Selasa 4 Jumadil Ula 1446 - 5 November 2024
Indonesian

Apakah Wanita Diharuskan Menutup Kepalanya Ketika Sujud Di Selain Shalat Wajib?

220213

Tanggal Tayang : 12-10-2019

Penampilan-penampilan : 13274

Pertanyaan

Apakah bagi wanita diharuskan menutup kepalanya ketika sujud pada selain shalat fardu?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Wanita menutup rambut kepalanya dalam seluruh shalat itu wajib. Tidak sah shalat kecuali dengannya. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud, (641) Tirmizi, (377) dan dihasankan dari Aisyah radhiallahu anha dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

وصححه الألباني في "صحيح أبي داود" 3/ 206 

“Allah tidak menerima shalat orang haid (balig) kecuali dengan khimar (penutup kepala).”  (Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud, 3/206).

Ash-Shan’any rahimahullah mengatakan, “Maksdanya adalah orang yang sudah terkena beban kewajiban, meskipun salah satu tanda taklif terwujud dengan bermimpi junub, akan tetapi (dalam hadits) diungkapkan dengan kata haid karena itu yang sering kali.” (Subulus Salam, 197)

Tirmizi mengomentari setelahnya seraya mengatakan, “Itu yang diamalkan menurut ahli ilmu. Bahwa wanita kalau sudah faham (balig), lalu dia shalat sementara sedikit rambutnya terbuka. Maka shalatnya tidak dibolehkan.” (Sunan Tirmizi, 1/487, Cetakan Basyar)

Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan, “Ahli ilmu sepakat bahwa wanita merdeka dan telah balig, kalau menunaikan shalat kepalanya harus ditutupi. Kalau dia dalam kondisi shalat sementara kepalanya terbuka, maka shalatnya batal, dan dia harus mengulangi shalatnya.” (Al-Ausath, 5/69).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memilih pendapat yang mentolerir apabila sedikit rambut wanita yang tampak dalam shalat,  bukan banyak. Beliau ditanya tentang wanita ketika terlihat bagian rambutnya dalam shalat apakah membatalkan shalatnya atau tidak?

Maka beliau rahimahullah menjawab, “Kalau sedikit terlihat rambut dan badannya, maka dia tidak mengulangi shalatnya menurut kebanyakan para ulama. Dan ini mazhabnya Abu Hanifah dan  Ahmad. Kalau terlihat banyak, maka harus mengulangi shalat pada waktu tersebut menurut mayoritas para Ulama empat dan lainnya. Wallahu a’lam. “ (Majmu Fatawa, (22/123).

Kedua:

Hal itu tidak ada perbedaan antara shalat wajib dan sunah. Karena tidak adanya dalil akan perbedaan tersebut.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Asalnya apa yang ada ketetapan dalam shalat sunah, juga merupakan ketetapan dalam shalat wajib. Kecuali ada dalilnya. Yang menunjukkan asal ini adalah bahwa para shahabat radhiallahu anhum ketika menceritakan bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat witir di atas kendarannya, mereka mengatakan, “Beliau tidak melakukan hal itu  dalam shalat wajib.” (Muttafaq ‘alaihi) Ketika mereka menceritakan beliau melakukan witir, kemudian mereka mengatakan, “Beliau tidak melakukan shalat wajib di atasnya.” Hal itu menunjukkan pengetahuan bahwa apa yang menjadi ketetapan dalam shalat sunah menjadi ketetapan dalam wajib.” (Syarh Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, (3/73).

Tidak disebutkan seorangpun dari kalangan ahli ilmu –sepengetahuan kami- yang membedakan antara shalat wajib dan shalat sunah akan hal itu. Bahkan kandungan ijma’ (konsensus) yang telah di sebutkan tadi hal itu termasuk untuk shalat secara umum.

Ketiga:

Sementara kalau sujud syukur dan sujud tilawah. Apakah keduanya mendapatkan hukum seperti shalat sunah, baik dalam masalah bersuci, menutup aurat dan seluruh hukum ataukah tidak berlaku hukumnya?

Para ulama dalam hal ini ada dua pendapat, tidak diragukan lagi bahwa yang lebih berhati-hati menjaga syarat shalat, apabila mampu melakukan hal itu. Karena kuatnya perbedaan dalam masalah ini. Bahkan Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disyaratkan dalam sujud apa yang disyaratkan dalam shalat sunah, baik tentang masalah suci dari hadats dan najis, menutup aurat, menghadap kiblat dan niat. Sepengetahuan kami tidak ada perbedaan kecuali apa yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu bagi wanita haid ketika mendengar (ayat) sajadah), yaitu dengan memberi isyarat dengan kepalanya. Ini juga pendapat Said bin Musayyib, dia berkata, (memberi isyarat) seraya berdoa ‘Allahumma laka sajadtu (Ya Allah, hanya kepadaMu saya bersujud). Dari Sya’bi terkait dengan orang yang mendengar (ayat) sajdah tanpa punya wudu, dia boleh bersujud dimana saja wajahnya mengadap.” (Al-Mughni, 1/444. Silahkan lihat di Al-Majmu Syarh Muhazzab karangan Nawawi, (4/6), Mausuah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 24/214-215).

Sebagian ahli ilmu memilih pendapat bahwa sujud tilawah bukan termasuk shalat. Sehingga tidak disyaratkan sebagaimana disyaratkan dalam shalat. Baik dalam masalah bersuci, menutup aurat dan menghadap kiblat.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Yang kuat bahwa sujud tidak disyaratkan bersuci, bahkan ia seperti sujud tilawah. Tidak mengapa bersujud meskipun tanpa bersuci. Begitu juga sujud syukur tidak disyaratkan bersuci. Dibolehkan sujud meskipun tanpa bersuci. Karena ia termasuk bukan jenis shalat, tapi bentuk kerendahan dan tunduk mutlak kepada Allah dan beribadah kepadaNya subhanahu, termasuk jenis zikir, tasbih dan tahlil. Begitu juga termasuk jenis bacaan Qur’an.” (Fatawa Nurun ‘Ala Darbi, 10/463-464).

Pendapat ini, termasuk pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ini yang kuat.” (Silahkan lihat ‘Syarh Mumti’ (4/89-90). Silahkan dilihat juga soal jawab no. 4908)

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam