Ahad 23 Jumadil Ula 1446 - 24 November 2024
Indonesian

Apa Yang Menjadi Keharusan Bagi Suami Terhadap Anak-anaknya Dan Istrinya Yang Telah Dicerai Bain Yang Dipeliharanya

Pertanyaan

Seseorang menceraikan istrinya dengan talak bain (talak tidak boleh rujuk lagi kecuali mantan istrinya menikah dengan orang lain dan menceraikannya). Dan dia mempunnyai anak perempuan dan dua anak lelaki. Dan (mantan istrinya) yang akan memeliharanya. Sementara mantan suaminya yang akan menyiapkan untuk mereka dengan izin Allah tempat tinggal, dan membayar nafkah untuk anak-anak. Hal itu setelah adanya kesepakatan persahabatan tanpa merujuk ke Pengadilan. Dengan keutamaan Allah, dana yang disepakati untuk nafkah termasuk dua kali lipat yang akan diputuskan pengadilan untuknya. Hal itu berdasarkan pendapat pengacara. Saya mempunyai pertanyaan, apakah diwajibkan bagi (mantan suami) perbaikan kerusakan tempat tinggal yang disiapkan untuk mereka baik dari peralatan rumah dan semisalnya. Atau dana perbaikan dan pemeliharaan termasuk dalam hitungan nafkah yang telah disepakatinya? Sebagaimana ingin mengetahui hak-hak materi bagi (mantan istri) yang diceraikan. Apakah merupakan suatu keharusan menyiapkan tempat tinggal? Apakah disana ada apa yang dinamakan nafkah iddah, dimana mereka meminta dari mantan suaminya nafkah yang dinamakan (nafkah iddah) selain nafkah mut’ah yang diakhirkan. Mohon maaf kepanjangan akan tetapi karena pentingnya masalah ini agar tidak ada kedholiman kepada seorangpun. Terima kasih

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Wanita yang dicerai dengan bain (tidak bisa rujuk lagi) tidak ada nafkah baginya juga tidak ada tempat tinggal kecuali kalau dia hamil. Dalil akan hal itu adalah apa yang diriwayatkan Muslim, (1480) dari Sya’bi berkata,

دَخَلْتُ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ فَسَأَلْتُهَا عَنْ قَضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا ، فَقَالَتْ : طَلَّقَهَا زَوْجُهَا الْبَتَّةَ ، فَقَالَتْ : فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ ، قَالَتْ : فَلَمْ يَجْعَلْ لِي سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Saya masuk ke (rumah) Fatimah binti Qais, saya bertanya tentang keputusan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam atasnya. Maka beliau (Fatimah) menjawab, “Diceraikan oleh suaminya dengan perceraian yang tidak bisa rujuk lagi (Bain). Maka beliau mengatakan, “Maka saya mengadukan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam terkait tempat tinggal dan nafkah. Dia (Fatimah) mengatakan, “Beliau tidak menjadikan untukku tempat tinggal dan nafkah. Dan memerintahkan kepadaku menyelesaikan iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum.

Dalam riwayat Muslim juga, berkata (Fatimah), “Saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Tidak ada nafkah bagi anda juga tidak ada tempat tinggal. Dalam redaksi lain untuk Abu Dawud, “Tidak ada nafkah untuk anda kecuali anda dalam kondisi hamil.

Kedua:

Mut’ah (dana untuk memberi kesenagan kepada mantan istri) tidak diwajibkan kecuali bagi wanita yang diceraikan dan belum digauli. Dan belum ditentukan mahar untuknya ketika akad nikah. Berdasarkan firman Allah:

  لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ  البقرة/236 .

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” QS. Al-Baqarah: 236

Kalau perceraian setelah digauli, maka tidak ada kewajiban mut’ah untuk mantan istrinya menurut jumhur para ulama fikih. Akan tetapi dianjurkan bagi suami untuk memberikan mut’ah sesuai dengan kondisinya dan kemampuannya. Telah ada penjelasan hal itu dalam fatwa no. 126281.

Ketiga:

Kalau dia menceraikan istrinya dengan perceraian pertama atau kedua dan tidak rujuk (kembali) sampai habis masa iddah dan berpisah. Maka dia membunyai hak nafkah di sela-sela masa iddah. Sementara kalau dicerai bain seperti perceraian ketiga, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi (mantan istrinya). Sebagaimana hadits Fatimah binti Qois tadi.

Keempat:

Kalau istri yang diceraikan itu memelihara (anaknya). Maka para ulama fikih berbeda pendapat terkait dengan tempat tinggalnya. Apakah mantan suaminya (ayah anak-anaknya) diharuskan atau tidak diharuskan. Apakah diharuskan menafkahi kepadanya atau bersama-sama (memberi nafkahnya). Mantan suami membayar gaji ke mantan istrinya sesuai ijtihad hakim atau kalau (mantan istrinya) mendapatkan tempat tinggal, cukup itu saja? Kalau mantan istrinya tidak mempunyai tempat tinggal, seorang ayah (mantas suaminya) diharuskan mencarikan tempat tinggalnya? Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang bagus. 

Silahkan melihat ‘Hasyiyah Ibnu Abidin, (3/562) Syarkh Khursyi, (4/218) Mausu’ah Fiqhiyah, (17/313).

Kalau seorang ayah diharuskan menyediakan tempat tinggal untuk anak-anaknya –seperti yang akan datang- maka mantan istri yang diceraikan diperbolehkan memberi syarat tempat tinggal untuknya bersama mereka (anak-anaknya) selagi dia yang memeliharanya. Tidak diharuskan (mantan istri) tinggal dengan keluarganya atau menyewa tempat tinggal khusus untuknya. Keduanya diperbolehkan berdamai agar tetap tinggal di rumah keluarga wanita atau di rumah khusus untuknya.

Kelima:

Kalau wanita yang diceraikan itu yang memelihara anak-anaknya, dia diperbolehkan meminta upah pemeliharaan meskipun telah ada dana bantuan untuk pemeliharaan. Ini adalah mazhab Hanabilah. Dalam ‘Muntaha Irodat’ dikatakan, “Ibunya lebih utama meskipun dengan digaji seperti menyusui.” Silahkan melihat ‘Syarkh Muntaha Irodat, (3//249).

Sementara mazhab Malikiyah, “Bahwa dia tidak ada upah atas pemeliharaan. Sementara menurut Hanafiyah dan Syafiiyyah ada perincian dalam permasalahan ini. Silahkan melihat ‘Mausu’ah Fiqhiyah, (17/311).

Keenam:

Seorang suami diharuskan memberi nafkah kepada anak-anaknya diantara hal itu adalah tempat tinggal, makan, minum, pakaian, biaya sekolah, pengobatan dan semua kebutuhannya. Diperkirakan dengan baik dengan memperhatikan kondisi suami berdasarkan firman Allah ta’ala:

 لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا    الطلاق/7

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” QS. At-Talak: 7.

Hal ini berbeda antara suatu negara dengan negara lain dari personal dengan personal lain.

Sementara apa yang dibutuhkan dari pemeliharaan tentang peralatan yang dipergunakannya:

Kalau dana nafkah cukup untuk itu, dengan apa yang dibutuhkan untuk makan dan minum dan lainnya, maka biaya pemeliharaan diambil darinya. Kalau dana nafkah tidak cukup untuk itu, sementara mereka sangat membutuhkan peralatan ini. Maka dana pemeliharaan dari harta ayahnya. Karena ia termasuk nafkah.

Wallahu a’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam