Alhamdulillah.
Pertama:
Tidak boleh bagi seorang wanita menikahkan diri sendiri tanpa wali, sebagaimana hadits shahi bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
)لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ) رواه أبو داود (2085) ، وصححه الألباني في " إرواء الغليل " (1839)
“ Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud: 2085 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Irwa’ Ghalil: 1839)
Sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
( أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ) رواه أحمد (24417) ، وأبو داود (2083) ، والترمذي (1102) ، وصححه الألباني في " صحيح أبي داود"
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya adalah batil, maka pernikahannya adalah batil, maka pernikahannya adalah batil”. (HR. Ahmad: 24417, Abu Daud: 2083 dan Tirmidzi: 1102 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang perawan dan yang janda. Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata: “Diantara syarat sahnya nikah adalah berasal dari wali, baik wanita tersebut masih perawan atau janda, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
( لا نكاح إلا بولي ) " انتهى من " مجموع فتاوى ابن باز " (21 /39(
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 21/39)
Ada ancaman yang berat bagi siapa saja yang menikahkan dirinya sendiri, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
" لا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ ، وَلا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ؛ فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا " رواه ابن ماجة (1782) ، وهو في " صحيح الجامع " (7298) .
“Janganlah seorang wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri, karena seorang pezina (pelacur) lah yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah: 1782 dalam Shahih al Jami’: 7298)
Jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, maka pernikahannya adalah batil (tidak sah), menurut madzhab jumhur ulama, dan wajib memperbaharui akad antara calon suaminya dan walinya, dengan dihadiri oleh kedua orang saksi yang adil, namun wanita tersebut tidak kena had (hukuman dera) karena zina, karena memperhatikan adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fikih, khusunya madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa pernikahan tanpa wali tetap sah.
Kedua:
Nikah mut’ah (kawin kontrak) adalah pernikahan dengan waktu tertentu yang diketahui oleh kedua mempelai, dengan mahar tertentu, dan secara otomatis akan berpisah setelah masa pernikahan berakhir tanpa membutuhkan talak. Akad tersebut adalah batil dan haram, dan telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 1373, 2377 dan 6595.
Namun apakah nikah mut’ah itu merupakan zina yang menuntut agar ditegakkan hukuman had (dera): maka hal ini menjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah bukanlah perzinaan yang mewajibkan untuk ditegakkan hukuman had (dera); karena adanya syubhat dalam akad, namun tetap wajib ditegakkan hukuman ta’zir yang berat (hukuman sesuai kebijakan hakim) bagi kedua mempelainya, menurut Syafi’iyah pernikahan tersebut berlawanan dengan kebenaran, dan menurut Malikiyah pendapat tersebut adalah lemah, mereka menyatakan: Wajib ditegakkan hukum had baik bagi laki-laki maupun wanitanya; karena pernikahan tersebut adalah pernikahan yang terhapus (rusak).
Disebutkan dalam al Mausu’ah al Kuwaitiyah (41/342): “Jumhul ulama fikih (Hanafiyah, Hanabilah, salah satu pendapat Malikiyah dan pendapat yang benar menurut Syafi’iyah) menyatakan: Bahwa bagi siapa yang melakukan nikah mut’ah dia tidak terkena hukuman had, baik dari pihak laki-lakinya atau pihak wanitanya; karena hukuman had itu terhalang karena beberapa syubhat, syubhat yang dimaksud di sini adalah syubhat adanya perbedaan pendapat, namun pelaku nikah mut’ah mendapatkan hukuman ta’zir jika dia mengetahui hukum pernikahan tersebut adalah haram, hukuman tersebut diberikan karena dia bermaksiat, tidak ada had juga tidak ada denda. Pendapat satunya menurut Syafi’iyah dan pendapat lemahnya Malikiyah menyatakan: “Wajib ditegakkan hukum had bagi laki-laki maupun perempuan yang menikah mut’ah; karena pernikahan tersebut sudah dihapus”.
Ketiga:
Zawaj ‘Urfi (pernikahan secara adat) mempunyai beberapa gambaran, di antaranya:
1.Seorang wanita menikah tanpa wali dan saksi, akan tetapi hanya dengan ijab dan qabul (serah terima) antara kedua mempelai, gambaran seperti inilah yang terkenal di banyak negara tentang julukan tersebut, seperti negara Mesir. Pernikahan ini adalah batil sesuai dengan kesepakatan para ulama. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Al Kubro (3/119): “Jika seorang laki-laki menikahi wanita tanpa wali dan saksi, dan menyembunyikan pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut adalah batil sesuai dengan kesepakatan para ulama, namun jika dia meyakini bahwa pernikahan tersebut boleh dilakukan, maka jima’ yang dilakukan setelahnya adalah jima’ syubhat, anak yang dilahirkan tetap nasabnya pada laki-laki tersebut, mendapat warisan. Adapun masalah hukumannya, mereka berdua berhak mendapatkan hukuman karena akad seperti itu.
2.Mempelai berdua menikah dengan saksi namun tanpa dihadiri wali, pernikahan ini juga batil menurut jumhur ulama’, sebagaimana telah kami jelaskan tentang masalah tersebut pada awal menjawab soal.
3.Kedua mempelai menikah dengan wali dan kedua orang saksi, namun tidak diumumkan, pernikahan ini menurut pendapat yang rajih (kuat) tetap sah, meskipun menyimpang dari perintah syari’at yang sebenarnya agar diumumkan. Telah kami jelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 45663.
Wallahu a’lam.