Alhamdulillah.
, Dalam masalah ini pendapat terpilih yang didukung oleh dalil-dalil adalah yang menyatakan wajibnya menutup wajah. Oleh karena itu seorang pemudi muslimah dilarang menampakkan wajahnya di hadapan lelaki asing yang bukan mahramnya demi mencegah terjadinya kerusakan. Dan hal itu lebih ditekankan lagi jika dapat menimbulkan fitnah (godaan). Ahli ilmu telah menetapkan bahwa sesuatu yang diharamkan dengan alasan mencegah terjadinya kerusakan, dapat dibolehkan jika terdapat maslahat yang lebih besar. Berdasarkan hal itu para ahli fiqih menyebutkan beberapa kondisi tertentu yang mana kaum wanita boleh menampakkan wajahnya di hadapan lelaki asing yang bukan mahramnya bila memang dibutuhkan. Sebagaimana mereka juga dibolehkan melihat kaum lekaki dengan syarat tidak melampaui batas-batas kebutuhan, sebab sesuatu yang dibolehkan kerena alasan darurat atau kebutuhan harus dibatasi sesuai kebutuhan tersebut tidak lebih dari itu. Kondisi-kondisi itu dapat kita simpulkan sebagai berikut:Pertama: Saat khitbah (meminang)
Seorang wanita dibolehkan menampakkan wajah dan dua telapak tangannya di hadapan
lelaki yang berkeinginan meminangnya agar si lelaki itu dapat melihatnya,
dengan catatan harus disertai dengan mahram dan tidak menyentuhnya. Karena
wajah menunjukkan cantik atau tidaknya si wanita dan kedua telapak tangan
menunjukkan subur atau tidaknya badan si wanita.
Abul Faraj Al-Maqdisi berkata: "Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan
ulama tentang bolehnya melihat wajah wanita (saat meminangnya), sebab wajah
adalah pusat kecantikan dan tempat tertumpunya pandangan."
Banyak sekali hadits nabi yang menunjukkan bolehnya seorang peminang melihat
wanita yang dipinangnya, di antaranya:
1-Diriwayatkan dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallahu 'Anhu ia berkata: "Seorang
wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu berkata:
"Wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan diri saya kepada Anda!
Rasulpun mengangkat pandangan kepadanya dan mengamatinya dengan saksama. Kemudian
beliau menundukkan pandangan. Mengertilah wanita itu bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam tidak berminat kepada dirinya, maka iapun duduk. Kemudian
bangkitlah seorang lelaki dari sahabat beliau dan berkata: "Wahai Rasulullah,
jika Anda tidak berminat maka nikahkanlah ia kepada saya"
(H.R Al-Bukhari VII/19, Muslim IV/143, An-Nasa'i VI/113 (lihat Syarah Suyuthi)
dan Al-Baihaqi VII/84)
2-Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa ia berkata: "Suatu
saat saya berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu datanglah
seorang lelaki mengabarkan kepada beliau bahwa ia ingin menikahi seorang wanita
Anshar.
Rasulullah berkata kepadanya: "Apakah engkau sudah melihatnya?"
"Belum!" katanya.
Beliau berkata: "Kalau begitu temui dan lihatlah wanita Anshar itu karena
pada mata mereka terdapat sesuatu."
H.R Ahmad II/286&299, Imam Muslim IV/142 dan An-Nasa'i II/73
3-Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'Anhu ia berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka bila ia bisa
melihat sesuatu daripadanya yang dapat mendorong untuk menikahinya hendaklah
ia melakukannya."
H.R Abu Dawud dan Al-Hakim dengan sanad hasan, diriwayatkan juga dari Muhammad
bin Maslamah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim yang dikeluarkan
oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Dan dari hadits Abu Humeid yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Al-Bazzar, silakan lihat Fathul Bari (IX/181)
Az-Zaila'i berkata: "Namun ia tidak dibolehkan menyentuh wajah dan dua
telapak tangan wanita tersebut meskipun tanpa syahwat, karena wanita itu belum
menjadi istrinya dan tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu."
Dalam buku Durar Al-Bihar disebutkan: "Qadhi, saksi dan peminang tidak
boleh menyentuh wanita (yang dipinang atau diadili) meskipun tanpa syahwat
karena hal itu memang tidak perlu dilakukan." (Silakan lihat Raddul Mukhtar
'Alaa Ad-Durr Al-Mukhtar V/237)
Ibnu Qudamah berkata: "Seorang pria dilarang berkhalwat (berdua-duaan
tanpa mahram) dengan seorang wanita yang ingin dipinangnya. Yang disebutkan
dalam syariat hanyalah sebatas melihatnya saja, maka hukum berkhalwat dengannya
tetap haram.
Dan mungkin saja terjadi hal-hal yang membahayakan jika dibiarkan berdua-duaan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah seorang pria berdua-duaan dengan seorang wanita, sebab yang ketiga adalah setan."
Ia juga tidak boleh melihatnya (wanita yang dipinang) dengan syahwat dan tidak juga dengan keraguan. Shalih meriwayatkan dari Imam Ahmad yang berkata: "Ia boleh melihat wajah dan tidak boleh memandangnya dengan syahwat. Ia juga boleh terus memandanginya dan memperhatikan kecantikannya, karena hanya dengan begitulah tujuan dapat diwujudkan."
Kedua: Saat bermu'amalah (berinteraksi sosial).
Wanita juga dibolehkan menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya dalam
proses jual beli jika memang dibutuhkan. Sebagaimana halnya penjual boleh
melihat wajahnya untuk menyerahkan barang dan menerima uangnya, selama tidak
menimbulkan fitnah. Dan hal itu dilarang jika sampai menimbulkan fitnah.
Ibnu Qudamah berkata: "Jika seorang pria mengadakan transaksi jual beli
atau sewa menyewa dengan seorang wanita maka ia boleh melihat wajah wanita
itu untuk mengetahui identitasnya sekaligus meminta uang pembeliannya. Diriwayatkan
dari Imam Ahmad bahwa beliau membenci hal itu terhadap para pemudi dan dibolehkan
terhadap wanita lanjut usia. Dan juga makruh hukumnya terhadap orang yang
khawatir tertimpa fitnah atau tidak begitu mendesak melakukan transaksi tersebut.
Dan dibolehkan jika memang diperlukan dan tidak disertai dengan syahwat."
(Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459, Kitab Syarah Al-Kabir 'Ala Matan Al-Muqni'
VII/348 dan Kitab Al-Hidayah Ma'a Takmilah Fathul Qadir X/24)
Ad-Dasuuqi berkata: "Persaksian wanita yang mengenakan cadar tidak diterima
hingga ia membuka cadarnya. Hal ini berlaku umum, baik persaksian dalam pernikahan,
jual beli, hibah, utang piutang, wakalah dan sejenisnya. Itulah pendapat yang
dipilih oleh syaikh kami."
(Silakan lihat Hasyiyatud Dasuuqi 'ala Asy-Syarh Al-Kabir IV/194)
Ketiga: Saat Pengobatan.
Kaum wanita juga boleh membuka tempat yang terkena penyakit pada wajah atau
bagian tubuhnya yang terkena penyakit kepada dokter untuk diobati. Dengan
syarat harus disertai mahram atau suaminya. Hal itu jika tidak ada dokter
wanita yang mampu mengobatinya. Sebab melihat aurat sesama wanita tentu lebih
ringan bahayanya. Dan hendaknya dokter tersebut bukan seorang kafir bila masih
ada dokter muslim yang mampu mengobatinya. Ia tidak boleh membuka kecuali
bagian tubuh yang sakit. Dan para dokter hanya boleh melihat dan menyentuh
bagian tubuh yang sakit saja, tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan. Sebab
yang dibolehkan karena alasan darurat harus dibatasi sekedar kebutuhan saja.
Ibnu Qudamah berkata: "Seorang dokter dibolehkan melihat bagian tubuh
wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu memang perlu
dilihat. Diriwayatkan dari Utsman bahwa dibawa ke hadapannya seorang bocah
yang didapati telah mencuri, beliau berkata: "Periksalah dalam sarungnya!"
yakni bulu kemaluannya yang menunjukkan apakah ia sudah baligh atau belum.
Setelah diperiksa ternyata bulu kemaluannya belum tumbuh, beliaupun tidak
memotong tangannya."
(Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459 dan kitab Ghadzaaul Albab I/97)
Ibnu Abidin berkata: "Dalam kitab Al-Jauharah disebutkan: Jika penyakit
tersebut menyerang seluruh tubuh si wanita maka dokter boleh melihatnya saat
pengobatan, kecuali alat kelamin yang vital. Sebab hal itu termasuk darurat.
Jika tempat yang sakit adalah kemaluan, maka hendaknya diajari seorang wanita
lain untuk mengobatinya. Jika tidak ada juga sementara keselamatan jiwanya
sangat mengkhawatirkan atau dikhawatirkan tertimpa penyakit yang tidak mampu
ia tahan, maka hendaklah mereka menutup seluruh tubuhnya kecuali tempat yang
sakit itu (yakni kemaluan) lalu dipersilakan dokter mengobatinya dengan tetap
menahan pandangan semampunya kecuali terhadap bagian yang tengah diobati."
(Raddul Mukhtar V/237 dan lihat juga Al-Hidayah Al-'Alaaiyah hal 245)
Demikian pula dibolehkan bagi para perawat orang sakit untuk mewudhu'kan atau
membantu istinja'nya meskipun yang dirawat seorang wanita. (Silakan lihat
kitab Ghidzaaul Albab I/97)
Muhammad Fu'ad berkata: "Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya kaum
pria mengobati kaum wanita -dengan batasan-batasan yang telah disebutkan tadi-
adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ar-Rubayyi'
binti Mu'awwidz ia berkata: "Kami pernah berperang bersama Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Tugas kami adalah memberi minum dan membantu
pasukan, dan membawa pasukan yang tewas dan terluka ke Madinah."
(H.R Al-Bukhari VI/80 & X/136, lihat Fathu Bari. Diriwayatkan juga oleh
Imam Muslim dari Anas V/196, Abu Dawud VII/205, lihat 'Aunul Ma'bud, dan Imam
At-Tirmidzi V/301-302, ia berkata: Hadits ini hasan shahih)
Imam Al-Bukhari menulis Bab: Bolehkah Kaum Lelaki Mengobati Kaum Wanita Dan
Kaum Wanita Mengobati Kaum Lelaki?
(Lihat Fathul Bari X/136)
Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar A-Asqalani berkata: "Hukum bolehnya kaum pria
mengobati kaum wanita diambil secara implisit. Imam Al-Bukhari tidak menegaskan
hukum tersebut karena masih ada kemungkinan hal itu terjadi sebelum turunnya
ayat yang memerintahkan berhijab. Atau masing-masing wanita ketika itu hanya
mengobati suaminya atau mahramnya saja. Secara umum hukumnya: kaum wanita
boleh mengobati kaum pria pada saat-saat darurat, dan harus dibatasi sesuai
kebutuhan khususnya berkaitan dengan melihat dan memegang pasien atau semisalnya.
(Silakan lihat kitab Fathul Bari X/136)
Keempat: Saat menjadi saksi atau sebagai orang yang diberi persaksian.
Seorang wanita boleh menampakkan wajahnya dalam memberikan persaksian atau
diminta oleh saksi membuka cadarnya (sebagai orang yang diberi persaksian).
Sebagaimana halnya hakim boleh melihatnya untuk mengenalinya demi menjaga
hak-hak orang lain. Syaikh Ad-Dardiir berkata:
"Persaksian wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka
cadarnya. Supaya dapat dikenal dengan jelas identitas dan karakternya, setelah
itu barulah ia boleh memberikan persaksian." (Syarah Al-Kabir karangan
Syaikh Ad-Dardiir IV/194)
Ibnu Qudamah mengatakan:
"Saksi boleh melihat terdakwa supaya persaksiannya tidak salah alamat.
Imam Ahmad berkata: Tidak boleh memberikan persaksian terhadap seorang terdakwa
wanita hingga ia mengenali indentitasnya dengan pasti.
Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459, Syarah Al-Kabir 'Alal Muqni' VII/348
dan Al-Hidayah ma'a Takmilah Fathul Qadir X/26.
Kelima: Saat persidangan.
Seorang wanita boleh membuka penutup wajahnya di hadapan hakim yang menyidangnya,
baik hakim itu bertindak sebagai pembelanya ataupun penuntut. Si hakim boleh
melihat wajah wanita itu untuk mengenalinya, demi menjaga hak-hak manusia
agar tidak tersia-sia. Kriteria hukum yang berlaku pada bab persaksian sama
persis dengan bab persidangan, karena alasan hukum keduanya adalah sama.
Silakan lihat Ad-Durar Al-Mukhtar V/237, Al-Hidayah Al-'Alaaiyyah hal 244
dan Al-Hidayah Ma'a Takmilah Fathul Qadir X/26.
Keenam: Di hadapan bocah laki-laki kecil yang sudah mengerti namun
belum punya hasrat kepada kaum wanita.
Seorang wanita boleh menampakkan kepada bocah laki-laki yang belum punya hasrat
kepada kaum wanita apa-apa yang boleh ia tampakkan kepada mahramnya, karena
mereka belum punya hasrat kepada wanita. Ia boleh melihat semua itu.
Syaikh Abul Faraj Al-Maqdisi berkata:
"Bocah laki-laki yang belum punya hasrat kepada kaum wanita boleh melihat
tubuh wanita kecuali bagian tubuh antara pusar dan lutut, menurut satu riwayat
(dari Imam Ahmad). Sebab Allah berfirman:
"Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). (QS. 24:58)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
"Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. (QS. 24:59)
Ayat di atas membedakan antara anak yang sudah baligh dan yang belum. Abu
Abdillah (Imam Ahmad) berkata: "Abu Thayyibah membekam istri-istri Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pada saat itu ia masih seorang bocah kecil."
Menurut riwayat lainnya dari Imam Ahmad disebutkan bahwa batasan aurat terhadap
bocah kecil tersebut seperti halnya batasan aurat terhadap mahram, bila ia
sudah mengerti aurat wanita, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"...atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (QS. 24:31)
Pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad: Bilakah seorang wanita harus menutup wajahnya terhadap seorang bocah? Beliau menjawab: "Jika bocah itu telah berusia sepuluh tahun. Jika ia sudah punya hasrat kepada kaum wanita maka batasan aurat terhadapnya sama seperti batasan aurat terhadap para mahram. Berdasarkan firman Allah:
"Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. (QS. 24:59)
Dalam riwayat lain masih dari Imam Ahmad disebutkan bahwa batasan aurat terhadap bocah kecil sama seperti batasan aurat terhadap lelaki bukan mahram. Sebab ia sudah terhitung baligh dan punya syahwat. Itulah tujuan diperintahkannya hijab dan diharamkannya memandang wanita bukan mahram. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"...atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (QS. 24:31)
Adapun anak kecil yang belum mengerti tentunya tidak wajib menutup diri darinya.
Silakan lihat kitab Syarah Al-Kabir 'Alaa Matan Al-Muqni' VII/349, Al-Mughni
VII/458 dan Ghadzaaul Albab I/97.
Ketujuh: Di hadapan laki-laki yang sudah tidak punya nafsu syahwat.
Seorang wanita boleh menampakkan kepada laki-laki yang sudah tidak punya nafsu
syahwat apa-apa yang boleh ditampakkan kepada mahram. Mereka boleh melihat
semua itu karena mereka sudah tidak punya hasrat lagi kepada kaum wanita dan
sudah tidak memperhatikan urusan wanita.
Ibnu Qudamah berkata:
"Terhadap lelaki yang sudah tidak punya nafsu syahwat lagi, karena sudah
lanjut usia, lemah syahwat, sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, lelaki
yang mengebiri diri atau lelaki banci yang tidak punya hasrat kepada kaum
wanita, maka batasan aurat yang boleh diperlihatkan kepada mereka sama seperti
batasan aurat kepada para mahram. Berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta'ala:
"atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)." (QS. 24:31)
Yaitu lelaki yang tidak punya hasrat kepada kaum wanita. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata: Yakni laki-laki yang kaum wanita tidak merasa segan kepadanya. Dinukil juga dari beliau: Yakni lelaki banci yang impoten. Mujahid dan Qatadah berkata: Yaitu laki-laki yang tidak punya keinginan syahwat kepada kaum wanita. Jika lelaki itu banci namun ia punya nafsu syahwat kepada wanita dan tahu seluk beluk wanita maka batasan aurat terhadapnya sama seperti batasan aurat kepada laki-laki bukan mahram. 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pernah bercerita:
"Seorang lelaki banci masuk menemui istri-istri nabi, mereka menganggap
lelaki banci itu termasuk 'lelaki yang tidak punya keinginan kepada kaum wanita'
yang tersebut dalam ayat. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu datang
menemui kami sementara lelaki banci itu tengah menceritakan lekuk tubuh seorang
wanita, katanya jika wanita itu dilihat dari depan akan tampak empat lekukan,
jika dari belakang akan tampak delapan lekukan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda: "Aku lihat lelaki ini tahu apa yang ada di dalam
sini, janganlah ia dibiarkan masuk menemui kalian!" Merekapun berhijab
darinya.
(H.R Abu Dawud dan lainnya)
Ibnu Abdil Bar berkata:
"Yang dimaksud banci di sini bukanlah banci yang dibuat-buat, akan tetapi
banci dalam arti gen wanita pada dirinya lebih dominan sehingga gaya bicara,
memandang dan berpikirnya juga menyerupai kaum wanita. Bila begitu keadaannya
tentu ia tidak punya hasrat kepada kaum wanita dan tidak mengerti tentang
seluk beluk kaum wanita. Ia tergolong 'lelaki yang tidak punya hasrat kepada
wanita' yang dibolehkan masuk menemui kaum wanita. Bukankah Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam tidak melarang lelaki banci itu masuk menemui istri-istri
beliau, namun begitu mendengar lelaki banci itu menceritakan lekuk tubuh puteri
Ghailan dan ternyata mengerti seluk beluk wanita, Rasulullah memerintahkan
supaya berhijab darinya.
(Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/463, Syarah Al-Kabir 'ala Matan Al-Muqni'
VII/347-348)
Kedelapan: Wanita lanjut usia yang sudah tidak menggairahkan lagi.
Wanita lanjut usia yang sudah tidak menggairahkan lagi boleh membuka penutup
wajahnya dan bagian-bagian tubuh yang biasa tampak di hadapan lelaki bukan
mahramnya. Hanya saja mengenakan cadar tentunya lebih utama baginya. Simaklah
firman Allah berikut ini:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:60)
Ibnu Qudamah berkata:
"Wanita lanjut usia yang sudah tidak menggairahkan boleh dilihat sebatas
apa-apa yang biasa tampak padanya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. (QS. 24:60)
Berkaitan dengan ayat :
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. (QS. 24:30)
Dan ayat:
Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, (QS. 24:31)
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Kedua ayat di atas dibatasi
kandungannya, dikecualikan darinya wanita-wanita yang tidak ingin kawin lagi.
Termasuk juga wanita yang buruk rupanya dan sama sekali tidak menarik."
(Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/463, Syarah Al-Kabir 'ala Matan Al-Muqni'
VII/347-348)
Kesembilan: Hukum membuka cadar di hadapan wanita-wanita kafir.
Ahli ilmu berbeda pendapat tentang batasan aurat wanita muslimah di hadapan
wanita kafir.
Ibnu Qudamah berkata:
"Batasan aurat antara sesama wanita sama seperti batasan aurat antara
sesama pria, tidak ada beda antara sesama kaum muslimin, antara muslimah dengan
wanita dzimmiyah, antara seorang muslim dengan pria kafir. Imam Ahmad berkata:
Sebagian orang melarang wanita muslimah membuka cadarnya di hadapan wanita
Yahudi atau Nasrani. Menurut pendapat saya, wanita-wanita kafir itu tidak
boleh melihat alat kelamin wanita muslimah. Dan mereka tidak boleh menangani
wanita muslimah yang melahirkan, karena mereka akan melihat aurat vital kecuali
dalam keadaan darurat, sebagaimana yang telah dijelaskan."
Dalam riwayat lain dari Imam Ahmad disebutkan bahwa wanita muslimah tidak
boleh menampakkan kemaluannya kepada wanita dzimmiyah. Berdasarkan firman
Allah Subhana wa Ta'ala:
"atau wanita-wanita Islam," (QS. 24:31)
Kelihatannya pendapat pertama lebih kuat, sebab wanita-wanita kafir dari
kalangan Yahudiyah dan lainnya juga masuk menemui istri-istri nabi, mereka
tidak memakai hijab dan tidak diperintahkan memakai hijab.
'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata: "Datang seorang wanita Yahudi bertanya
kepadanya, ia berkata: "Semoga Allah menyelamatkan saudari dari siksa
kubur." 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha menanyakan ucapan wanita itu kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam..."
Asma' Radhiyallahu 'Anha menuturkan: "Ibuku yang masih musyrik dan membenci
Islam datang menemuiku. Akupun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam apakah aku boleh meladeninya? Beliau menjawab: "Boleh!"
Sebab alasan disyariatkannya hijab antara kaum lelaki dengan kaum wanita tidak
terdapat pada wanita muslimah dengan wanita dzimmiyah. Maka tidak perlu diperintahkan
berhijab antara keduanya, sebagaimana halnya antara pria muslim dengan pria
dzimmi. Dan juga syariat hijab ini harus ditetapkan dengan nash atau qiyas,
sementara dalam masalah ini tidak ada nash maupun qiyas.
Berkaitan dengan firman Allah Ta'ala:
"atau wanita-wanita Islam," (QS. 24:31)
kemungkinan maksudnya adalah sejumlah kaum wanita.
Silakan lihat Al-Mughni VII/464 dan Syarah Al-Kabir 'ala Matan Al-Muqni' VII/351.
Ibnul Arabi Al-Maliki berkata:
"Menurut saya pendapat yang benar adalah hal itu mencakup seluruh wanita
(baik yang muslimah maupun non muslimah). Penyebutan dhamir (kata ganti) dalam
ayat tersebut hanyalah untuk menyelaraskan dengan kata-kata sebelumnya (yang
seluruhnya diimbuhi dhamir), di dalam ayat ini terdapat lima belas dhamir,
hal itu tidak terdapat dalam ayat lainnya dalam Al-Qur'an. Oleh karena itulah
kata an-nisaa' diimbuhi dhamir hunna."
Silakan lihat Ahkamul Qur'an III/326.
Al-Aluusi berkata: "Fakhrur Raazi berpendapat bahwa dalam masalah ini
batasan aurat terhadap wanita kafir sama seperti batasan aurat terhadap wanita
muslimah, ia berkata: "Menurut Madzhab kami batasan auratnya sama seperti
batasan aurat terhadap wanita muslimah, yang dimaksud 'nisaa'ihinna (wanita-wanita
mereka)' dalam ayat di atas adalah seluruh kaum wanita. Dalam hal ini ucapan
ulama salaf yang mengharuskan berhijab terhadap wanita kafir dibawakan kepada
makna istihbab (anjuran bukan wajib)"
Ia melanjutkan: "Itulah pendapat yang lebih memudahkan bagi umat manusia
sekarang ini, sebab hampir tidak mungkin mengharuskan hijab atas wanita muslimah
di hadapan wanita dzimmiyah." (Tafsir Al-Aluusi 19/143)
Muhammad Fu'ad berkata: "Jika kata Al-Aluusi hal itu lebih memudahkan
bagi mereka pada saat itu, tentu saja jauh lebih memudahkan bagi kita sekarang
ini. Terutama bagi orang-orang yang terpaksa bermukim di negeri-negeri non
Islam yang mana wanita muslimah dan wanita dzimmiyah tercampur baur, kebutuhan
hidup juga sangat mendesak, yang mana berhijab di hadapan mereka justru menimbulkan
berbagai kesulitan. Inna lillahi wa inna ilahi raji'un.
Kesepuluh: Seorang wanita harus membuka wajah dan kedua telapak tangannya
saat berihram (mengenakan kain ihram) untuk haji ataupun umrah.
Ia tidak boleh mengenakan cadar ataupun kaus tangan. Berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Wanita yang berihram janganlah memakai cadar dan kaus tangan."
Jika ia terpaksa menutup wajahnya, misalnya karena ada laki-laki yang lewat
di dekatnya, ataupun wajahnya sangat cantik hingga menarik pandangan kaum
pria, ia boleh mengulurkan kain untuk menutupi wajahnya, berdasarkan hadits
'Aisyah Radhiyallahu 'Anha ia berkata: "Pernah suatu kali rombongan pria
melewati kami saat kami mengenakan ihram bersama Rasulullah, ketika rombongan
itu mendekat kamipun mengulurkan jilbab untuk menutupi wajah kami. Setelah
rombongan lewat kamipun menyingkapnya kembali."
Dihikayatkan dari Al-Al-Juzeiri ia berkata: "Wanita yang mengenakan ihram
boleh menutup wajahnya untuk suatu keperluan, seperti pada saat rombongan
lelaki lewat di dekatnya. Tidaklah mengapa ia melekatkan kain penutup pada
wajahnya, sebab hal itu merupakan keluasan baginya dan untuk menghilangkan
kesulitan."
(Silakan lihat kitab Al-Fiqh 'Ala Madzhab Al-Arba'ah I/645)
Itulah kondisi yang dibolehkan bagi kaum wanita untuk membuka penutup wajahnya
dan kaus tangannya, menurut perincian yang telah dijelaskan dan diurai oleh
para ulama dan ahli fiqih di atas tadi. Tinggal satu persoalan yang perlu
diperhatikan, yaitu dalam kondisi terjepit yang memaksa seorang wanita untuk
membuka penutup wajahnya. Bagaimanakah hukumnya dalam kondisi demikian?
Kesebelas: Dalam kondisi terpaksa.
Sebagian negara-negara sekuler menetapkan undang-undang sesat yang melanggar
syariat, undang-undang yang menentang perintah Allah dan Rasul-Nya. Undang-undang
itu melarang wanita muslimah mengenakan hijab. Sebagian negara melarangnya
dengan keras dan paksa. Bahkan meneror wanita-wanita bercadar serta memperlakukan
mereka dengan kasar dan keras.
Wanita-wanita bercadar terus ditekan dan diganggu sebagaimana yang terjadi
di negara-negara Eropa, bahkan kadangkala menjurus kepada pelecehan terhadap
Dienul Islam dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Oleh karena itu, mereka boleh membuka cadar dalam kondisi yang mana wanita
bercadar pasti mendapat gangguan yang tidak dapat diatasinya. Tentu saja memilih
pendapat yang lemah lebih utama daripada menjerumuskan diri dalam bahaya gangguan
lelaki jahat.
Jikalau dalam kondisi yang belum sampai kategori 'terpaksa' ia boleh membuka
cadar dan kaus tangannya, tentu saja lebih dibolehkan membukanya dalam kondisi
yang membahayakan diri dan agamanya. Terutama jika dalam mempertahankan hijabnya
orang-orang jahat akan menarik atau merobek hijab dari wajahnya. Atau masyarakat
akan mengganggunya. Dalam keadaan darurat perkara-perkara yang sebelumnya
dilarang menjadi dibolehkan. Dan sesuatu yang dibolehkan karena darurat harus
dibatasi sekadar kebutuhan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh ahli ilmu.
Tidak boleh bersikap simplifikatif dalam perkara ini, harus benar-benar diukur
menurut keadaan dan kondisi setempat. Dan harus mempelajari pengalaman yang
terdahulu atas orang lain. Sehingga tidak keliru dalam menetapkan suatu kondisi
sebagai kondisi darurat, tidak disertai hawa nafsu dan kelemahan dalam bersikap.
Dalam kondisi di atas, meskipun kaum wanita dibolehkan membuka cadar dan kaus
tangannya, namun ia tetap tidak boleh menampakkan perhiasan yang mencolok
pandangan. Sebab haram hukumnya bagi kaum wanita menampakkan perhiasan di
hadapan lelaki yang bukan mahram, menurut pendapat mayoritas ahli fiqih dan
berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta'ala:
"dan janganlah menampakkan perhiasan mereka,"(QS. 24:31)
Dan juga karena tidak ada kebutuhan mendesak untuk menampakkannya.
(Silakan lihat kitab Hijab Al-Mar'ah Al-Muslimah Baina Intihaalal Mubthiliin
wa Ta'wilal Jahiliin hal 239)
Hanya kepada Allah sajalah kami memohon agar memperbaiki keadaan kaum muslimin.
Shalawat dan salam semoga tercurah atas nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam.