Alhamdulillah.
Pertama:
Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang melangkahi pundak orang-orang ketika khutbah Jumat, karena hal itu dapat menyakiti orang-orang yang sedang duduk. Dari Abdullah bin Busyr radhiallahu’anhu berkata: “Ada seseorang datang dan melangkahi pundak orang pada hari Jumat sementara Nabi sallallahu’alaihi wa sallam berkhutbah, maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
اجلس ، فقد آذيت
‘Duduklah, sungguh engkau telah menyakiti.”
(HR. Abu Daud, no. 1118, dan Nasa’i, no. 1399 dan Ibnu Majah, no. 1115 dan ada tambahan diakhirnya, “Kamu terlambat.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam shahih Abi Daud)
Arti dari kata آذيت Terlambat datang, dan terlambat dari waktunya.
Maksud dari melangkahi pundak adalah orang yang melangkahi, yaitu mengangkat kakinya di atas pundak orang-orang yang duduk.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam melangkahi ada tambahan mengangkat kedua kakinya di atas kepalanya atau di pundaknya (maksudnya dua orang yang dilewati antara keduanya). Terkadang bajunya menyangkut sesuatu di antara kakinya.” (Fathu Bari, karangan Ibnu Hajar, 2/392).
Terdapat dalam kitab ‘Nihayatul Muhtaj ila Syarah il Minhaj, (2/338), “Ungkapan ‘pundak orang’, yang dimaksud dengan pundak manusia maksudnya adalah melangkahi pundak dengan mengangkat kakinya sampai melewati di atas pundak orang yang duduk.”
Dengan demikian, melewati di antara orang untuk sampai ke shaf pertama, bukan termasuk melangkahi. Dikatakan menerobos barisan kalau tidak ada celahnya.
Sementara kalau melewati di sela-sela celah dan kekosongan yang ada di antara orang-orang yang duduk tanpa melangkahi pundak mereka, maka hal itu tidak termasuk dilarang.
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,”Kapan saja di antara dua orang yang duduk itu ada yang kosong (celah), dimana tidak sampai melangkahinya, maka dibolehkan berjalan di antara keduanya. Meskipun kedua betisnya menyatu dimana tidak bisa berjalan kecuali dengan melangkahi kedua betisanya, maka hal itu dimakruhkan. Kalau keduanya berdiri menunaikan shalat, kemudian dia berjalan di antara keduanya dan tidak ada seorang pun yang menahannya dan tidak menyakitinya, serta tidak membuat sempit seorang pun, maka hal itu dibolehkan. Kalau tidak, maka tidak dibolehkan.” (Fathul Bari karangan Ibnu Rajab, 8/206).
Dari sini jelas bahwa gambaran yang ada dalam pertanyaan bukan termasuk melangkahi pundak, dan tidak terlarang, karena kalau di antara orang-orang yang duduk ada sela (kosong), maka dibolehkan melewatinya dan tidak termasuk melangkahinya.
Yang dinamakan melangkahinya adalah jika jarak di antara dua orang yang duduk itu sempit, tidak ada seorangpun yang mungkin untuk melewatinya. Sehingga terpaksa mengangkat kakinya di atas pundak orang-orang yang duduk agar dapat melewati di antara keduanya.
Kedua:
Dikecualikan larangan melangkahi pundak adalah imam, kalau disana tidak ada jalan menuju mimbar atau mihrab kecuali dengan melangkahinya.
Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Adapun kalau Imam, maka dia dibolehkan melangkahinya tanpa dimakruhkan, kalau hal itu dibutuhkan untuk melangkahi. Ini merupakan pendapat dalam mazhab kami. Ditegaskan oleh Al-Majdi.” (Al-Inshaf, 6/288).
Sebagian ulama mengecualikan kalau orang-orang yang duduk membiarkan kekosongan di depannya, maka dibolehkan bagi yang terlambat untuk melangkahinya agar sampai ke tempat itu. Sebagian mensyaratkan diperbolehkan hal itu sebelum imam berkhutbah di atas mimbar agar tidak mengganggu orang-orang yang duduk saat mendengarkan khutbah.” (Al-Mudawwanah, 1/239, Asna Al-Mathaib, 1/268, Syarh Al-Muntaha, 1/321).
Cuma yang lebih berhati-hati dan lebih dekat dengan pengamalan sesuai zahir hadits adalah tidak melangkahi dalam kondisi seperti ini.
Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam kitab As-Syarh Al-Mumti’, (5/96), “Ungkapan, ‘Atau sampai ke tempat yang kosong’ maksudnya adalah tempat lapang di shaf pertama, kalau di sana ada ruang kosong, maka tidak mengapa melangkahi menuju kesana.
Kalau ada orang yang mengatakan, ‘Hadits itu umum ‘duduklah, sungguh kamu telah menyakitinya’ karena yang tampak, dugaannya karena di sana ada tempat kosong, karena bukan menjadi kebiasaan melangkahi pundak orang kecuali ada tempat yang kosong. Akan tetapi para ulama fikih rahimahumullah mengecualikan dalam masalah ini seraya mengatakan, ‘Karena kalau disana ada kekosongan, maka mereka sendiri (yang dilangkahi) yang berbuat kesalahan, karena mereka diperintahkan untuk memenuhi shaf pertama terlebih dahulu, kalau ada kekosongan maka mereka telah menyalahi perintah. Maka jika ada pelanggaran, maka itu dari mereka, bukan dari orang yang melangkahinya.
Akan tetapi pandapat saya adalah tetap jangan melangkahi meskipun ada tempat yang kosong, karena sebabnya adalah menyakiti orang yang berada disana. Kondisi mereka tidak maju ke depan bisa jadi karena disana ada satu dan lain sebab, seperti tempat yang kosong di depan itu tidak luas. Kemudian dengan menghindar akan berikan kelapangan. Lebih baik mengikuti aturan umum, yaitu tidak melangkah di antara celah yang ada. Akan tetapi jika dia melangkah dengan lembut dan meminta izin dari mereka yang melewati celah itu, maka saya berharap tidak ada salahnya.”
Wallahua’lam