Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Hukum Makan Dari Makanan Yang Dimasak Keluarga Mayat Saat Berkabung Atau Empat Puluh Hari

220923

Tanggal Tayang : 28-02-2017

Penampilan-penampilan : 126582

Pertanyaan

Masayarakat di sekitar kami memasuk makanan khusus pada hari keempatpuluh dari wafatnya mayit. Kami menganggap hal ini termasuk haram, sehingga kita tidak pergi untuk jamuan seperti ini. Akan tetapi tetangga kami dari keluarga mayit mengirimkan makanan ke rumah kami dan memberikan kepada anak-anakku. Karena saya tidak berbicara dengan bahasa daerah mereka, dan saya tidak ingin menyakiti perasaan mereka, maka saya menerimanya dan memberikannya ke bibi istri saya. Beliau memberitahukan bahwa hal itu haram dan hendaknya dihilangkan, apakah diberikan ke hewan atau mengembalikan kepada pemiliknya. Suaminya mengatakan melakukan kebiasaan semacam ini haram, sementara makanannya tidak, sehingga tidak mengapa dikonsumsi. Saya ingin mengetahui hukum makan ini sendiri, apakah diperbolehkan memakannya atau tidak? Kalau tidak boleh dimakan, apa yang kita lakukan dengannya ? apakah saya mendapatkan dosa kalau saya berikan kepada orang lain dan dia memakannya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Yang sesuai sunah, tetangga, kerabat, dan teman-teman hendaknya bersegera memasakkan makanan dan dihadiahkan kepada keluarga mayit. Sebagaimana ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika sampai kepada beliau berita kematian anak pamannya Ja’far bin Abi Tolib radhiallahu anhu dalam perang Mu’tah, maka beliau bersabda:

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا ، فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ (رواه الترمذي، رقم 998 وحسنه ، وأبو داود، رقم 3132 وابن ماجه، رقم 1610 وحسنه ابن كثير والشيخ الألباني)

“Masakkan makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkannya.” (HR. Tirmizi, no. 998, dinyatakan hasan oleh Abu Dawud, no.  3132, ibnu Majah, no.  1610 dan dinyatakan hasan juga oleh Ibnu Katsir dan Syekh Albani)

Imam Syafi’I mengatakan, “Saya menyukai bagi tetangga mayit atau kerabatnya memasakkan makanan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malam harinya yang dapat mengenyangkan. Karena hal itu termasuk sunah dan menjadi kenangan yang baik serta  termasuk perbuatan orang dermawan sebelum dan sesudah kami.” (Al-Umm, 1/317).

Ibnu Qudamah mengatakan, “Dianjurkan membuat makanan untuk keluarga mayat dan dikirim sebagai bantuan untuk mereka dan menghibur hatinya. Karena mereka terkadang sibuk dengan musibah dan kedatangan orang-orang kepadanya sehingga mereka tak sempat  membuat makanan untuk dirinya.” (Al-Mughni, 3/496. Silahkan dilihat jawaban soal no.213425)

Kedua:

Jumhur ulama memakruhkan bagi keluarga mayit memasak makanan untuk disuguhkan kepada orang yang datang kepadanya. Baik pada hari kematian atau hari keempat, kesepuluh, keempat puluh atau pada awal tahun. Semuanya itu tercela.

Ibnu Hamam Al-Hanafi mengatakan, ‘Dimakruhkan menjamu tamu dengan memasak makanan dari keluarga mayit. Karena hal itu disyariatkan pada (kesempatan) yang menggembirakan bukan (kondisi) yang menyedihkan. Dan itu termasuk bid’ah yang buruk.” (Fathul Qadir, 2/142).

Khottob Al-Maliki mengatakan, “Adapun jika keluarga mayit memasak makanan lalu  mengumpulkan orang untuk itu, maka sekelompok ulama telah memakruhkan dan memasukkannya sebagai bid’ah. Karena tidak dinukil adanya riwayat sedikitpun tentang hal itu. Dan itu bukan saatnya membuat walimah (pesta makan).” (Mawahib Jalil Fi Syarh Mukhtasor Kholil, 2/228).

An-Nawawi mengatakan, “Adapun jika keluarga mayit memasak makanan dan mengumpulkan orang untuk itu, tidak dinukil sedikitpun adanya riwayat tentang hal itu. Dia termasuk bid’ah dan tidak dianjurkan.” (Raudhatut-Thalibin, 2/145).

Ibun Qudamah mengatakan, “Adapun keluarga mayit memasak makanan untuk orang, maka itu termasuk makruh karena semakin menambah musibahnya dan menyibukkan mereka dari kesibukan yang ada serta menyerupai apa yang dilakukan penduduk jahiliyah.” (Al-Mughni, 3/497).

Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun jika keluarga mayit memasak makanan dan mengundang orang kepadanya, ini tidak dianjurkan, bahkan termasuk bid’ah. Bahkan Jarir bin Abdullah mengatakan, “Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan memasak makanan untuk orang-orang termasuk niyahah (meratap yang diharamkan). Yang dianjurkan, kalau ada yang meninggal dunia, hendaknya orang-orang memasakkan makanan untuk keluarga mayat.” (Majmu Fatawa, 24/316)

Dalam Fatawa Lajnah Daimah, 9/145, “Adapun keluarga mayit memasakkan makanan untuk orang-orang dan menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, sepengetahuan kami tidak dikenal riwayatnya dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari Khulafa’ Rosyidin, bahkan ia termasuk bid’ah. Selayaknya ditinggalkan. Karena termasuk menyibukkan keluarga mayit dari kesibukan yang ada dan menyerupai apa yang dilakukan penduduk jahiliyah serta berpaling dari sunah Rasulullah sallallahu aliahi wa sallam dan para khulafaurrosyidin radhiallahu anhum.”

Mereka mengatakan,”Apa yang dilakukan keluarga mayit sekarang dari membuat makan malam dan hari keempat puluh, tidak ada asalnya. Kalau mereka ingin bersodaqoh untuk mayit dengan memberi makanan, selayaknya jangan terikat dengan hari tertentu. Jika mereka bersodaqah dengan uang, itu lebih baik bagi mereka. Karena itu lebih jauh dari riya dan lebih bermanfaat untuk para fakir dan lebih jauh dari menyerupai non Islam.” (Fatawa Lajnah Daimah, 9/149).

Pendapat makruh termasuk pendapat mazhab imam empat, sebagaimana telah kita nukil pendapat mereka. Sebagian ulama berpendapat mengharamkan. Ibnu Muflih mengatakan, “Ada pendapat yang mengharamkan. Sementara Ahmad memakruhkannya, seraya mengatakan, “Saya tidak menyukai.” Dinukil Ja’far yang tidak memberikan keringanan bagi mereka dalam hal ini. Marwazi menukilkan, “Itu termasuk prilaku orang jahiliyah dan sangat diingkari.” (Al-Furu, 3/408).

Pendapat pengharaman lebih tepat kalau biaya makanan berasal dari harta orang Yatim dan kekurangan. Syekh Muhammad bin Ibrohim Ali Syekh mengatakan, “Para ulama fikih rahimahumullah menegaskan bahwa makruh keluarga mayit memasak makanan untuk orang, bahwa makanan ini termasuk yang dilarang.

Kalau makanan dari harta warisan mayit, sementara di antara ahli waris ada yang kekurangan atau tidak ada atau tidak rela dari (harta) warisan, maka itu termasuk haram. Karena di dalamnya termasuk membelanjakan harta orang lain tanpa diizinkan secara syar’i.” (Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrohim, 3/232).

Syekh Muhammad Mukhtar Sinqithi mengatakan, “Membebani keluarga mayit dengan memasak makanan termasuk menyalahi sunah dan lebih dekat kepada bid’ah. Bahkan bisa menjadi haram kalau dari dana orang yatim dan fakir sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil. Karena itu berarti menyepelekan warisan mayit sementara di dalamnya ada hak orang yatim dan para janda. Mereka mengambil dana darinya untuk membuat tikar dan hamparan serta biaya berkabung  seakan ada pesta. Hal itu memberatkan dan menyusahkan keluarga mayat. Maka hal ini termasuk makan harta orang yatim secara zalim. Pelaku hal itu sebagaimana yang disifati oleh Allah bahwa mereka itu:

إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (سورة النساء: 10)

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim[10], sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa: 10)

Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesehatan.” )Syarh Zadul Mustaqni’, 86/15 dengan penomoran syamilah di komputer)

Dia berkata, “Terkait keluarga mayit yang memasak makanan sebagai sodaqoh untuk mayit mereka atau semacam itu dimana kebanyakan orang diuji pada zaman sekarang, ini yang dikatakan oleh para ulama bahwa hal itu tidak disyareatkan. Kalau itu dari dana orang yatim, maka lebih diharamkan lagi. maka bagi walinya harus mengganti harta yang dibelanjakan. Kalau menginfakkan dari harta orang yatim seperti dalam masalah ini, maka dia harus menggantinya. Karena orang yatim tidak bertanggung jawab terhadap makanan ini dan tidak diperbolehkan membebani hartanya dari nafkah ini yang tidak ada anjuran dari syariat. Maka diwajibkan bagi orang yang mengeluarkannya untuk menggantinya dan membebani hutang kepadanya.” (Syarh Zadul ustaqni, 17/86 dengan penomoran syamilah dengan komputer)

Ketiga:

Dikecualikan dari makruh, memasak makanan bagi para tamu yang tinggal di rumah itu jika tujuan membuatkannya dalam rangka menghormatinya, bukan sebab kematian. Ibnu Qudamah mengatakan, “Kalau ada keperluan untuk itu, maka diperbolehkan. Karena terkadang ada orang yang bertakziah datang dari desa dan tempat jauh lalu menginap di rumahnya, maka  tidak ada cara lain kecuali menghormatinya.” (Al-Mughni, no. 3/497).

Syekh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Kalau ada tamu yang tinggal di keluarga mayit saat berkabung, maka tidak mengapa memasak untuk mereka makanan untuk memuliakannya,  sebagaimana tidak mengapa bagi keluarga mayit mengundang orang yang dikehendakinya dari tetangga dan kerabat untuk makan bersama mereka dari makanan yang disuguhkan.” (Fatawa Syekh Abdul Aziz Bin Baz, 9/325).

Dalam ‘Fatawa Lajnah Daimah (8/378) “Adapun memasak makanan dari keluarga mayit untuk orang-orang itu menyalahi sunah, bahkan itu termasuk kemungkaran. Kacuali kalau ada tamu yang tinggal, maka tidak mengapa (diberi makanan).”

Syekh Muhammad Mukhtar Sinqiti mengatakan, “Permasalahan ini sudah masyhur, yaitu permasalahan tamu ketika tinggal di keluarga mayit. Kalau disana ada tamu, terutama dari kerabat, seperti anak paman atau saudara-saudaranya tinggal dan datang dari jauh dan tinggal bersama seseorang, maka mereka adalah tamu yang mempunyai hak tamu. Maka menyembelih (hewan) untuk mereka  bukan karena mayit dan tidak dalam rangkah sodaqah untuk mayit, akan tetapi sebagai penghormatan kepada tamu, tidaklah mengapa. Karena hal ini bukan termasuk pembahasan kita. Tidak termasuk berkabung juga tidak terkait dengan berkabung. Akan tetapi karena menghormati tamu yang Allah dan RasulNya perintahkan. Maka menghormati tamu tidak mengapa.” (Syarh Zadul Mustaqni’, 86/15 dengan penomoran syamil computer)

Keempat:

Sebagaimana dimakruhkan bagi keluarga mayit memasak makanan bagi orang yang datang untuk berkabung, begitu juga dimakruhkan memakanan makanan yang disuguhkan karena sebab ini. Kalau makanan dari dana warisan anak-anak, maka makan darinya itu haram.

Al-Bahuti mengatakan, “Dimakruhkan makan dari makanannya. Kalau (dananya) dari harta warisan sementara ahli waris ada yang tidak hadir atau tidak mengizinkan, maka prilakunya ini haram dan diharamkan makan darinya. Karena termasuk menggunakan harta terlarang atau memakan harta orang lain tanpa izinnya.” (Kasyaful Qana’, 2/149).

Ibnu Hajaz Haitsami mengatakan, “Apa yang biasa dilakaukan dimana keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang termasuk bid’ah makruh. Sebagaimana menerima undangan akan hal itu juga.” Selesai dari ‘Tuhfatul Muhtaj, (3/207).

Dalam kitab Fawakih Dawani 1/285, “Tidak layak bagi seorang pun makan darinya kecuali orang yang memasaknya dari ahli waris yang telah balig dan rosyid. Maka tidak mengapa makan darinya.”

Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, 16/14, “Para ulama fikih sepakat, dimakruhkan jamuan dari keluarga mayit, karena jamuan disyariatkan dalam kegembiraan bukan dalam kesedihan. Ulama dalam mazhab Hambali lebih tegas menyatakan makruh makan dari makanan keluarga mayit. Adapun jika dari harta warisannya sementara di dalamnya ada yang berhak (tapi) masih tertahan (pembagiannya), maka perbuatan itu diharamkan dan diharamkan makan darinya.

Ulama dalam mazhab Habali dan Syafii menegaskan bahwa diharamkan menyediakan makanan bagi orang yang meratap karena kematian karena termasuk membantu dalam kemaksiatan.

Sementara Hanafiyah menegaskan memakruhkan membuat makanan di hari-hari yang dikenal seperti pada hari pertama, ketiga setelah seminggu.”

Kesimpulan:

Memasak makanan dari keluarga mayat untuk orang yang datang takziah adalah makruh. Dimakruhkan bagi orang yang hadir untuk berkabung memakanan makanan tersebut, bahkan diharamkan kalau berasal dari harta anak yatim yang masih kecil.

Sementara makanan yang dihadiahkan kepada anda dari keluarga mayit, maka anda selayaknya memberi nasehat kepada mereka dan tidak menerimanya sebagai pelajaran bagi mereka agar tidak mengulangi perbuatan seperti ini lagi. Karena anda telah menerimanya, maka tidak mengapa bagi anda memakannya atau mensodaqohkan kepada orang yang membutuhkannya. Karena makanan ini –meskipun dimakruhkan membuatnya- bukan haram secara dzatnya (makanannya itu sendiri). Ia bukan bangkai dan barang-barang haram semisalnya, akan tetapi dimakruhkan karena seperti yang disebutkan sebagai kebiasaan bid’ah. Sementara orang yang diberi hadiah bukan termasuk orang yang ikut serta dalam bid’ah yang disebutkan.

Wallahu a’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam