Selasa 7 Syawal 1445 - 16 April 2024
Indonesian

Berkumpulnya Para Wanita di Sekitar Jenazah Sebelum Penguburan

316088

Tanggal Tayang : 21-07-2020

Penampilan-penampilan : 2229

Pertanyaan

Ada kebiasaan yang tersebar luas pada saat ada seseorang yang meninggal dunia, dengan diletakkan di sebuah ruangan di rumahnya atau di halaman, lalu ada perwakilan dari beberapa wanita di desa itu berdatangan dan duduk di sekitar jenazah di ruangan atau di lapangan tadi, berbentuk lingkaran, duduk dan diam saja, sampai tiba waktu memandikan jenazah. Bisa jadi mereka duduk dalam waktu satu jam, terkadang sampai 3 jam, maka bagaimanakah hukumnya secara syari’i dalam masalah ini ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Takziyah itu sunnah, waktunya dimulai setelah seseorang meninggal dunia dan sebelum dikuburkan.

Ibnu Hubairah –rahimahullah- berkata:

“Mereka telah bersepakat akan sunnahnya bertakziyah kepada keluarga si mayyit. Namun mereka berbeda pendapat terkait waktunya,

Abu Hanifah berkata: “Sebelum pemakaman dan tidak disunnahkan setelahnya”.

Syafi’I dan Ahmad berkata: “Disunnahkan sebelum dan setelah pemakaman”. (Ikhtilaf al Aimmah al Ulama: 1/189)

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Kapan waktu dimulainya takziyah bagi keluarga si mayyit ?, apakah langsung setelah meninggal dunia atau setelah dikuburkan ?”

Beliau menjawab:

“Dimulai sesaat setelah meninggal dunia sebelum dishalatkan dan sebelum dimakamkan, mereka bertakziyah sesaat setelah meninggal dunia meskipun jenazah belum dimandikan, atau setelah dimandikan, setelah dishalatkan, tidak ada batasan baginya, jadi mereka memulainya sesaat setelah meninggal dunia dan tidak ada batas akhirnya”. (Fatawa Nur ‘Ala Darb: 14/335)

Kedua:

Para wanita juga disyari’atkan bagi mereka bertakziyah seperti para laki-laki.

Dari Urwah dari ‘Aisyah istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:  التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ 

رواه البخاري (5417)، ومسلم (2216(

“Bahwa jika ada yang meninggal dunia dari keluarganya, para wanita telah berkumpul, kemudian mereka bubar kecuali keluarga dan kerabat dekatnya, ia menyuruh untuk menyediakan periuk dari talbinah (makanan dari tepung gandum) untuk dimasak, lalu dibuat Tsarid (bubur) lalu talbinahnya dituangkan di atasnya, lalu beliau berkata: “Makanlah sebagiannya, karena saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Talbinah itu mengumpukan hati orang yang sakit, akan menghilangkan sebagian kesedihan”. (HR. Bukhori: 5417 dan Muslim: 2216)

Hasilnya, bahwa disyari’atkan juga para wanita pergi untuk menghibur keluarga perempuan si mayyit.

Ketiga:

Berkumpul di sekitar jenazah dengan model seperti pada soal di atas, di rumah atau di halaman, para wanita berkumpul melingkar di sekitarnya, kami tidak menilainya sebagai hal yang disyari’atkan, karena hal itu akan memicu kesedihan dan ratapan, mengeluarkan jenazah dari kamarnya, atau dari tempat di mana ia meninggal dunia, dan meletakkannya di halaman yang banyak wanita mengitarinya, hal itu menjadi semacam profesi dan tidak menjaganya, apalagi yang duduk di sekitarnya itu bukan keluarga dan karib kerabatnya.

Maka tergambar larangan duduk seperti yang disebutkan di atas di sekitar jenazah sebelum pemakamannya:

Pertama:

Karena duduk seperti itu mengeluarkan keluarga si mayit dari batasan menangis dan kesedihan yang dibolehkan menuju ratapan, maka akan memicu timbulnya kesedihan mereka sehingga kesedihan dan tangisan mereka semakin bertambah, mereka para wanita yang duduk itu tidak menahan hal tersebut, bahkan ikut bersedih, dalam kondisi seperti itu maka dilarang duduk dengan model seperti itu; karena hal itu berlawanan dengan tujuan bertakziyah, menasehati, saling mengingatkan dalam kesabaran.

Akan tetapi jika hal itu tidak menambah kesedihan dan tangisan, dan tangisan keluarga mayit atau sebagian para wanita yang hadir tidak menambah tetesan air mata, maka tidak masalah.

Ibnu Abdi al Bar –rahimahullah- berkata:

“Adapun tangisan tanpa ratapan tidak masalah menurut sebagian para ulama, dan mereka semuanya membenci ratapan dan menangis dengan suara keras, berteriak, perbedaannya sangat jelas menurut mereka”. (At Tamhid: 17/284)

Telah dijelaskan sebelumnya dengan panjang lebar pada jawaban soal nomor: 154215

Kedua:

Duduk-duduk seperti itu mempunyai tujuan tertentu, karena dengan duduk seperti itu akan menunda pemandian jenazah dan pemakamannya, maka dalam kondisi seperti itu berkumpul seperti itu keluar dari batasan takziyah yang dibolehkan, bertentangan dengan perintah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إليه، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ 

 رواه البخاري (1315)، ومسلم (944(

“Segerakanlah pengurusan jenazah, jika ia baik maka kebaikan yang kalian segerakan, dan jika tidak demikian maka keburukan yang dibebaskan dari tanggung jawab kalian”. (HR. Bukhori: 1315 dan Muslim: 944)

Muhammad Ulaisy –rahimahullah- berkata:

“Para ulama –radhiyallahu ‘anhum- berkata: “Maksud dari mensegerakan jenazah adalah termasuk memandikannya, mengkafaninya, dan membawanya (ke kuburan)”. (Fathu al ‘Aliy al Malik: 1/155)

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Apa batasan dalam penundaan penguburan jenazah ?”.

Beliau menjawab:

“Tidak ada batasannyaa, kecuali mengharapkan sesuatu yang bermanfaat, bisa jadi supaya banyak kerabatnya yang datang, atau karena terlambatnya orang yang memandikannya, atau karena pengkafanannya.

Yang disunnahkan adalah mensegerakannya, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  أسرعوا بالجنازة، فإن تكن صالحةً فخيرٌ تُقدِّمونها إليه 

““Segerakanlah pengurusan jenazah, jika ia baik maka kebaikan yang kalian segerakan”.

Yang disunnahkan adalah mensegerakan kecuali ada penyebab lain”. (Fatawa ad Durus)

http://bit.ly/2swddZB

Ketiga:

Atau duduk seperti itu karena mempunyai keyakinan batil, seperti keyakinan sebagian mereka bahwa ruhnya jenazah berputar di tempat tersebut, atau meyakini keutamaan duduk dengan bentuk seperti itu dan mengingkari mereka yang tidak melakukannya, hal ini adalah bid’ah di dalam agama.

Keempat:

Model duduk dan menunggu seperti itu akan menyulitkan keluarga mayit dan menyempitkan mereka, maka hal itu dilarang karena membahayakan mereka, dan sesuatu yang membahayakan wajib dihilangkan.

Karena beberapa kondisi tersebut di atas maka model duduk seperti itu dilarang karena beberapa kemungkaran ini dan sudah keluar dari batasan takziyah yang disyari’atkan.

Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ – bundek ke-2 (7/411)

“Jika takziyah mencakup sesuatu yang mengandung bid’ah atau hal yang diharamkan, seperti mengadakan kumpulan orang, ratapan dan perkara jahiliyah maka tidak boleh menghadirinya, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi mereka yang mampu untuk mengingkari kemungkaran, dan jika tidak mencakup semua itu maka tidak masalah untuk pergi bertakziyah kepada keluarga mayit yang sesuai dengan sunnah”.

(Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’)

(Bakr Abu Zaid – Abdul Aziz Alu Syeikh – Sholeh Al Fauzan – Abdullah bin Ghadyan – Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz )

Kelima:

Duduk-duduk model seperti itu mengurangi kehormatan si mayit, merendahkan jasadnya, atau menjerumuskannya ke dalam bahaya, atau kelihatan bau atau pemandangan yang tidak disukai oleh banyak orang, maka semua itu dilarang, kehormatan seorang mukmin yang meninggal dunia, sama dengan kehormatannya dalam kondisi hidup, para ulama masih senantiasa melarang sesuatu terkait dengan jenazah, pemakaman, dan hukum-hukum kuburan, mereka beralasan karena hal tersebut akan menodai kehormatan si mayit atau merendahkannya.

Telah disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah (9/125):

“Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnad, Abu Daud di dalam Sunan, dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  كسر عظم الميت ككسره حيا  

“Patahnya tulangnya jenazah itu seperti patahnya dalam kondisi hidup)

Hal ini menunjukkan akan kehormatan jenazah tidak menjerumuskannya ke dalam hal yang menyakitkan atau menjadikan pekerjaan pada kuburnya”.

Baca juga: Fatawa Lajnah Daimah (9/121-122)

Baca juga jawaban soal nomor: 174754

Adapun hanya duduk di rumah orang yang meninggal dunia, tidak dengan formasi tertentu, juga tidak menjadikan pekerjaan tertentu, tidak meratap, tidak memicu semua itu, sampai selesai pengurusan jenazah, lalu para laki mengantarkannya ke kuburan, atau dengan cukup untuk menghibur keluarga si mayit, maka tidak masalah in sya Allah.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam