkan mengkafirkan atau mengfasikkan orang muslim kecuali kalau telah ada yang mengharuskan hal itu baik ucapan atau perbuatan dengan dalil dari Kitab dan Sunah.

Begitu juga tidak diperbolehkan mengkafirkan atau mengfasikkan kecuali telah terpenuhi syarat pengkafiran atau mengfasikan dan hilangnya penghalang.

Diantara syaratnya adalah dia mengetahui penyimpangannya yang mengharuskan dia kafir atau fasik

Diantara penghalangnya adalah mentakwil atau dia mempunyai sebagian syubhat yang dikiranya sebagai dalil. Atau tidak dapat memahami pemahanan hujah syariyyah sesuai dengan yang ditetapkan. Maka pengkafiran tidak diperbolehkan kecuali telah terealisasi kesengajaan menyimpang dan hilangnya jahl (ketidak tahuan). Silahkan melihat jawaban soal no. 85102 untuk mengetahui patokan pengkafiran.

Ketiga:

Yang benar terkait dengan permasalah ketidak tahuan dan uzur adalah bahwa seorang muslim yang telah ada ketetapan keislamannya, tidak dapat hilang hanya sekedar syubhat bahkan ia tidak dapat hilang kecuali dengan keyakinan. Dan terealisasi adanya hujah risalah kepadanya dan menghilangkan uzur darinya.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah mengatakan, “Kalau kita tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala kepada Abdul Qodir, dan berhala yang ada di kuburan Ahmad Baduwi dan semisal itu karena ketidak tahuan. Dan tidak ada orang yang mengingatkan. Bagaimana kita mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan kepada Allah selagi dia belum berhijrah kepada kita. Atau belum dikafirkan dan diperangi? (Maha suci Allah ini termasuk kebohongan yang agung).” Selesai dari ‘Dur Saniyah, (1/104).

Telah diketahui bahwa asalnya orang-orang non Arab, mereka hidup di negara dan masyarakat yang mayoritas belum banyak mengetahui tentang hukum-hukum Islam dan syareatnya. Terutama terkait dengan sunah-sunah dan hakekat tauhid. Mereka sekedar beriman secara menyeluruh dan global. Sementara banyak yang belum mengetahui perincian ini.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah  mengatakan, “Pengkafiran itu termasuk ancaman, sesungguhnya meskipun ia mendustakan terhadap apa yang dikatakan Rasul. Akan tetapi bisa jadi seseorang baru masuk Islam atau hidup di desa nan jauh. Kondisi semacam ini tidak boleh dikafirkan terhadap apa yang diingkarinya sampai kepadanya hujjah (dalil). Bisa jadi seseorang belum mendengarkan nash-nash itu, atau mendengarnya akan tetapi belum tetap (kuat) menurutnya atau dia mendapatkan (dalil) lain yang berbeda yang mengharuskan mentakwilkannya meskipun itu salah. Saya senantiasa menyebutkan hadits yang ada dalam dua shoheh (Bukhori dan Muslim) terkait seseorang yang mengatakan: 

( إذا أنا مت فأحرقوني ، ثم اسحقوني ، ثم ذروني في اليم ، فوالله لئن قدر الله عليَّ ليعذبني عذاباً ما عذبه أحداً من العالمين . ففعلوا به ذلك ، فقال الله : ما حملك على ما فعلت ؟ قال : خشيتك . فغفر له

“Ketika saya mati, maka bakarlah diriku kemudian leburkan dan lemparkan saya ke laut. Demi Allah, kalau Allah mampu terhadap diriku, maka Allah akan mengazabku dengan azab yang belum pernah ada di alam ini. Maka mereka melakukannya. Maka Allah berfirman, “Apa yang melatar belakangi anda melakukan hal itu. Maka dia menjawab, “Karena takut kepada-Mu, maka Allah ampuni dia.”

Orang yang mentakwilkan ayat dari kalangan ahli ijtihad, yang menjaga (agar tetap) megikuti Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam  itu lebih utama mendapatkan ampunan dari cerita semacam ini.” Orang ini ragu-ragu terhadap kekuasaan Allah. dan dalam pengembalian semulai ketika menjadi debu. Bahkan dia meyakini tidak akan kembali lagi (dibangkitkan). Ini termasuk kafir menurut kesepakatan umat Islam. Akan tetapi dia tidak mengetahui akan hal ini. Padahal dia beriman takut kepada Allah akan siksa-Nya, maka Allah ampuni dia akan hal itu.

Orang yang mentakwilkan ayat dari kalangan ahli ijtihad, yang menjaga (senantiasa) mengikuti Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam  itu lebih utama mendapatkan ampunan dari cerita semacam ini.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (3/231).

Beliau juga mengatakan, “Kebanyak orang tumbuh di tempat dan zaman dimana banyak ilmu kenabian telah hilang sampai tidak tersisa orang yang menyampaikan apa yang Allah utus Rasul-Nya dari Kitab dan sunah. Banyak yang tidak mengetahui dari apa yang Allah utus untuk Rasul-Nya. Karena disana tidak ada orang yang menyampaikan hal itu. Kondisi seperti ini, tidak boleh dikafirkan. Oleh karena itu, para imam bersepakat bahwa orang yang hidup di pedesaan jauh dari ahli ilmu dan iman. Dimana dia baru masuk Islam dan mengingkari sesuatu dari hukum syareat yang jelas mutawatir. Maka dia tidak dihukumi kafir sampai dia mengetahui apa yang datang dari Rasul.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (11/407).

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Gozali dalam kitab ‘Tafriq Bainal Iman Wa Zandaqah’ mengatakan, “Selayaknya agar diperhatikan darinya penghafiran selagi ada solusi keluar darinya. Karena sesungguhnya menghalalkan darah umat yang menunaikan shalat mengikrarkan dengan tauhid itu suatu kesalahan. Salah dalam membiarkan seribu orang kafir hitup itu lebih ringan dibandingkan menumpahkan (darah) dari satu orang Islam.” Selesai dari ‘Fathul Bari, (12/300).

Yang harus dilakukan oleh penanya disini adalah berusaha keras untuk mendakwahi kerabat dan kenalannya dan menyampaikan tauhid serta sunah. Sabar terhadap gangguan atas berpalingnya atau jafwah (keringnya) karena hal itu posisi teragung yang dilakukan seorang hamba terhadap manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ * وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ * وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ) فصلت/33-36

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Fusilaat: 33-36.

Wallahu a’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam