Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Apakah Memungkinkan Untuk Sampai Pada Derajat Para Nabi Dan Kedudukan Mereka ?

Pertanyaan

Bagaimanakah tafsirnya hadits:

 إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَتَرَاءَوْنَ أَهْلَ الْغُرَفِ مِنْ فَوْقِهِمْ كَمَا يَتَرَاءَوْنَ الْكَوْكَبَ الدُّرِّيَّ الْغَابِرَ فِي الْأُفُقِ مِنْ الْمَشْرِقِ أَوْ الْمَغْرِبِ لِتَفَاضُلِ مَا بَيْنَهُمْ  قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ تِلْكَ مَنَازِلُ الْأَنْبِيَاءِ لَا يَبْلُغُهَا غَيْرُهُمْ ؟ قَالَ :  بَلَى وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ رِجَالٌ آمَنُوا بِاللَّهِ وَصَدَّقُوا الْمُرْسَلِينَ 

“Sungguh penduduk surga mereka saling melihat penduduk yang berada di kamar-kamar dari atas mereka, sebagaimana saling melihat pelanet yang mengkilap seperti warna debu di ufuk timur atau barat karena mereka berbeda derajat”, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, itu kedudukannya para Nabi tidak mendapatkannya kecuali mereka ?”, beliau menjawab: “Iya, demi Dzat yang jiwaku ada pada genggaman-Nya, orang-orang yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan para Rasul”.

Apakah yang dimaksud dengan hal itu adalah sesuatu yang mungkin untuk sampai ke derajat para Nabi dan kedudukan mereka ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Surga itu terdiri dari beberapa derajat yang bertingkat, penduduknya juga bertingkat sesuai dengan kedudukan mereka dan amal mereka, dan para Nabi mereka berada pada derajat yang paling tinggi di surga, dan tidak seorang pun akan sampai pada derajat mereka.

Telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 260581

Kedua:

Adapun pertanyaan anda tentang sampai pada derajat para Nabi, sebagaimana pada hadits tersebut di atas, maka para ulama dalam masalah ini ada dua pendapat, telah disebutkan oleh para pensyarah hadits.

Badruddin ad Damamini –rahimahullah- berkata di dalam Mashabiih al Jami’ (7/69):

“Iya, demi jiwaku yang ada pada genggaman-Nya, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan para Nabi”.

Dikatakan bahwa maksudnya mereka ingin sampai pada derajatnya para Nabi.

Dikatakan juga bahkan mereka akan sampai pada kedudukan yang digambarkan tersebut, dan bahwa derajat para Nabi berada di atasnya lagi”.

Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata di dalam Fathul Baari (6/328):

“Dan memungkinkan kata “Balaa” berarti “Na’am”, itulah kedudukan para Nabi karena Allah mewajibkannya kepada mereka, akan tetapi bisa saja Allah memberikannya kepada orang lain untuk sampai pada kedudukan tersebut”.

Dan bukanlah maksud dari sampainya pada derajat para Nabi itu sama dengan mereka dalam kedudukan dan keutamaan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

  النساء/ 69

“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An Nisa’: 69)

Imam Al Baghawi –rahimahullah- berkata:

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi”, maksudnya adalah tidak terlambat untuk melihat para Nabi dan membersamai mereka, bukan berarti mereka diangkat pada derajat para Nabi “. (Tafsir Al Baghawi: 2/247)

Imam Ibnu ‘Athiyah –rahimahullah- berkata:

“Dan makna –bahwa mereka bersama mereka- bahwa mereka berada di dalam satu rumah, mendapatkan satu nikmat, dan semua yang ada di dalamnya telah ridho dengan keadaannya, telah hilang darinya untuk meyakini bahwa ia seorang mendapat keutamaan lebih sedikit, meskipun kami sudah mengetahui dari syari’at bahwa penduduk surga ini berbeda-beda tingkat sesuai dengan amalan mereka, dan sesuai dengan karunia Allah kepada orang yang Dia kehendaki” . (Al Muharrar Al Wajiz: 2/76)

Ar Raazi –rahimahullah- berkata di dalam Mafatiih al Ghaib (10/133):

“Bukanlah yang dimaksud dengan orang yang telah berlaku taat kepada kepada Allah dan taat kepada Rasul akan bersama para Nabi dan para Shiddiqin dan semuanya berada pada satu derajat, karena yang demikian menuntut persamaan dalam derajat

antara yang lebih utama (Nabi) dan yang lebih rendah keutamannya (umatnya), dan hal itu tidak boleh.

Akan tetapi maksudnya bahwa mereka di dalam surga, setiap orang memungkinkan untuk saling melihat satu dengan yang lain, meskipun tempatnya berjauhan; karena jika hijabnya jika sudah disingkap maka sebagian mereka akan melihat yang lain, jika mereka ingin berkunjung dan bertemu maka mereka mampu melakukan hal itu, inilah yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut”.

Imam Abu al Abbas Al Qurthubi –rahimahullah- berkata di dalam Mafham:

“Al Ma’iyyah (kebersamaan) adalah keselamatan dari neraka dan kesuksesan dengan surga, hanya saja bahwa penduduk surga sesuai dengan derajat dan kedudukan mereka sesuai dengan amal dan kondisi mereka, dan yang menunjukkan hal ini secara tekstual sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

  المرأ مع من أحب وله ما اكتسب

“Seseorang itu akan bersama dengan orang yang ia cintai dan baginya apa yang telah ia perbuat”.

Hadits tersebut:

وله ما اكتسب

“Dan baginya apa yang telah ia perbuat”. (HR. Tirmidzi: 2386 dari hadits Anas bin Malik dan telah ditashih oleh Albani)

Dan termasuk kesempurnaan nikmat Allah –‘Azza wa Jalla- kepada penduduk surga, tidak diharamkan untuk bertemu dengan orang-orang yang ia cintai, meskipun berbeda derajat mereka”.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Dan Allah –Ta’ala- jika Dia berkehendak untuk mengumpulkan seseorang yang ada di surga tertinggi, maka Dia turunkan ke bawah.

Seseorang berkata kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Sungguh saya mencintai anda, saya tidak mampu untuk bersabar kepada anda, sedangkan anda berada di surga yang tertinggi, saya tidak dapat melihatnya, maka Allah menurunkan beliau dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka akan bersama dengan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepada mereka dari para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada, dan orang-orang sholeh dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Mukhtashar Fatawa Al Mishriyyah: 270)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam