Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Apakah Benar Mentafsirkan Istiwa’ (Bersemayam) di Atas Arsy Dengan Duduk

Pertanyaan

Apakah boleh bagi seorang muslim mengatakan bahwa Allah itu duduk di atas ‘arsy ?, dan apakah boleh kita mengatakan tatkala Allah duduk di atas ‘arsy Dia melakukan ini dan itu ?, saya berharap mengetahui bahwa orang yang mengucapkannya itu tidak bermaksud untuk merendahkan Allah, akan tetapi ia menggunakan kata duduk di atas ‘arsy, maka apakah cukup meminta ampun kepada Allah, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi ?, pertanyaan saya seputar hal ini, karena saya tahu bahayanya ucapan tentang Allah dengan cara yang tidak pantas, dan bisa saja akan mengeluarkan seseorang dari agama pada kondisi tertentu, maka apakah apa yang telah saya sebutkan tadi termasuk dalam kondisi seperti ini ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Yang ditetapkan pada hak Allah Ta’ala adalah istiwa’-Nya di atas ‘Arsy sesuai dengan apa yang pantas bagi keagungan-Nya, kesempurnaan-Nya, Maha Suci Allah.

Hal itu telah ada pada tujuh tempat dari kitab Allah, di antaranya firman Allah Ta’ala:

 إنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الأعراف/54

“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Al A’raf: 54)

Dan yang dikenal dari tafsir istiwa’ adalah Al ‘Uluw wa Al Irtifa’ (tinggi).

Bukhori berkata di dalam Shahihnya: “Bab “وكان عرشه على الماء “ (dan ‘arsy-Nya di atas air), “وهو رب العرش العظيم  “ (Dan Dia-lah Rabb dari ‘arsy yang agung).

Abu Al ‘Aliyah berkata: “استوى إلى السماء adalah irtafa’a (tinggi). Mujahid berkata: “Istawa adalah tinggi di atas ‘arsy”.

Al Baghawi –rahimahullah- berkata: “ ثم استوى إلى السماء  “kemudian Dia bersemayam ke langit”. Ibnu Abbas dan banyak ahli tafsir dari kalangan salaf berkata: “maksudnya adalah meninggi ke langit. Selesai. (Tafsir Al Baghawi: 1/78) Al Hafidz menukilnya di dalam Fathul Bari: 13/417. Dan berkata: “Abu Ubaidah dan Al Farra’ dan selain keduanya berkata yang serupa dengannya”.

Adapun duduk telah ada di dalam beberapa hadits yang tidak shahih.

Akan tetapi sebagian generasi salaf telah menetapkan tafsir dari Al Istiwa’, sebagaimana yang datang dari imam Khorijah bin Mush’ab Ad Dhab’i, yang telah dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam As Sunnah: 1/105.

AL Hafidz Ad Daruquthni telah menetapkan, bermakna: “duduk” pada beberapa bait beliau yang terkenal.

Anggaplah kata tersebut adalah benar, maka wajib diyakini untuk menjauhi menserupakan Allah (dengan sesuatu).

Syeikh Islam –rahimahullah- berkata:

“Jika telah diketahui bahwa apa yang telah disifati oleh para malaikat, dan para ruh anak Adam, dari jenis bergerak, naik dan turun dan yang lainnya. Tidak menyerupai gerakan tubuh anak Adam, dan yang lainnya dari apa yang kita saksikan dengan mata di dunia, dan mungkin dilakukan apa yang tidak mungkin dilakukan pada tubuh anak Adam, maka apa yang di sifatkan kepada Rabb dari hal itu lebih utama untuk mungkin terjadi dan jauh sekali dari menyerupai turunnya semua tubuh.

Bahkan turun-Nya tidak menyerupai turunnya malaikat dan para ruh anak Adam, meskipun hal itu lebih dekat dengan turunnya fisik mereka.

Dan jika duduknya seorang jenazah di dalam kuburnya, tidak sama dengan duduknya fisik, maka apa yang ada pada beberapa atsar dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari kata  القعود والجلوس(duduk) pada hak Allah Ta’ala, seperti hadits Ja’far bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- dan hadits Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- dan dari sahabat lainnya, maka lebih utama untuk tidak menyerupai sifat-sifat fisik pada hamba”. (Majmu’ Al Fatawa: 5/527)

Dan yang lebih dekat adalah tawaqquf (diserahkan kepada Allah) terkait dengan kata ini, karena tidak terdapat pada Al Qur’an dan Sunnah yang shahih, juga tidak pada ucapan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Adapun tafsir dari istiwa’nya Allah Ta’ala di atas ‘arsynya dengan bersemayam-Nya di atasnya, hal itu sudah dikenal di kalangan genereasi salaf, telah dinukil oleh Ibnul Qayyim di dalam An Nuniyyah dan yang lainnya.

Adapun duduk, maka telah disebutkan oleh sebagian mereka, akan tetapi pada diri saya masih ada yang mengganjal, Wallahu A’lam”. Selesai. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 1/196)

Syeikh Al Barrak –hafidzahullah- berkata: “Telah ada di dalam sebagian atsar penisbatan kata duduk kepada Allah Ta’ala, dan bahwa Dia duduk di atas kursi-Nya sebagaimana yang Dia (Allah) subhanahu kehendaki. Dan mungkin saja sebagian para imam menyatakan kata tersebut juga.

Konteks ucapan syeikh Islam Ibnu Taimiyyah dirasakan bahwa istiwa’ mengandung arti duduk.

Akan tetapi tawaqquf untuk penyebutan kata ini, kecuali untuk ditetapkan”. Selesai. (Syarah Ar Risalah At Tadmiriyyah: 188)

Dan atas dari apa yang telah disebutkan:

Maka kami tidak berpendapat dengan mengungkapkan dengan kata duduk, akan tetapi dikatakan: “istawa ‘alal ‘Arsy dan istiwa’ ditafsiri dengan ketinggian.

Dan barang siapa yang berpegang pada apa yang ada dari sebagian generasi salaf, maka tidak ada pengingkaran terhadapnya.

Akan tetapi dikatakan kepadanya, sebaiknya tidak untuk disampaikan di depan umum, karena memungkinkan hal itu akan menjadi fitnah bagi mereka, dan memungkinkan membawa mereka kepada tasybih (menserupakan Allah).

Dengan hal itu sudah jelas bahwa ungkapan ini, bukan suatu kekufuran, akan tetapi ia adalah tafsir dari sifat istiwa’ yang masih ada perbedaan pendapat.

Dan telah kami sebutkan bahwa yang nampak adalah adalah Tawaqquf (diserahkan kepada Allah) untuk penggunaan kata ini”.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam