Alhamdulillah.
Pertama:
Kami tidak menemukan hadits dengan redaksi di atas di dalam kitab-kitab sunnah, akan tetapi redaksi tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam bukunya: “Bustanul Wa’idziin: 22” dan tidak sebutkan sanadnya, dalam konteks beberapa nasehat-nasehatnya. Buku seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai sumber riwayat dan kalimat-kalimatnya tidak bisa menjadi dasar hukum.
Namun telah diriwayatkan yang mirip dengan makna di atas, yaitu; (bahwa hancurnya semua makhluk, semua mereka akan mati, termasuk malaikat –‘alaihimus salam-) dengan panjang lebar dalam hadits yang dikenal oleh para ulama sebagai hadits gambaran (peristiwa).
Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh Ishak bin Rahawaih dalam Musnadnya, nomor: 10 (1/84) dan Abu Syeikh dalam Al ‘Adzamah nomor: 386, 387, 388 dan lain sebagainya.
Hadits tersebut Mudhtharib (rancu), lemah dari hampir semua jalurnya. Telah disebutkan sebelumnya, termasuk takhrijnya (penelitian sisi perowinya), telah dijelaskan juga para imam hadits yang mendha’ifkannya pada jawaban soal nomor: 105309.
Kedua:
Redaksi hadits yang dipermasalahkan oleh penanya di atas adalah “pertanyaan Allah kepada semua makhluk setelah mereka dibinasakan”. Telah diriwayatkan dalam Al Qur’an dan Sunnah yang menyatakan hal itu secara global, tanpa melihat redaksi yang ada di dalam pertanyaan di atas secara khusus.Allah –Ta’ala- berfirman di dalam Al Qur’an yang mulia:
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ * يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ * الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
غافر/15-17 .
“ (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai `Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat), (yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”. (QS. Ghofir: 15-17)
Imam Bukhori telah meriwayatkan di dalam Shahihnya: 4812 dan Muslim: 2787 bahwa Abu Hurairah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَقْبِضُ اللَّهُ الأَرْضَ، وَيَطْوِي السَّمَوَاتِ بِيَمِينِهِ ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا المَلِكُ، أَيْنَ مُلُوكُ الأَرْضِ ؟
“Allah menggenggam bumi dan menggulung semua langit dengan (Tangan) kanan-Nya, kemudian berfirman: “Aku adalah Raja, kemana semua raja-raja di bumi ?”.
Ibnul Jauzi –rahimahullah- berkata:
Firman Allah –Ta’ala-:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ
“Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini ?” (QS. Ghafir: 16)
Semua ulama sepakat bahwa ucapan tersebut difirmankan oleh Allah -‘Azza wa Jalla- setelah hancurnya semua makhluk.
Dan mereka berbeda pendapat tentang kapan Allah –‘Azza wa Jalla- mengucapkannya menjadi dua pendapat:
1.Bahwa Dia berfirman pada saat hancurnya semua makhluk, jadi tidak ada seorang pun yang menjawabnya, maka Dia menjawabnya sendiri dengan berfirman: “Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. Ini merupakan pendapat kebanyakan dari para ulama.
2.Bahwa Dia mengucapkannya pada saat terjadinya hari kiamat.
Dan siapa yang menjawabnya pada saat itu ada dua pendapat:
1.Dia menjawabnya sendiri, karena semua makhluk terdiam disebabkan firman Allah tersebut. Ini pendapat Atha’
2.Bahwa semua makhluk menjawabnya, dengan mengatakan: “Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. Ini merupakan pendapat Ibnu Juraij.
(Zaadul Masiir: 7/212)
Baca juga: (Tafsir Al Baghawi: 7/143-144, As Siraajul Muniir / Al Khotiib Asy Syarbaini: 3/475, Mahasinul Takwiil / Al Qaasimi: 8/305)
Ketiga:
Pada pertanyaan tersebut tidak ada masalah, baik berasal dari Allah Tuhan Semesta Alam dan Dia Maha Mengetahui Yang Ghaib, atau yang berasal dari selain-Nya, sebagaimana yang telah dikatakan, penjelasan hal itu dari beberapa sisi:
Pertama:
Telah dikatakan bahwa hal itu pertanyaan dan jawabannya, dan terjadi setelah dibangkitkannya semua makhluk dan dikumpulkannya mereka di hadapan Allah Tuhan Semesta Alam, dan bahwa semua makhluk menjawabnya, sebagaimana yang telah disebutkan periwayatannya oleh Ibnu Juraij, dan dalam kondisi demikian tidak ada masalah.
Pendapat ini telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- bahwa dia berkata:
يَجْمَعُ اللَّهُ الْخَلَائِقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي صَعِيدٍ بِأَرْضٍ بَيْضَاءَ، كَأَنَّهَا سَبِيكَةُ فِضَّةٍ لَمْ يُعْصَ اللَّهُ فِيهَا قَطُّ ، فَأَوَّلُ مَا يَتَكَلَّمُ بِهِ أَنْ يُنَادِيَ مُنَادٍ: لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ؟ فيجيبوا كُلُّهُمْ:لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
“Allah mengumpulkan semua makhluk pada hari kiamat di tanah lapang yang berwarna putih, seperti halnya lempengan perak yang Allah tidak pernah didurhakai ditempat tersebut sebelumnya, maka pertama kali yang diucapkan adalah ada penyeru yang berkata: “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini ?, maka mereka semua menjawab: “Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”.
Dinukil oleh Ibnu Hayyan dalam Al Bahrul Muhith: 9/245 dan serupa dengannya dari Ibnu Athiyah dalam Al Muharrarul Wajiz: 4/551, As Suyuthi menyandarkankannya dalam Ad Durrul Mantsur: 7/280 kepada ‘Abd bin Hamid dalam Tafsirnya. Bahwa yang demikian itu memang tentang soal jawab dan semua makhluk telah menjawab pertanyaan Allah Tuhan mereka.
Kedua:
Bahwa jika dianggap bahwa jawaban tersebut tidak berasal dari makhluk-Nya, artinya yang bertanya dan yang menjawab adalah Tuhan semesta alam, sebagaimana yang dinukil dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa dia berkata:
“Jika semua yang di langit dan di bumi hancur dan tidak ada yang tersisa kecuali Allah, maka Dia berfirman: “Milik siapakah kerajaan pada hari ini ?, maka tidak seorang pun yang menjawabnya, maka Dia menjawabnya sendiri: “Kepunyaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan”.
Silahkan melihat di Al Bahrul Muhith di tempat tadi.
Maka dalam hal ini tidak ada masalah, karena tujuan pertanyaan tersebut secara balaghah lebih luas dari hanya sekedar menanyakan sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, sebagaimana di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ وَصَلاَةِ العَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ ، فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ : كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي ؟ فَيَقُولُونَ: تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ ، وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
“Saling bergantian di antara kalian malaikat malam dan malaikat siang, mereka semua bertemu pada shalat Subuh dan shalat Ashar kemudian malaikat yang bermalam dengan kalian naik (menghadap Allah), maka Allah bertanya kepada mereka, Sedangkan Allah Maha Mengetahui akan keadaan mereka: “Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku ?, maka mereka menjawab: “Kami meninggalkan mereka pada saat mereka mendirikan shalat dan kami pun mendatangi mereka pada saat mereka mendirikan shalat juga”.
Tujuan pertanyaan tersebut bukan untuk memberitahu keadaan pada hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditetapkan dan diketahui, dan sebagaimana dalam hadits tersebut: وهو أعلم بهم (Dan Dia Maha Mengetahui keadaan mereka), akan tetapi hikmah dibalik hal tersebut adalah menjelaskan kemulian pada hamba-Nya, penghormatan akan keagungan keadaan mereka dan memuji keutamaan mereka di hadapan malaikat.
Dan di antara tujuan pertanyaan tersebut adalah bisa jadi justru sebaliknya, yang bertanya sangat mengetahui dengan yakin bahwa yang ditanya tidak bisa menjawabnya. Sebagaimana di dalam Shahih Muslim (2873) dari hadits Umar –radhiyallahu ‘anhu-:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يُرِينَا مَصَارِعَ أَهْلِ بَدْرٍ، بِالْأَمْسِ، يَقُولُ: ( هَذَا مَصْرَعُ فُلَانٍ غَدًا، إِنْ شَاءَ اللهُ )، قَالَ: فَقَالَ عُمَرُ: فَوَالَّذِي بَعَثَهُ بِالْحَقِّ مَا أَخْطَئُوا الْحُدُودَ الَّتِي حَدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: فَجُعِلُوا فِي بِئْرٍ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ ، فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى انْتَهَى إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ: ( يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ وَيَا فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ حَقًّا ؟ فَإِنِّي قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي اللهُ حَقًّا )، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تُكَلِّمُ أَجْسَادًا لَا أَرْوَاحَ فِيهَا ؟ قَالَ: ( مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَرُدُّوا عَلَيَّ شَيْئًا
“Sungguh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemarin telah memperlihatkan kepada kami tempat berperangnya ahli badar, beliau bersabda: “Ini tempat berperangnya fulan besok insya Allah”, maka Umar berkata: “Demi Dzat yang mengutus beliau dengan hak, mereka tidak akan salah dalam menentukan batas-batas yang telah ditentukan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka mereka dijadikan dekat dengan sumur. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beranjak menuju mereka dan bersabda: “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, apakah kalian telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan benar ?, karena aku telah mendapatkan apa yang telah Allah janjikan kepadaku”. Maka Umar berkata: “Bagaimana Anda mengajak bicara para jasad yang tidak mempunyai ruh ?”. Beliau bersabda: “Kalian tidak lebih mendengar dari apa yang aku ucapkan kepada mereka, hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya”.
Di dalam Shahih Bukhori (3976) Qatadah berkata:
أَحْيَاهُمُ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ، قَوْلَهُ ، تَوْبِيخًا ، وَتَصْغِيرًا ، وَنَقِيمَةً ، وَحَسْرَةً ، وَنَدَمًا
“Allah menghidupkan mereka sehingga Dia memperdengarkan kepada mereka firman-Nya agar mereka merasa hina, kecil, tidak berdaya, rugi dan menyesal”.
Qatadah –rahimahullah- telah menjelaskan tujuan dari pertanyaan seperti itu dan memperdengarkan ucapan tersebut kepada orang-orang kafir. Bukan berarti tujuan pertanyaan tersebut untuk mengetahui jawaban mereka yang sebenarnya, juga tidak berarti Allah menghendaki bahwa mereka memberitahukan sesuatu yang belum diketahui oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Yang demikian itu tidak asing menurut bahasa Arab dan di dalam syair-syair mereka, seorang pujangga mereka biasa bertanya kepada puing rumah, tempat tinggal, orang-orang yang dicintainya, atau berbicara kepada ontanya atau mendatangi kuburan dan mengajaknya bicara dan bertanya kepadanya, dan lain sebagainya. Dimana hal tersebut sudah tidak asing lagi, tidak bisa dipungkiri bahkan oleh mereka yang masih mempunyai ilmu sedikit tentang lidah orang Arab dan bait-bait syair mereka.
Maka pada saat demikian maka bisa dikatakan di sini:
Tidak diartikan secara tekstual, juga bukan berarti konteksnya bahwa Allah –‘Azza wa Jalla- berkehendak untuk menjadikan para makhluk berbicara untuk menjawab pertanyaan-Nya, tidak juga berarti bahwa Dia meminta mereka agar mengucapkan sesuatu, akan tetapi hal itu adalah waktu menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya, dan barang siapa yang ingin menandingi kekuasaan-Nya di dunia dengan perkataan, pengakuan dan kedustaan ucapan mereka, maka pada hari itu tidak diberi kuasa sedikit pun, meskipun hanya untuk berucap dan beralasan dengan sepatah dua patah kata dengan lisan mereka, dan tidak kuasa untuk maju di hadapan Allah Tuhan semesta alam, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan.
Syeikh Allamah Thahir bin Asyur –rahimahullah- berkata:
“Sebuah pertanyaan itu bisa jadi sebagai “Taqriri” penetapan agar para thagut (mereka yang melampaui batas Allah) dari penduduk Mahsyar mengetahui dengan sendirinya bahwa mereka pada saat di dunia telah melakukan kesalahan tentang klaim mereka bahwa para berhala mereka mempunyai kekuasaan pada saat mereka menyandarkan kepada berhala tersebut kekuasan untuk mengatur kerajaan di bumi dan di langit. Seperti keyakinan orang-orang Yunani dengan adanya tuhan (dewa) laut, dewa perang dan dewa hikmah, dan keyakian orang-orang Qibti di Mesir akan adanya dewa matahari, dewa kematian dan dewa hikmah dan seperti keyakinan bangsa Arab pada berhala tertentu untuk kabilah tertentu, seperti berhala Laata untuk bani Tsaqiif, Dzil Kholasah untuk kabilah Daus, dan berhala Manat untuk kabilah Aus dan Khazraj.
Demikian juga anggapan bahwa mereka mampu menguasai manusia seutuhnya seperti perkataan Fir’aun (yang diceritakan oleh Al Qur’an):
مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلهٍ غَيْرِي الْقَصَص: 38
“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku”. (QS. Al Qashash: 38)
Dan ucapannya yang lain:
أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهذِهِ الْأَنْهارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي الزخرف: 51
“Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku”. (QS. Az Zukhruf: 51)
Termasuk gelar para kisra Persia yang menamakan diri mereka dengan: “Malik Al Muluuk / Syahansyah” (Raja diraja), termasuk gelar dari raja-raja India adalah “Raja Dunia” (Syah Jahani)
Makna tersebut bisa ditafsiri dari hadits tentang sifat hari (di padang) Mahsyar:
ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ : أَنَا الْمَلِكُ ، أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ ؟
“Kemudian Allah berfirman: “Aku adalah Raja (Penguasa), mana raja-raja bumi ?”.
Maksud dari pertanyaan di atas adalah memberikan rasa takut pada hari tersebut, maksudnya adalah kemana mereka semua saat ini ? kenapa mereka tidak muncul dengan kebesaran dan kesombongan mereka ?
Bisa juga pertanyaan tersebut mempunyai arti kiasan agar merasakan rindu akan jawaban yang akan datang setelahnya; karena kondisinya bahwa yang mendengar pertanyaan tersebut menunggu-nunggu jawabannya, karena Dia Allah yang mampu menjawabnya. Dan kalimat: ( لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ )boleh menjadi bagian dari perkataan yang telah ditakdirkan yang bersumber dari sisi Allah –Ta’ala- dan dari sisi tersebut muncul pertanyaan dan jawaban dari-Nya.
Karena jika pertanyaan dipakai untuk penetapan dan memicu rasa keingintahuan, maka kondisi tersebut menuntut bagi yang mengucapkan untuk menjawabnya, dan yang serupa dengan itu adalah firman Allah:
عَمَّ يَتَساءَلُونَ عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ النَّبَأِ: 1، 2
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?, Tentang berita yang besar”. (QS. An Naba’: 1-2)
Dan boleh juga bahwa yang diucapkan disembunyikan, yakni mereka yang ditanya mengatakan: “Kepunyaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan”, sebagai bentuk pengakuan dari mereka. Maka mereka mengatakan: لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِsebagai kalimat sisipan.
Penyebutan dua sifat: Maha Esa dan Maha Mengalahkan bukan sifat-sifat mulia lainnya; karena kedua sifat tersebut maknanya sesuai dengan firman Allah:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ
“Kepunyaan siapakah kekuasaan pada hari ini ?”
Yaitu; Keesaan Allah terbukti dan bahwa Dia Mengalahkan semua thagut”.
(At Tahrir wat Tanwir: 24/110-111)