Rabu 17 Jumadits Tsani 1446 - 18 Desember 2024
Indonesian

Antara Kebiasaan dan Ibadah

Pertanyaan

Apakah ada cara untuk menangani masalah kebiasaan, yaitu; saya merasa khusu’ sekali pada saat membaca surat tertentu, setelah berlalu beberapa hari kekhusu’an itu mulai melemah dan seakan hati saya sudah terbiasa dengan memahami makna dan mentadabburinya dan sudah merasa cukup, demikian juga pada saat berdoa dengan beberapa doa, maka apakah ada solusi dari hal ini ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kata “Al ‘Aadah” (kebiasaan) mempunyai makna yang netral, termasuk dalam kebaikan jika manusia membiasakan diri dengan kebaikan, dan menjadi paten prilaku manusia tersebut tanpa ada paksaan, telah disebutkan di dalam hadits:

الْخَيْرُ عَادَةٌ ، وَالشَّرُّ لَجَاجَةٌ

 رواه "ابن ماجه" (221) ، و"ابن حبان" في "صحيحه" (310) .

“Kebaikan adalah kebiasaan, dan keburukan adalah keras kepala”. (HR. Ibnu Majah: 221 dan Ibnu Hibban di dalam Shahihnya: 310)

Dari ‘Aisyah bahwa ia berkata:

 كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَصِيرٌ، وَكَانَ يُحَجِّرُهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيُصَلِّي فِيهِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ، وَيَبْسُطُهُ بِالنَّهَارِ، فَثَابُوا ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقَالَ:  يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَلَّ  وَكَانَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَمِلُوا عَمَلًا أَثْبَتُوهُ

 رواه البخاري(5861) ، مسلم(782).

“Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempunyai tikar, dan pada sebagian malam beliau gulung untuk dipakai shalat di atasnya, dan orang-orang melaksanakan shalat dengan shalat beliau, dan beliau menggelarnya pada siang hari, dan pada suatu malam mereka semua berkumpul, seraya beliau bersabda: “Wahai manusia, hendaknya kalian melakukan amal sesuai dengan kemampuan kalian, karena Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan, dan sungguh amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit”, dan keluarga Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika mereka mengerjakan suatu amal mereka menetapkannya”. (HR. Bukhori: 5861 dan Muslim: 782)

Dan sebagaimana Abu Thayib berkata: “Setiap orang itu sesuai dengan kebiasaannya sepanjang waktu”.

Dan seperti yang diketahui bahwa di antara sebab istiqamahnya seorang hamba pada jalan menuju Allah adalah hendaknya ia mempunyai ketaatan yang selalu dilaksanakan dan dijaganya dan membiasakannya, tidak mengabaikan dan tidak meremehkannya, dan tidak malas, begitulah amalan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- “daimah” (selalu), paten dan terus-menerus, dan keluarga beliau jika mereka melakukan amalan mereka mentetapkannya.

Kedua:

Adapun “Al ‘Aadah” yang berarti bahwa manusia merasa sedang tidak beribadah, maka ia melakukannya dengan otomatis tidak ada ruhnya, maka hal itu bahaya dan sebaiknya sebagai manusia hendaknya memperhatikannya.

Karena pahala itu diberikan pada ibadah yang ada kehadiran hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ  المؤمنون/ 1- 2 .

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya”. (QS. Al Mukminun: 1-2)

Dan yang terpenting adalah kehadiran hati dalam beribadah tidak lalai darinya.

Syeikh Ibnu Baz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Saya pernah membaca nasehat di salah satu buku, yaitu; hendaknya janganlah menjadikan ibadah kepada Allah menjadi kebiasaan, bagaimana seorang muslim menjadikan ibadah kepada Allah sebagai ibadah bukan sebagai kebiasan yang biasa ia lakukan, semoga Allah membalas kebaikan Anda dengan kebaikan”.

Beliau menjawab:

“Maksudnya adalah janganlah shalat itu dijadikan “Aadah” (kebiasaan), tapi lakukanlah karena “qurbah” (mendekatkan diri kepada Allah), hal itu bukan karena menjadi sebuah kebiasaan. Jika anda shalat dhuha maka kerjakanlah karena untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena kebiasaan, demikian juga jika anda shalat tahajjud pada malam hari, anda melakukannya karena mendekatkan diri kepada Allah; karena hal itu termasuk ketaatan, bukan hanya sekedar kebiasaan, atau karena ayah dan ibumu melakukannya”.

https://bit.ly/3dZDaDs

Ketiga:

Di antara cara untuk menjadikan hati itu hadir di dalam ibadah adalah:

  1. Melakukan ibadah yang bermacam-macam (tidak monoton), dari mulai shalat, membaca Al Qur’an, berdzikir, bersedekah, berbakti kepada kedua orang tua, silaturrahim, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah. Dan termasuk bagian dari rahmat Allah dan karunia-Nya ibadah itu jumlahnya banyak dan bermacam-macam.
  2. Sabar dengan hadirnya hati pada saat beramal.

Ibnu Qayyim berkata di dalam ‘Iddatus Shabirin:

“Sabar saat beramal: jadi seorang hamba hendaknya berkomitmen untuk sabar dari alasan-alasan meremehkan dan mengabaikan, dan berkomitmen untuk sabar mengiringinya dengan mengingat niat, dan hadirnya hati di hadapan Dzat yang disembah, dan tidak melupakan-Nya dengan urusan-Nya.

Maka inilah ibadahnya para hamba yang ikhlas kepada Allah, ia membutuhkan kesabaran untuk menyempurnakan hak ibadah, dengan melaksanakan ibadahnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang diwajibkan, dan sunnah-sunnahnya, dan untuk sabar untuk mengirinya dengan menyebut Dzat yang disembah di dalamnya, dan tidak lalai dari-Nya saat beribadah, maka jangan sampai terhenti kehadirannya di hadapan Allah dengan hatinya untuk melaksanakan ibadah dengan anggota tubuhnya, dan jangan sampai terhenti kehadiran hatinya di hadapan Allah karena gerakan ibadah dengan anggota tubuhnya”.

  1. Bersungguh-sungguh dalam berdoa

Bahwa di antara sebab yang bisa membantu untuk menghadirkan kebersamaan Allah dan pertolongan-Nya adalah doa

  1. Tidak meninggalkan amal

Karena hal itu menjadi sarana syetan untuk menahan manusia dari amal karena ketidakhadiran hati, maka seorang mukmin hendaknya waspada, dan hedaknya terus beramal.

  1. Bersiap dan bersiaga untuk beribadah dan menjauhi hal-hal yang bisa melalaikan hati

Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لا يُصلَّى بحَضْرِةِ الطَّعام ، ولا وهو يُدافِعُهُ الأخبَثان    رواه "أبو داود" (89).

“Tidak (sempuna) shalat di hadapan makanan, dan karena ia terdorong untuk buang air kecil dan besar”. (HR. Abu Daud: 89)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam