Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Hukum Meminjam

Pertanyaan

Apa arti meminjam (‘Ariyah)? Dan apa hukum-hukumnya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Para ulama’ fikih rahimahumullah telah mendefinisakan pinjaman (‘ariyah) adalah manfaat mubah pada suatu barang, yang diperbolehkan untuk memanfaatkanya dan manfaat itu masih tetap ada setelah selesai penggunaannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya.

Dari definisi ini maka dikeluarkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya kecuali dengan hilangnya suatu barang itu seperti makanan dan minuman.

Pinjaman (’Ariyah) itu disyareatkan dalam Kitab, Sunnah dan Ijma’ (konsensus para ulama’).

Allah berfirman:

ويمنعون الماعون

“dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” QS. Al-Maun: 7.

Maksudnya adalah barang yang biasa dipakai diantara mereka. Maka dicela orang yang melarang kepada orang yang membutuhkan untuk meminjamnya. Dimana ayat yang mulai ini menunjukkan akan pendapat wajibnya memberi pinjaman. Dan ini adalah pilihan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kalau pemiliknya kaya.

Nabi sallallahu’alahi wa sallam pernah meminjam kudanya Abu Tolhah, begitu juga beliau pernah meminjam peralatan perang dari Sofwan bin Umayyah.

Memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan termasuk mendekatkan diri (kepada Allah) orang yang meminjamkan akan mendapatkan pahala banyak. Karena hal itu termasuk dalam keumuman bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan.

Disyaratkan untuk keabsahan pinjaman itu 4 syarat:

Salah satunya adalah  orang yang meminjamkan itu layak untuk memberikan secara Cuma-Cuma. Karena pinjaman termasuk salah satu bentuk memberikan secara gratis. Maka tidak sah kalau dari anak kecil atau gila atau orang pandir (bodoh).

Syarat kedua: orang yang meminjam layak untuk mendapatkan sesuatu dengan gratis. Dimana agar sah dalam  menerimanya.

Syarat ketiga: manfaat barang yang dipinjam itu mubah, maka tidak diperbolehkan meminjam hamba sahaya muslim untuk orang kafir. Tidak diperbolehkan juga berburu dan semisalnya untuk orang yang sedang ihram (melakukan ibadah haji atau umroh) berdasarkan firman Allah:

ولا تعاونوا على الإثم والعدوان

“dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” QS. AL-Maidah: 2

Syarat keempat : barang yang dipinjamkan memungkinkan untuk diambil manfaatnya dan tetap ada (manfaatnya) seperti tadi.

Orang yang meminjam boleh kapan saja mengembalikan barang pinjamannya. Kecuali kalau hal itu terjadi kerusakan kepada orang yang meminjamnya, kalau dikembalikan barangnya. Seperti kalau dia meminjam perahu untuk membawa barang, maka dia tidak boleh mengembalikannya selagi masih di lautan. Seperti hal nya meminjam tembok rumah untuk menaruh ujung kayunya. Maka dia tidak perlu mengembalikan temboknya selagi masih ada ujung kayunya.

Orang yang meminjam harus menjaga barang pinjamannya sebagaimana dia menjaga hartanya. Agar tetap bagus ketika dikembalikan kepada pemiliknya. Berdasakan firman Allah ta’ala:

إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,” QS. An-Nisa’: 58

Ayat ini menunjukkan akan kewajiban mengembalikan amanat, diantaranya barang pinjaman. Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أد الأمانة إلى من ائتمنك

“Tunaikan amanat kepada orang yang telah memberi amanat kepada anda.

Nash-nash ini menunjukkan akan kewajiban menjaga apa yang telah diamanahkan kepada seseorang dan kewajiban mengembalikan kepada pemiliknya dalam kondisi bagus. Termasuk dalam keumuman ini adalah pinjaman (‘Ariyah). Karena orang yang meminjam itu diberi amanah kepadanya. Dan dia yang dicarinya. Sesungguhnya apa yang diperbolehkan mengambil manfaatnya adalah sebatas kebiasaan yang berlaku, maka dia tidak boleh berlebihan dalam penggunaannya sampai menjadi hilang. Juga tidak boleh digunakan yang tidak layak untuk digunakannya. Karena pemiliknya tidak akan mengizinkan kepadanya akan hal itu. Dimana Allah ta’ala telah berfirman:

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” QS. Ar-Rahman: 60.

Kalau dia mempergunakan untuk sesuatu yang tidak diizinkan penggunaannya kemudian hilang, maka dia harus menanggunnya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

على اليد ما أخذت حتى تؤديه رواه الخمسة , وصححه الحاكم

“Dari apa yang diambil oleh tangannya, sampai dia menunaikannya.” HR. lima (pakar hadits) dan dishohehkan oleh Al-Hakim.

Hal ini menunjukkan akan kewajiban seseorang untuk mengambalikan apa yang dipegangnya dimana ia adalah milik orang lain.  dan belum lepas kecuali telah dikembalikan kepada pemiliknya atau orang yang menggantikan posisinya.

Kalau hilang manfaatnya digunakan secara baik, maka orang yang meminjam tidak menanggungnya. Karena barang yang dipinjamkan telah diizinkan dengan penggunaan ini. Dan dampak dari apa yang telah diizinkan maka dia tidak menanggungnya.

Hal ini ada perbedaan para ulama terkait dengan tanggungan orang yang meminjam barang pinjaman kalau hilang di tangannya ketika bukan untuk yang dipinjamkan. Sekelompok (ulama’) berpendapat, wajib menanggungnya baik dia melampaui batas atau tidak melampaui batas. Berdasarkan keumuman sabda Nabi sallallahu’alaihi wa salla:

على اليد ما أخذت حتى تؤديه

“Dari apa yang diambil oleh tangannya, sampai dia menunaikannya.”

Hal itu seperti hewan yang mati atau baju yang terbakar atau barang pinjamannya dicuri.

Sementara sekelompok ulama lainnya berpendapat tidak menanggungnya kalau tidak digunakan secara berlebih. Karena dia tidak menanggung kecuali yang melampaui batas. Mungkin ini pendapat yang terkuat, karena peminjam memegangnya atas izin pemiliknya, maka menjadi amanah disisinya seperti barang titipan.

Seharusnya orang yang meminjam menjaga atas barang pinjamannya dan memberikan perhatian. Serta bersegera mengembalikan kepada pemiliknya ketika telah selesai urusannya. Jangan meremehkan urusannya atau (khawatir) akan hilang, karena ia adalah amanah pada dirinya. Dan pemiliknya telah berbuat baik kepadanya. Dan

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” QS. Ar-Rahman: 60.

Refrensi: Sumber: dari kitab Al Mulakhos Al Fiqhi karya Syeikh Sholeh Alu Fauzan.