Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Di Masa Ihdad (Berkabung Setelah Wafat Suami) Apa Yang Seharusnya Dilakukan Sesuai Empat Mazhab

Pertanyaan

Suami bebarapa waktu lalu meninggal dunia. Sekarang saya di masa iddah dan ingin berkomitmen dengan segala ketentuannya. Beberapa hari yang lalu saya berbicara  dengan ibu salah satu temanku. Dia berkata, bahwa kondisi di Turki berbeda dengan beberapa hal terkait dengan orang yang sedang beriddah. Menurut mereka tidak ada yang dilarang  kecuali menikah. Sementara selain dari itu baik memakai wewangian, berhias dan keluar untuk suatu kebutuhan, mereka berpendapat tidak mengapa. Dan beliau merujuk ke mazhab Hanafi dimana penduduk setempat bermazhab demikian. Apakah yang dikatakannya itu benar? Apakah ada perbedaan di kalangan ulama fikih empat mazhab dalam masalah iddah orang yang ditinggal wafat suaminya? Saya ingin mengetahui perinciannya bukan sekedar untuk diriku semata, akan tetapi untuk saya berikan nasehat kepada wanita tersebut.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Apa yang diberitahukan oleh wanita ini dan menyandarkan kepada mazhab Hanafi, bahwa wanita yang sedang ihdad (berkabung) dari suami yang wafat tidak ada kewajiban  selain dilarang menikah dan selain dari itu berupa berhias dibolehkan adalah perkara yang tidak benar. Karena para ulama fikih Hanafi telah menegaskan bahwa wanita yang sedang dalam masa ihdad (berkabung) dari suami yang telah meninggal dunia dilarang berhias.

As-Samarqandy dalam kitab ‘Tuhfatul Fuqoha’, (2/251) mengatakan, “Pemahaman ihdad adalah  menjauhi semua perkara yang mengarah pada perbuatan berhias bagi Wanita, baik memakai wewangian, memakai baju celupan warna, menggunakan baju dengan wewangian dari ushfur dan safron, memakai celak, minyak, menyisir rambut, memakai gelang dan pacar, dan semisal itu.”

Dalam kitab ‘Tabyinul Haqoiq Syarah  Kanzu Ad-Daqoiq karangan Zaila’i, 3/34, “Wanita yang ihdad dari suami yang meninggal dunia adalah dengan meninggalkan berhias, memakai wewangian, memakai celak, minyak rambut kecuali kalau ada uzur, memakai pacar, memakai baju yang dicelup warna ushfur dan saffron, kalau dia sudah baligh dan muslimah. Berdasarkan sabda Nabi sallalahu’alaihi wa sallam:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ، إلَّا عَلَى زَوْجٍ ، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلَا تَكْتَحِلُ ، وَلَا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ، وَلَا تَمَسُّ طِيبًا إلَّا إذَا طَهُرَتْ ، نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،

"Tidak boleh bagi seorang wanita melakukan ihdad karena kematian seseorang melebihi tiga hari, kecuali karena kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari, dan tidak boleh menggunakan pakaian yang berwarna warni, melainkan hanya memakai pakaian yang kasar (kain beludru), dan tidak boleh menggunakan celak mata, dan tidak boleh memakai wewangian kecuali jika masa iddahnya telah habis, maka diperbolehkan baginya memakai qusth dan adzfar (sejenis pohon yang harum baunya)." (Muttafaq ‘alaihi)

Beliau juga sallalahu alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditinggal wafat suaminya,

لَا تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنْ الثِّيَابِ، وَلَا الْمُمَشَّقَ وَلَا الْحُلِيَّ، وَلَا تَخْتَضِبُ، وَلَا تَكْتَحِلُ (رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُد، وَالنَّسَائِي)

“Jangan memakai baju yang diwarnai kuning, juga baju yang berjumbai, juga tidak boleh memakai perhiasan, dan tidak boleh memakai pacar dan tidak boleh memakai celak.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)

Para ulama fikih dari kalangan Hanafiyah memperbolehkan untuk wanita yang sedang beriddah dari suami yang wafat, keluar pada siang hari karena ada kebutuhan baik bekerja dan berobat dan semisal itu. Agar dia kembali waktu malam hari ke rumah untuk bermalam di rumah.

Terdapat dalam kitab Al-Bahru Ar-Roiq Syarah  Kanzu Ad-Daqoiq dan Minhatul Khaliq, (4/166), “Wanita yang sedang masa iddah dari suaminya yang meninggal dunia boleh keluar sehari dan sebagian malam untuk bekerja.” Maksudnya bekerja untuk menghidupi kesehariannya. Maka tidak dihalalkan baginya keluar untuk sekedar berkunjung atau keperluan lainnya, baik waktu malam ataupun siang.”

Kesimpulannya: Perkara yang dihalalkan adalah apabila keluarnya disebabkan dalam rangka kesibukan kerja yang dibutuhkan untuk keperluan hidupnya. Maka dia dapat memperkirakan kadarnya,  jika sudah mencukupi kebutuhannya, maka tidak dihalalkan setelah itu menggunakan waktunya di luar rumahnya.

Al-Kasani rahimahullah mengatakan, “Adapun wanita yang ditinggal wafat suaminya, maka jangan keluar malam hari. Tidak mengapa keluar waktu siang hari untuk memenuhi kebutuhannya. Karena dia butuh keluar di siang hari untuk bekerja memenuhi kebutuhan nafkahnya. Karena dia tidak mendapatkan nafkah dari suaminya yang telah meninggal dunia. Maka dia butuh keluar agar mendapatkan nafkah. Tidak boleh keluar malam hari karena tidak ada kebutuhan keluar malam. Berbeda dengan orang yang diceraikan, maka nafkahnya masih dibebankan kepada suaminya, sehingga dia tidak perlu keluar rumah.” (Badai As-Sonai Fi Tartibis Syaroi, 3/205)

Ketentuan ini, berupa berdiam diri di rumah dan meninggalkan berhias waktu semasa (bagi isteri yang ditinggal wafat suaminya) semua ulama fikih empat madzhab nyaris sepakat.

Sementara ulama dari kalangan mazhab Maliki, Ibnu Abdu Bar dalam kitab ‘Al-Kafi Fi Fiqhi Ahlil Madinah, (2/622) berkata, “Ihdad (melalui masa berkabung)  wajib bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya hingga selesai masa iddahnya beberapa bulan atau hingga melahirkan jika dia hamil.

Al-Ihdad adalah menjauhi semua yang dibuat berhias untuk para wanita, dari gelang, menyemir, celak, pacar, dan baju yang diwarna atau baju putih dengan tujuan berhias. Adapun gelang dan cincin dan semacamnya, tidak dibolehkan memakainya bagi orang yang sedang ihdad. Begitu juga dengan semua wewangian. Kalau terpaksa harus memakai celak, maka boleh memakainya waktu malam, ketika siang harus dihapus. Jangan menggunakan apapun dari minyak rambut yang wangi. Adapun semua yang bukan dianggap berhias, tidak mengapa dilaukan bagi wanita yang sedang ihdad.”

Sementara ulama kalangan mazhab Syafii, Abu Ishak As-Syairozi dalam kitab (At-Tanbih Fil Fiqhi As-Syafi’I, 1/201) berkata, “Ihdad adalah meninggalkan berhias, maka jangan memakai gelang dan jangan memakai wewangian juga pacar, jangan menyisir rambutnya, jangan memakai celak dengan istmid dan sabr. Kalau dibutuhkan, maka pakailah celak di malam hari dan dihapus siang hari. Jangan pakai baju yang dicelup warna merah dan biru polos. Tidak dibolehkan keluar dari rumah tanpa ada keperluan. Kalau dia ingin untuk kebutuhan, maka tidak dibolehkan malam itu, dan wanita yang ditinggal wafat suaminya dibolehkan keluar untuk memenuhi kebutuhannya waktu siang hari. Selesai

Sementara Hanabilah, sungguh Ibnu Qudamah Al-maqdasi dalam kitab ‘Umdatul Fiqhi, (1/107) mengatakan,”Bab Beriddah, itu merupakan suatu kewajiban bagi orang yang ditinggal wafat suaminya. Yaitu menjauhi berhias, memakai wewangian, celak dengan istmid, memakai baju yang diwarnai agar lebih bagus (penampilannya). Dan dia harus menginap di rumahnya yang diwajibkan dia beriddah dan tinggal didalamnya. Kalau memungkinkan hal itu. Selesai

wallahua’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam