Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Seorang Istri Menghadapi Kezaliman Dari Suaminya Dalam Hal Pemberian Nafkah, Tempat Tinggal. Suami Tega Memakan Mahar Yang Diberikannya, Lalu Suami Berkeyakinan Bahwa Tidak Ada Salahnya Dia Memukuli Istrinya Selama Masih Menghindari Bagian Wajah!!

220353

Tanggal Tayang : 03-05-2016

Penampilan-penampilan : 53223

Pertanyaan

Pertama:
Ketika terjadi permasalahan dan perselisihan antara saya dan suami saya, suami saya selalu meminta saya agar pulang kembali ke rumah orang tua saya dengan dalih saya telah berbuat pembangkangan dan memberitahukan kepada saya bahwa saya telah kehilangan hak-hak saya yang wajib dipenuhinya sebab pembangkangan saya tadi. Menurut dia, orang tua sayalah yang wajib menanggung dan bertanggungjawab atas kehidupan saya. Bagaimana bisa demikian padahal jangankan di saat-saat kehidupan normal, saat dalam kondisi perceraian pun seorang suami masih berkewajiban memberikan dan menyediakan tempat tinggal dan lain sebagainya dari kewajiban-kewajiban suami bagi istrinya ?
Kedua:
Suami saya baru memberikan nafkah kepada saya setelah pernikahan kami berjalan setahun lebih tiga bulan. Namun begitu selama jangka waktu tersebut dia telah membelanjakan harta yang banyak untuk kepentingan dirinya pribadi, dan ketika terjadi suatu permasalahan – sebagaimana kondisi saat ini – suami saya menghimbau agar saya meminta uang kepada ayah saya.
Ketiga:
Pada saat akad nikah suami saya hanya membayarkan maharnya kepada saya separuhnya saja. Beberapa bulan yang lalu suami saya bertanya kepada saya tentang mahar saya dan saya masih tetap menginginkan sisa dari mahar saya. Pada saat itu saya mengatakan bahwa saya tidak menolak mahar dan tidak juga mengatakan iya maupun tidak, dan saat ini dia mengaku dan menuduhkan bahwa saya telah membatalkan mahar saya. Padahal saya sama sekali tidak menyatakan sebagaimana yang dituduhkan. Bagaimanakah hukumnya menurut syariat?
Keempat:
Suami saya merencanakan melakukan perjalanan ke Barcelona untuk menghadiri rapat yang mestinya tidak begitu mendesak untuk dihadiri, dan tidak ada seorang mahram pun yang menemani saya di negara di mana saya tingal selain mertua lelaki saya yang kondisinya sudah tua dan sangat lemah. Apakah wajib atas suami saya membawa serta saya dalam perjalanan tersebut ataukah tidak. Karena dia berpikiran akan mengirimkan saya kepada ayah saya selama masa kepergiannya?
Kelima:
Suami saya selalu menghina, mencemooh dan mengejek saya dan dia mengatakan Bahwa saya gila dan mengidap gangguan kejiwaan.
Keenam:
Suami memberitahukan kepada saya bahwa dia harus memiliki handphone yang baru, dan dia telah merencanakan untuk membeli handphone merk iphone terbaru, dia berdalih bahwa handphone tersebut akan dipergunakannya untuk bekerja meskipun kenyataannya dia telah memiliki “Notebook” yang setiap harinya dibawa dan dipergunakan untuk bekerja.
Ketujuh:
Suami saya selalu memukul saya terus-menerus, dan dia berprinsip selama tidak memukul bagian wajah maka hal tersebut dibolehkan dan tidak ada masalah.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

..

Pertama :

Yang dimaksud dengan Nusyuz seorang istri adalah jika dia melakukan kemaksiatan kepada suaminya terhadap sesuatu yang wajib diberikan kepada suaminya dan istri tidak memenuhinya.

Disebutkan dalam kitab Ar Raudl Al Murbi Syarh Zaadul Mustaqni, hal. 356;

وهو ( أي : النشوز ) : معصيتها إياه فيم يجب عليها , مأخوذ من النشز ، وهو ما ارتفع من الأرض , فكأنها ارتفعت وتعالت عما فرض عليها من المعاشرة بالمعروف "

Yang dimaksud Nusyuz adalah: “Kemaksiatan seorang istri terhadap suaminya dalam hal yang wajib dilakukannya untuk suaminya, yang diambil dari kata An Nasyaz, yaitu sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi, seakan-akan ia menjadi semena-mena dan menyalahi apa yang diwajibkan kepadanya dari interaksi antara suami-istri secara baik.”

Dari sini bisa diketahui, bahwa nusyuz atau pembangkangan istri adalah keangkuhan seorang istri kepada suaminya dan kemaksiatannya terhadap sesuatu hak yang wajib dipenuhinya untuk suaminya serta keluar dari ketaatan kepadanya dalam hal yang wajib atas istri untuk mentaatinya.

Tidak semua perbedaan pendapat atau keributan lalu sang isteri dianggap nusyuz. Tidak termasuk sebagai pelaku nusyuz kecuali dengan ketentuan yang telah disebutkan yaitu melakukan kemaksiatan dalam hak suami yang wajib ditunaikan. Maka hendaklah memastikan pokok permasalahan sebelum memberikan vonis kepada istri bahwa dia telah melakukan nusyuz.

Karena kebanyakan suami mudah dan cepat memberikan predikat Nusyuz kepada istrinya hanya karena perselisihan yang remeh yang terjadi antara keduanya dan ini merupakan tindakan yang otoriter, lebih khusus lagi sesungguhnya menghukumi istri dengan predikat Nusyuz akan menimbulkan perkara-perkara yang besar, berupa ; hukuman dan pemukulan yang tidak sampai menimbulkan bengkak serta digugurkannya hak-hak istri seperti tidak diberikan nafkah dan lain sebagainya.

Al Qur’anulkarim telah memberikan batasan tentang obat dari Nusyuz sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (سورة النساء: 34)

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS An Nisaa: 34)

Untuk mendapatkan manfaat yang lebih banyak hendaklah melihat secara detail pendapat para ulama dalam memberikan solusi dari pembangkangan seorang istri ini dalam fatwa no. 22216

Aas dasar ini, suami yang terburu-buru mengusir istrinya dari rumah tempat tinggalnya,  maka perkaranya tidak terlepas dari dua kondisi berikut ini :

Ø  Adakalanya istrinya tersebut dizalimi dan tidak terjadi pembangkangan serta prilaku penyelewengan darinya dan saat itu maka suami telah melakukan kezaliman kepadanya ; karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkaitan dengan hak istri-istri yang diceraikan :

وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ (سورة الطلاق: 1)   

"Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (di izinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.: (QS At Thalaaq: 1)

Yang dimaksud oleh Allah Ta'ala dalam ayat ini adalah : di saat mereka sedang menjalani masa iddah. Jika seorang suami dilarang mengusir istri yang diceraikannya dari rumah tempat tinggalnya di saat masa iddahnya,  maka apalagi  dengan isteri yang saat itu masih dalam ikatan suami-istri yang sah dan istri masih berada dalam perlindungannya.

Ø  Adapun jika memang seorang istri telah nyata-nyata melakukan Nusyuz, kemudian suami melakukan tindakan pengusiran dari rumahnya, maka yang demikian tersebut telah melanggar manhaj Al Qur’an al Karim ; karena sesungguhnya maksud al Qur’an al Karim dari langkah-langkah solutif perbuatan nusyuz adalah: Suami mendidik dan meluruskan prilaku istri serta memperbaikinya, Yaitu dengan memberinya nasehat kepadanya. Namun apabila istri enggan menerima nasehatnya, maka suami memisahkannya dari tempat tidur. Jika dia belum sadar juga maka hendaklah suami memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bengkak dan bekas.

Kedua :

Kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah dengan cara yang baik, dan dalil dari yang demikian itu adalah firman Allah Ta’ala  :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (سورة البقرة: 233)   

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. QS Al Baqarah : 233.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam khuthbah beliau pada saat haji wada:

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (رواه مسلم، رقم 1218)

 "Dan kewajiban atas kalian terhadap mereka – para istri – nafkah-nafkah mereka serta pakian mereka secara baik." (HR. Muslim, no.  1218)

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Hindun istri Abu Sufyan radhiallahu anha,

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ (رواه البخاري، رقم 5364 ، ومسلم، رقم 3233)

 "Ambillah sesuatu yang mencukupi buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik." (HR. Bukhari, no.  5364 dan Muslim, no. 3233)

Hal ini telah dijelaskan secara detail dalam fatwa no. 103885.

Kesimpulannya,  barangsiapa yang tidak memberikan nafkah yang wajib kepada istrinya pada rentang waktu tertentu, maka sesungguhnya nafkah tersebut masih tetap dalam tanggungannya dan istrinya berhak menuntutnya darinya.

Terdapat dalam kitab Al Mughni, karangan Ibnu Qudamah Rahimahullah,  8/207 :

وَمَنْ تَرَكَ الْإِنْفَاقَ الْوَاجِبَ لَامْرَأَته مُدَّةً ، لَمْ يَسْقُطْ بِذَلِكَ ، وَكَانَتْ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهِ ، سَوَاءٌ تَرَكَهَا لَعُذْرٍ أَوْ لغير عذر

“Barangsiapa tidak memberikan nafkah yang wajib kepada istrinya pada jangka waktu tertentu, maka yang demikian itu tidak serta-merta gugur dari tanggung jawabnya. Bahkan merupakan hutang yang harus dilunasi, baik meninggalkan hal ini karena uzur maupun bukan karena uzur.”

Dan didalam kitab Syarh Muntahal Iradaat, 3/230 disebutkan:

“Barangsiapa yang meninggalkan istrinya dalam kurun waktu yang tiada batasnya dan pada masa-masa tersebut dia tidak memberikan nafkah kepadanya, maka wajib atas suami memberikan nafkah kepada istri selama kurun waktu yang ia tinggalkan; Sebab ketetapan statusnya sebagai seorang istri tetap menjadi tanggungannya meskipun hakim tidak mewajibkannya. Karena Umar bin Khathab menulis dan mewajibkan kepada bagian yang mengatur urusan pasukan kaum muslimin agar mereka mencatat kaum lelaki yang meninggalkan istri-istri mereka, serta memerintahkan agar mereka memberikan nafkah kepada istrinya atau menceraikan mereka. Maka jika mereka menceraikan istrinya, mereka diperintahkan mengirimkan nafkah kepadanya selama waktu-waktu yang ditinggalkan karena hal itu merupakan hak istri yang wajib dipenuhi, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan tanggungan tersebut tidak gugur dengan berlalunya zaman, sebagaimana kewajiban yang tetap menjadi tanggungan bagi orang yang menyewa rumah atau apartemen di tempati ataupun tidak maka dia tetap harus membayar sewanya."

Sebagai bahan perhatian bahwa sesungguhnya kewajiban dalam memberikan nafkah  adalah menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh istri berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan atau membayarkan harga kebutuhan tersebut kepada istri, dan jika suami telah menyediakan semua kebutuhan tersebut, maka tidak ada lagi kewajiban atasnya untuk memberikan kepada istri berupa uang.

Ketiga :

Mahar merupakan hak paten bagi seorang istri atas suaminya, dan hendaknya ia membayarkan lunas semuanya tanpa ada kekurangan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,  

وَءاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً  (سورة النساء: 4)

"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (QS An Nisa :4)

Akan tetapi jika seorang istri menggugurkan mahar yang wajib atas suami dari keinginan baik darinya dan dari kerelaannya semata, maka suami boleh mengambilnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (سورة  النساء: 4)

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS An Nisaa: 4)

Atas dasar inilah, maka yang wajib atas suami anda adalah membayarkan separo lagi dari mahar yang masih menjadi tanggungannya selama anda tidak membatalkannya. Adapun  ungkapan anda ketika dia bertanya kepada anda bahwa anda masih menginginkannya : Saya tidak menggugurkannya, hal ini menunjukkan bahwa anda masih mempertahankan mahar tersebut, dan anda tidak menggugurkannya.

Akan tetapi jika telah terjadi kesepakatan bahwa suami akan menunda pembayarannya pada batas waktu tertentu, maka anda tidak berhak memintanya kecuali apabila memang sudah sampai pada waktu yang ditentukan. Karena menuntut hak dipenuhinya sisa dari pembayaran mahar hanya boleh dilakukan pada saat terjadi perceraian atau sebab-sebab yang lain, atau terjadi kematian salah satu dari kedua belah pihak.

Jika suami meninggal terlebih dahulu, sang istri berhak mengambil dari peninggalan suami sebagai ganti dari mahar yang tertunda pembayarannya sebelum dikeluarkan wasiatnya atau dibagikan harta bendanya kepada ahli warisnya, kemudian baru mengambil bagian dari peninggalan suaminya secara utuh, jika memang masih tersisa dalam peninggalannya.

Apabila istri yang meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya : maka ahli warisnyalah yang berhak mengambil bagian mereka dari mahar yang belum terbayarkan sebagaimana mereka mewarisi dari harta benda sang istri, dan dibagikan secara merata kepada mereka sesuai dengan pembagian hak waris mereka, dan pembahasan tersebut telah dijelaskan dalam fatwa  no. 145955.

Keempat :

Tidak wajib bagi suami anda untuk mengajak serta anda dalam perjalanannya jika memang perjalanan dan kepergiannya tidak memakan waktu yang cukup lama, selama anda tinggal ditempat yang aman yang bisa menjamin keamanan diri dan harta benda anda. Adapun tidak adanya mahram yang bersama anda di mana anda tinggal bukanlah suatu syarat,  sebab keberadaan seorang mahram itu disyaratkan hanya ketika sedang menempuh perjalanan, dan bukan pada saat sedang mukim di rumah.

Syaikh Bin Baaz Rahimahullah berkata,  “Dan berdiamnya seorang wanita di suatu negara                             (di rumahnya) tanpa disertai mahramnya, tidak ada mudharat dan tidak ada yang patut dimasalahkan, apalagi apabila tidak ada bahaya yang mengancamnya.” (Fatawa Islamiyyah,  3/82)

Kelima:

Apa yang dilakukan oleh suami anda dengan mengolok-olok dan menghina anda serta menyebut anda sebagai orang gila dan lain sebagainya; merupakan hal yang diharamkan. Karena sesungguhnya tidak dibolehkan mengolok-olok dan menghina sesama manusia, tidak juga menyebutkan aib dan kekurangan atau dosa-dosa mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (سورة الحجرات: 11)

"Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim." (QS Al Hujurat : 11)

Telah disebutkan penjelasannya tentang bagaimana hukumnya menghina dan memperolok-olok itu pada Fatwa no. 125973.

Keenam:

Suami anda tidak berhak melarang anda untuk memiliki handphone, ponsel atau alat komunikasi yang modern lainnya, jika anda membelinya dengan harta benda anda sendiri. Adapun suami anda, dia tidak wajib membelikannya untuk anda semua sarana komunikasi tersebut ; karena bukanlah termasuk nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami. Akan tetapi secara syari’at sangat dianjurkan baginya untuk menjaga perasaan anda dan membuat nyaman hati anda dengan apa yang mampu ia lakukan atau melakukan hal lain yang bermanfaat dan dibolehkan. Karena hal ini termasuk dari bagian hubungan baik dengan sesama, dan cermin dari bagusnya budi pekerti yang merupakan bentuk kebaikan yang dianjurkan oleh syari’at Islam kepada seluruh umat manusia khususnya hubungan antara suami-istri.

Ketujuh:

Secara asal suami yang memukul istrinya tidak dibolehkan dalam Islam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyakiti kaum mukminin baik laki-laki maupun perempuan dengan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (سورة الأحزاب:  58)

"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS Al Ahzab : 58)

Ibnu Jarir At Thobari Rahimahullah mengatakan: “Pendapat yang benar dalam hal ini menurut kami adalah, tidak boleh bagi seorang pun memukul orang lain apalagi menyakitinya melainkan dengan alasan yang dibenarkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (سورة الأحزاب: 58)

"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS Al Ahzab: 58)

Meskipun yang dipukul adalah seorang istri dan yang memukulnya adalah suaminya sendiri, atau seorang budak lelaki atau perempuan dan yang memukulnya adalah tuannya, atau anak kecil yang dipukul oleh ayahnya, atau orang yang diberikan wasiat oleh seorang ayah yang telah berwasiat kepadanya (tetap tidak boleh).” (Tahdzibul Aatsar, 1/418)

Akan tetapi syari’at Islam memperbolehkan bagi seorang suami memukul istrinya jika memang nampak pembangkangan darinya, yang sebelumnya telah diberikan wejangan namun belum diindahkan seperti di jauhi dari tempat tidur, namun dia (isteri) tidak jera, maka pada saat itu diperkenankan bagi suami memukulnya dengan syarat-syarat :

1-      Hendaknya pukulannya tidak membekas, sebagaimana hadist berikut, 

Dari Jabir Radliyallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda pada saat haji wada’ 

اتَّقُوا اللَّهَ في النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذلك فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غير مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (رواه مسلم، رقم 1218)

"Bertakwalah kalian kepada Allah dalam hal wanita karena sesungguhnya kalian semua menyunting dan mengambil mereka dengan jaminan Allah dan dihalalkan bagi kalian kehormatan mereka dengan kalimat Allah, dan hak kalian atas mereka adalah hendaknya mereka tidak memasukkan seorang lelakipun yang kalian benci ke dalam bilik kasur-kasur kalian, dan jika mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas, dan bagi mereka hak-hak atas kalian berupa rizqi-rizqi mereka dan pakian-pakaian mereka secara baik." (HR. Muslim, no. 1218)

2-      Hendaknya menghindari pukulan yang di arahkan ke wajah dan tempat-tempat yang membahayakan, sebagaimana penjelasan yang telah dijelaskan pada fatwa no.                                150762.

3-      Hendaknya suami memiliki keyakinan bahwa pemukulan yang diberikan akan memperbaiki prilakunya. Apabila tidak mendatangkan manfaat maka pemukulan tersebut tidak boleh dilakukan.

Terdapat dalam “ Syarhul Kabier wa Hasyiyatu Ad Dasuqi,  343/2: “Adapun pemukulan,  maka hal tersebut tidak boleh dilakukan apabila tidak yakin akan mendatangkan manfaat.”

Dari sini bisa diketahui, "Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh suami anda bahwa sah-sah saja baginya memukul anda selama menjauhi area wajah, adalah ucapan yang semena-mena dan menyalahi syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang di dalam ucapannya terdapat kebohongan terhadap Allah Ta’ala sekaligus terhadap agamanya dan tuduhan terhadap Allah yang Maha Suci dengan tanpa ilmu dan hal ini termasuk bagian dari dosa-dosa besar. 

Kami nasehatkan kepada anda ; hendaknya anda menjaga kasih sayang kepada suami anda dan tetap berusaha memperbaiki hubungan anda dengannya. Apabila anda ingin menyelesaikan perkara anda dengan suami anda, hendaklah anda meminta mediator yang akan memberikan nasihat yang bijak kepada kalian berdua, baik dari anggota keluarga anda maupun dari keluarga suami, agar memperbaiki hubungan antara kalian berdua. Dan apabila anda membatalkan sesuatu dari mahar yang merupakan hak-hak anda yang berupa harta benda, jika hal itu akan memperbaiki hubungan antara kalian berdua, dan tidak ada masalah, juga sebaiknya anda melaksanakannya. Semoga Allah memberikan kemudahan terhadap urusan kalian berdua dan semoga Allah menghimpunkan kebaikan bagi kalian berdua.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam