Sabtu 18 Syawal 1445 - 27 April 2024
Indonesian

Menyebutkan Nikmat-Nimat Dan Mensyukurinya Itu Dengan Hati, Lisan Dan Anggota Tubuh.

Pertanyaan

Tuhan kita Subhanau memerintahkan kita dalam Al-Qur’an Al-Karim untuk menyebutkan nikmat Allah yang diberikan kepada kita satu persatu, yaitu dengan menyebutkan berbagai macam nikmat, seperti dalam firman Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَّمْ تَرَوْهَا ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)

Pertanyaanku adalah, bagaimana cara mengingat nikmat sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan kami. Apakah maksudnya adalah menyebutkannya dihadapan manusia dan menceritakannya. Atau maksudnya menyebutkan saja. Atau apa? Terimakasih

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Perintah dalam ayat yang mulia yang disebutkan oleh penanya adalah perintah kepada para shahabat dan orang-orang mukmin agar mengingat nikmat Allah dan keutamaanNya atas mereka serta kebaikanNya kepadanya dalam mengalahkan musuh dan menghadapi tipu dayanya.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’aa memberitahukan akan nikmat dan keutamaan serta kebaikan kepada hamba-Nya orang-orang mukmin. Dalam mengusir musuh dan mengalahkannya dimana mereka mereka bersatu dan bersekutu. Hal itu terjadi pada tahun terjadinya perang Khandaq (parit).” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/383).

Ketika datang perintah dalam Al-Qur’an agar menyebut suatu kenikmatan, maksudnya adalah menyebutnya dalam hati, yaitu dengan menghadirkan keutamaan Allah terhadap hamba-Nya, menyebutkan dengan lisan, yaitu menyebutnya dengan ucapan, sedangkan menyebutnya dengan anggota tubuh, adalah dengan tidak menggunakannya yang menyebabkan Allah murka kepadanya.

Maka menyebutkan nikmat Allah adalah dengan menyukurinya. Hal itu bisa dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing membenarkan yang lainnya. Kalau tidak, maka syukur tersebut menjadi suatu kebohongan. Oleh karena itu ada ungkapan seorang Penyair:

أفادتكم النَّعماءُ مِنِّي ثلاثة* يدي ولساني والضَّمير المحجَّبا .

“Kalian memberikan faedah kenikmatan kepadaku dengan tiga hal ##

Tanganku, lisanku dan hati yang tersembunyi.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahulah mengatakan dalam tafsir firman Allah ta’ala:

واذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

البقرة: 231

“dan ingatlah nikmat Allah padamu,” QS. Al-Baqarah: 231

Zikir bisa dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Menyebutkan dengan lisan adalah anda mengucapkan “Allah telah memberikan nikmat kepadaku begini. Sebagaimana firman Ta’ala:

وأما بنعمة ربك فحدث

سورة الضحى: 11

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Ad-Dhuha:11)

Maka anda memuji Allah dengan mengucapkan, “Ya Allah hanya kepada-Mu semua pujian terhadap nikmat yang telah diberikan kepadaku baik berupa harta atau istri atau anak-anak atau semisal itu.

Dan menyebutkan dalam hati adalah  anda menghadirkannya dalam hati anda, mengakui bahwa hal itu adalah nikmat dari Allah.

Sementara menyebutkan dengan anggota tubuh adalah, anda beramal dalam ketaatan kepada Allah dan terlihat dampak nikmatnya terhadap anda.” (Tafsir surat Al-Baqarah, 3/132).

Al-Harowi mengatakan, “Arti bersyukur dengan tiga hal, mengetahui nikmat, kemudian menerima nikmat tersebut, kemudian memuji Allah atas semua itu.”

Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan ketika menjelaskan perkataan Al-Harowi, “Mengetahuinya maksudnya adalah menghadirkan di dalam ingatan dan menyaksikannya dan membedakannya.”

Mengetahuinya adalah menghadirkannya dalam ingatan.

Dan menerimanya adalah menerimanya dari pemberi nikmat seraya menghadirkan  sikap butuh dan harap kepadanya, bahkan dia menganggap bahwa semua itu dia dapatkan bukan karena usahanya, bahkan dia melihat dirinya seperti anak kecil, maka hal ini merupakan bukti bawah dia menerimanya.

Ungkapan ‘Kemudian memuji dengannya adalah memuji kepada dzat yang memberi nikmat.”

Yang terkait dengan kenikmatan itu ada dua macam; Umum dan khusus.

Makna yang umum adalah sifat-Nya, berupa keluasan, kedermawanan, kebaikan dan kebaikan serta besarnya pemberiaan Allah dan semisal itu.

Sementara yang khusus, membicarakan kenikmatan-Nya dan memberitahukan sampainya (nikmat kepadanya) dari sisi-Nya sebagaimana firman Allah ta’ala:

وأما بنعمة ربك فحدث

سورة الضحى: 11

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Ad-Dhuha: 11)

Dalam membicarakan (nikmat) yang diperintahkan ada dua pendapat:

Perndapat pertama;

Menyebutkan kenikmatan dan memberitahukannya. Dengan mengucapkan, “Allah telah memberikan nikmat kepadaku ini dan itu.”

Muqotil mengatakan, “Maksudnya bersyukurlah terhadap kenikmatan yang disebutkan dalam surat tersebut, yaitu mempedulikan yatim, mendapatkan petunjuk setelah tersesat serta memberi kecukupan setelah kekurangan.”

Membicarakan nikmat Allah adalah dengan bersyukur. Sebagaimana dalam hadits Jabir yang sampai kepada Nabi (marfu’):

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَلْيَجْزِ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ ، فَلْيُثْنِ. فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ. وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ، وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ (رواه البخاري في الأدب المفرد، رقم 215، وصححه الألباني )

“Siapa yang melakukan kebaikan kepadanya, maka berterima kasihlah. Kalau tidak mendapatkan apa yang bisa membalasnya, maka hendaknya dia menyanjungnya. Karena ketika dia menyanjung kepadanya, maka dia telah mensyukurinya. Kalau dia sembunyikan, maka dia termasuk mengkufurinya. Siapa yang mengaku sesuatu yang tidak dia miliki, maka dia bagaikan memakai baju kebohongan.”  (HR. Bukhari di Al-Adabul Mufrad, no. 215, dishahihkan oleh Al-Albani)

Maka disebutkan ada tiga golongan makhluk, orang yang mensyukuti nikmat dan menyanjungnya, orang yang mengingkari dan menyembunyikannya, serta orang yang menampakkan seakan-akan dia adalah orangnya padahal bukan termasuk di dalamnya, maka dia seakan-akan memakai sesuatu yang tidak diberikan kepadanya.

Dalam atsar lain yang sampai kepada Nabi (marfu’):

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ. وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ. وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ. وَتَرْكُهُ كُفْرٌ. وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةٌ عَذَابٌ (رواه عبد الله بن أحمد في "زوائد المسند، رقم  18449، وحسنه الألباني)

“Siapa yang tidak bersyukur atas yang sedikit, maka dia tidak bersyukur atas yang banyak. Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Membicarakan nikmat Allah adalah termasuk bentuk syukur, meninggalkannya termasuk kekufuran. Berjamaah itu adalah rahmat, dan perpecahan itu adalah azab.”  (HR. Abdullah bin Ahmad di ‘Zawaid Al-Musnad, no. 18449, dihasankan oleh Al-Albani)

Pendapat kedua:

Memperbincangkan kenikmatan yang diperintahkan di ayat ini (maksudnya diakhir surat Ad-Dhuha yang tadi disebutkan) adalah berdakwah kepada Allah dan menyampaikan risalah-Nya serta mengajarkan kepada umat.

Mujahid berkata, “Dia adalah kenabian.” Zajjaj mengatakan, “Maksudnya adalah sampaikan ajaran yang telah ditugaskan kepadamu, sampaikan kenabian yang telah Allah berikan kepadamu.” Al-Kalby mengatakan, “Yang dimaksud adalah Al-Qur’an yang diiperintahkan untuk dibaca.”

Yang benar adalah mencakup kedua macam ini, karena masing-masing adalah kenikmatan yang diperintahkan untuk disyukuri dan disampaikan, serta menampakkan rasa syukur.” (Madarijus Salikin, 2/237).

Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan tentang syukur, “Ia terbangun atas tiga pilar, mengakui dalam hati, membicarakannya secara nyata dan menggunakannya sesuai dengan ridha Yang Maha Pemberi.” (Al-Wabil As-Soyyib, hal. 5)

Silahkan lihat jawaban soal no. (125984 )

wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam